Selasa, 16 Juli 2019

MATERI HUKUM SYAR'I

BAB V
HUKUM SYAR’I
KELAS XII MADRASAH ALIYAH



 

A.    Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran tentang Hukum Syar’i siswa dapat memahami syariat islam secara utuh.
B.     Uraian Materi Hukum Syar’i 
1.    Pengertian hukum syar’i
   Menurut mayoritas ulama’ hukum syar’i adalah
   “Firman (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung   tuntutan, pilihan atau ketetapan. Maksud dari “Khithab Allah” ( ِadalah perkataan Allah secara   langsung yaitu al-qur’an atau perkataan-Nya tetapi melalui perantara yaitu sunnah, ijma’, dan semua   dalil syar’i. Yang di maksud “Iqtiḍā’” (adalah tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau    meninggalkan, atau tuntutan secara pasti maupun tidak pasti. sedangkan “Takhyīr”  (yaitu memilih   antara melakukan sesuatu atau meninggalkanya tanpa menguatkan salah satunya atau membolehka   mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan. Dan di maksud “Waḍ’i” (adalah firman Allah yang   Menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain atau sebagai syarat adanya yang lain atau   sebagai penghalang adanya yang lain.
  Sebagai contoh firman Allah surat Al Maidah : 38
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
Ayat di atas adalah termasuk hukum syar’I karena berupa firman Allah yang
menjadikan pencurian sebagai sebab adanya hukum yaitu potong tangan.
Hadits Nabi SAW:

Dari Al Aswad dari Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar.”
Hadis di atas termasuk hukum syar’i karena berupa firman Allah tapi yang berupa hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan gila sebagai penghalang kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian hukmu syar’i di atas dapat diketahui dua hal :
a.       Bahwa firman Allah yang tidak berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf tidak di namakan hukm, seperti firman yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya, sebagaimana yang di firmankan.
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
Ayat di atas tidak termasuk al hukm karena tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, begitu pula Firman-Nya yang berkaitan dengan perbuatan manusia tetapi tidak menghendaki tuntutan pilihan atau ketetapan juga tidak di namakan al hukm, seperti kisah-kisah dalam Al qur’an sebagaimana firman-Nya yang menceritakan tentang kekalahan bangsa Romawi
الٓمٓ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ 
Alif Laam Miim Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang (Ar-Rum : 1-3)

b.      Yang dinamakan hukm menurut ulama’ ushul atau yang disebut ushuliyun adalah firman Allah itu sendiri sedangkan menurut ulama’ fiqih atau fuqaha’ yang di namakan hukm adalah kandungan firman Allah. Sebagai contoh firman Allah dalam Al-Isra : 32 sebagai berikut :
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا 
Menurut ulama’ ushul ayat di atas disebut al hukm sedangkan menurut ulama’ fiqih yang disebut al hukm adalah kandungan ayat tersebut yaitu haramnya zina.
        2.    Hukum Taklifi
a.      Pengertian hukum taklifi
Hukum Taklīfī: yaitu firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang menghendaki tuntutan untuk melakukan atau menjauhi atau untuk membuat pilihan. Di namakan hukum taklīfī karena adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Contohnya, Firman Allah yang menuntut mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan.
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (At-Taubah : 103)
b.      Macam-macam hukum taklifi
1)      Ijab: :yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, seperti firman Allah
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ 
2)      Nadb: yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk melakukan, seperti firman Allah
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ 
3)      Tahrim: yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti, seperti firman Allah
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا 
4)      Karahah: yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk menjauhi, seperti firman Allah
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَسَۡٔلُواْ عَنۡ أَشۡيَآءَ إِن تُبۡدَ لَكُمۡ تَسُؤۡكُمۡ وَإِن تَسَۡٔلُواْ عَنۡهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلۡقُرۡءَانُ تُبۡدَ لَكُمۡ عَفَا ٱللَّهُ عَنۡهَاۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٞ 
5)      Ibahah: yaitu Permintaan Allah kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, seperti firman Allah
وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ
Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. ( Al-Maidah : 2)
Menurut para ulama’ Hanafiyah, hukum taklīfī dibagi menjadi 7 bagian dengan
membagi firman Allah yang menuntut melakukan perbuatan dengan tuntutan pasti pada dua bagian yaitu ījab dan fardu. Sedangkan karaha dibagi menjadi dua yaitu karaha tanzīh dan karaha tahrīm. Ulama’ Hanafi berpendapat, jika suatu perintah di dasarkan pada dalil qat’i yaitu dalil yang berasal dari qur’an dan hadis mutawātir disebut farḍu, jika di dasarkan pada dalil dẓanni seperti hadis ahadd disebut ijab. Begitu pula larangan jika dasar yang di gunakan qat’i disebut karaha tahrīm tetapi jika dasar yang di gunakan dẓanni disebut karaha tanzīh. Dengan pembagian hukum taklīfī seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklīfī kepada farḍu, ījāb, nadb, tahrīm, karaha tanzīh, karaha tahrīm, dan Ibāḥah. Tetapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itu oleh ulama’ fiqih dinamakan al-ahkām al-khamsah, yaitu:
a)      Wajib
(1)   Pengertian Wajib
Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di lakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat pujian sekaligus pahala dan yang meninggalkan akan mendapat celaan atau hinaan sekaligus hukuman. Menurut mayoritas ulama’ bahwa wajib adalah sinonim dari fardu. Misalnya, mengerjakan puasa.
(2)   Macam-macam wajib
(a)   Wajib di tinjau dari waktu pelakasanaanya terbagi menjadi dua:
-       Wajib mutlak yaitu pekerjaan yang di tuntut untuk di lakukan tetapi syariat tidak menentukan waktu pelaksanaanya.
Contoh : kafarat yang wajib bagi orang yang melanggar sumpah, pelaku wajib melakukanya kapanpun ia mau tidak terikat oleh waktu tertentu.
-       Wajib Muqoyyad atau Muaqot yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh syari’ dan harus di lakukan pada waktu-waktu yang telah di tentukan seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan. Sehingga seorang mukallaf dianggap verdosa apabila melakukan di luar waktunya tanpa adanya udzur.
(b)   Wajib di tinjau dari orang yang di tuntut untuk melaksanakanya. Terbagi menjadi:
-       Wajib aini yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh syar’i dan harus di laksanakan oleh masing-masing mukallaf, tidak boleh di wakilkan mukallaf lain seperti shalat, puasa, minum khamr dsb.
-       Wajib kafa’i yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh syari’ yang harus di laksanakan oleh sebagian mukallaf seperti shalat jenazah, menolong orang yang tenggelam dsb. Sehingga apabila tuntutan sudah di laksanakan oleh sebagian mukallaf maka gugur bagi mukallaf lain.
(c)   Wajib Dilihat dari kadar pelaksanaanya terbagi dua:
-       Wajib muḥaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat, dan lain-lain.
-       Wajib gairu muḥaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta di jalan Allah, berjihadd, tolong-menolong, dan lain sebagainya
(d)   Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
-       Wajib mu’ayyan yaitu perbuatan wajib yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah, atau tahiyyat dalam sholat.
-       Wajib mukhayyar yaitu wajib yang boleh memilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifārat sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif antara memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
b)     Mandub
(1)   Pengertian mandub
Pengertian Mandūb: yaitu perbuatan yang di tuntut oleh Allah dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab
(2)   Macam-macam mandub
-          Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya sholat sunat rawatib.
-          Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh seseorang saja dari suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin, dan lain-lain.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada:
-          Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul hanya sesekali saja di tiggakan untuk menyatakan kepada umatnya bahwa perbuatan tersebut tidak wajib, seperti shalat tahajjud dan shalat witir.
-          Sunat gairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin.
c)      Muharram
(1)   Pengertian Muharram: yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan mendapat siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala misalnya mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
(2)    Macam-macam Muharram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
-          Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya (tahrīm lizātihi). Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram sejak semula. Misalnya, membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
-          Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Shalat memakai pakaian gasab
Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain pada dasarnya perbuatanya adalah sah, karena itu perbuatanya di hukumi sah sehingga shalat dengan memakai pakaian gasab adalah sah hanya saja berdosa
d)     Makruh
(1)   Pengertian Makrūh
Yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan, mendapat pahala, dan jika di lakukan tidak mendapat dosa. Misalnya: memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, shalat di kandang unta dan lain sebagainya.
(2)   Macam-macam Makrūh
Ulama mazhab Hanafi membagi Makrūh kepada dua bagian:
-          Makrūh taḥrīm, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti tetapi dalil yang di gunakan adalah dalil ẓanni seperti dalil yang berasal dari khabar wahid. Contohnya melamar wanita yang sudah dilamar orang lain atau menawar barang yang sudah dii tawar orang lain. Pelaku Makrūh taḥrīm akan mendapatkan dosa hanya saja yang mengingkari tidak kafir. Karena segala sesuatu yang di tetapkan dengan ẓann (prasangka atau dugaan kuat) tidak dianggap kafir jika mengingkarinya.
-          Makrūh tanzīh, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak pasti. Seperti berwudhu dari air sisa minuman burung, memakan daging kuda dan meminum susunya. Makruh seperti ini jika di lakukan pelakunya tidak mendapatkan hukuman atau dosa.
e)      Mubah
(1)   Pengertian mubah
Yaitu perbuatan yang di bebaskan oleh Allah untuk di lakukan ataupun ditinggalkan.
        3.     Hukum Wadh’i
a.      Pengertian hukum wadh’i
Yaitu firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain
Contoh:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ 
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah: 38)
Ayat ini menetapkan bahwa pencurian menjadi sebab di wajibkanya potong tangan
b.      Macam-macam hukum wadh’i
Dari pengertian di atas maka hukum waḍ’ī terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama’ memasukan sah, batal, azimah dan rukhsah sebagai bagian dari hukum waḍ’ī
1)      Sebab
Menurut bahasa sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu yang lain. Menurut istilah khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu menyebabkan tidak adanya hukum. Contoh : masuknya waktu shalat adalah menyebabkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.
Macam-macam sebab :
(a)   Sebab yang termasuk hukum taklīfī Seperti melihat hilal menjadi sebab wajibnya puasa ramadhan, mencuri sebagai sebab di laksanakanya hukum potong tangan.
(b)   Sebab yang menjadi penyebab adanya kepemilikan, menjadi penyebab kehalalan dan menjadi penyebab hilangnya kehalalan, seperti menjual adalah penyebab adanya kepemilikan, nikah menjadi penyebab adanya kehalalan dan talaq menjadi penyebab hilangnya kehalalan.
(c)   Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam kesanggupanya, seperti membunuh secara sengaja sebagai sebab adanya hukum qiṣās, perjalanan jauh menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf ini mengakibatkan berlakunya ketentuan hukum taklīfī, oleh karena itu ada yang di perintahkan untuk di lakukan dan ada yang dilarang seperti berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman.
(d)   Sebab yang merupakan suatu perkara yang bukan dari perbuatan dan berada diluar kesanggupan mukallaf, seperti, kekerabatan adalah sebab terjadinya saling mewarisi, bālig adalah sebab adanya taklīf.
2)      Syarat
Menurut Bahasa, syarat artinya sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat sesuatu yang lain itu.
Misal : Wudhu adalah syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan bagian shalat. Jika tidak ada wudhu maka tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat, karena bisa jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melakukan shalat. ḥaul (genap satu tahun) adalah syarat wajibnya zakat harta perniagaan, tidak adanya haul tidak ada pula kewajiban zakat namun dengan adanya haul tidak mesti ada wajib zakat karena bisa jadi barang tersebut tidak mencapai nisāb. Kehaddiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya pernikahan, namun kedua orang saksi itu bukan menjadi bagian akad nikah.
3)      Mani’ (penghalang)
Menurut Bahasa, mani’ adalah penghalang. Menurut istilah Yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Māni’ terbagi menjadi 2 :
(a)   Māni’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. seperti haidh dan nifas adalah māni’ atau penghalang wajibnya shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu.  Membunuh menjadi māni’ adanya hukum yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
(b)   Māni’ terhadap sebab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Seperti berhutang menjadi māni’ atau penghalang wajibnya zakat karena tidak terwujudnya sebab yaitu kepemilikan satu nisāb
4)      Sah
Yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan rukunya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi. Contoh dalam muamalah seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dengan syarat dan rukunya
5)      Batal
Yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi
6)      Rukhshah
Yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka memberikan keringanan terhadap mukallaf . Rukhsah terbagi menjadi beberapa macam :
(a)   Di perbolehkanya melakukan sesuatu yang dilarang ketika dalam kondisi terpaksa seperti orang yang di paksa mengucapkan kata kafir maka ia boleh mengucapkanya sementara hatinya tetap dalam keadaan iman.
(b)   Di perbolehkanya meninggalkan kewajiban jika ada udzur yang memberatkan mukallaf ketika melaksanakanya. Seperti orang yang musafir di perbolehkan tidak berpuasa. Mensahkan sebagian transaksi yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi. Seperti akad salam.
7)      Azimah
Yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam
semua keadaan dan waktu, misalnya: shalat fardhu lima waktu sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan.
     4.      Perbedaan Antara Hukum Taklīfī     dengan Hukum Waḍ’ī
     Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklīfī dan hukum wadhi dari dua   hal: Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklīfī adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-  tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat   dan tidak berbuat. Sedangkan hukum waḍ’ī tidak mengandung tuntutan atau memberi   pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (māni’) suatu hukum, sah dan batal.
  Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklīfī selalu dalam   kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum waḍ’ī   kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadangkadang tidak.
     5.      Hal-hal yang berhubungan dengan    hukum syar’i
a.      Al-Hakim
1)      Pengertian Al-Hakim
Al Hākim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Dia adalah Allah, maksudnya Dialah sebagai sumber hukum. Allah adalah dzat yang menyuruh, melarang, mewajibkan, mengharamkan, memberi pahala atau siksa. Dengan demikian Al Hākim adalah Allah disebut juga syari’ ( شارع )
2)      Metode mengetahui hukum Allah
Menurut ijma’ bahwa Al Hākim adalah Allah. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai cara mengetahui hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, mungkinkah akal bisa mengetahuinya tanpa ada pemberitahuan dari Rasul?
Menurut Madzhab Asy’ariyah bahwa hukum-hukum Allah hanya bisa di ketahui melalui Rasul-rasul-Nya dan kitab-Nya. Alasan mereka adalah bahwa yang menetapkan perbuatan seseorang itu baik atau buruk adalah syariat dengan cara menuntut untuk melakukan atau memperbolehkan jika perbuatan itu baik dan menuntut untuk menjauhi jika perbuatan itu buruk. Sehingga menurut Asyari bahwa standar baik dan buruk suatu perbuatan adalah syariat bukan akal.
Menurut Madzhab Mu’tazilah bahwa hukum-hukum Allah bisa di ketahui melalui akal tanpa melalui rasul dan kitab-Nya. Karena semua perbuatan mukallaf yang baik maupun yang buruk mempunyai dampak, yaitu dampak baik dan dampak buruk. Dampak inilah yang bisa di ketahui oleh akal. Sehingga perbuatan yang berdampak buruk menurut akal itu adalah perbuatan buruk dan sebaliknya perbuatan yang berdampak baik menurut akal itu adalah perbuatan baik. Dari sini maka hukumhukum Allah mengenai perbuatan mukallaf bisa di ketahui melalui akal
3)      Kedudukan hakim dalam hukum Islam
Kedudukan Al Hākim dalam hal ini adalah Allah SWT adalah sebagai pembuat
sekaligus yang menetapkan hukum untuk dipatuhi oleh setiap mukallaf.
b.      Al-Mahkum fih
1)      Pengertian mahkum fih
Menurut para ulama’ Uṣūl yang dimaksud dengan Mahkūm fīh adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Contoh:

Artinya: maka dirikanlah shalat.
Dalam ayat ini terkandung suatu perintah kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan, yaitu melaksanakan shalat.
2)      Syarat-syarat mahkum bih/fih
Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan. sehingga perintah dapat di laksanakan dengan sempurna sesuai dengan yang di inginka Allah. Maka seorang mukallaf tidak tidak wajib melaksankan tuntutan yang belum jelas. Seperti perintah shalat dalam Al Qur’an andaikan tata caranya tidak di jelaskan oleh Rasulullah maka mukallaf tidak wajib mengerjakanya karena perbuatanya dianggap tidak jelas. Mukallaf harus benar-benar mengetahui bahwa sumber taklif berasal dari Allah. Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata. Perbuatan yang di tuntut harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa persyaratan yaitu:
-          Tidak sah menuntut suatu perbuatan yang mustahil di lakukan atau di tinggalkan mukallaf, misalnya manusia di tuntut untuk terbang maka tidak wajib di laksankan karena secara adat hal itu tidak mungkin di lakukan.
-          Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
c.       Al-Mahkum fihi
1)      Pengertian mahkum alaih
Yang dimaksud Mahkūm alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai hukum Allah SWT atau disebut dengan mukallaf .
2)      Syarat-syarat mahkum alaih
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang mukallaf dapat ditaklif yaitu:
Mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal. Adapun ukuran untuk menyatakan bahwa seseorang bisa memahami tuntutan syara’ adalah baligh dan berakal, dari sini maka orang gila dan anak kecil bebas dari tuntutan taklif karena dianggap tidak berakal, begitu pula orang yang lupa, tidur dan tidak sadar juga terbebas tuntutan taklif karena dianggap tidak mempunyai kemampuan memahami sesuatu, sebagaimana sabda nabi :

“Pena telah di angkat (tidak di gunakan untuk mencatat) amal perbuatan tiga orang : orang yang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga dewasa, dan orang gila hingga sembuh”
Memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan Syariat yang dalam ushul fiqih disebut Ahliyyah (أهلية )Ahliyyah yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian, kelayakan, atau kepantasan. Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk mengurus masalah wakaf berarti dia pantas untuk diserahim tanggung jawab mengurus harta wakaf.
Ada dua macam Ahliyyah yaitu :
a)      Ahliya ada’
Yaitu mukallaf yang prilaku dan ucapanya secara syariat sudah di nilai. Ukuran seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah tamyiz dan berakal atau telah mencapai usia akil-baligh.
b)      Ahliya al-wujub
Yaitu fitrah manusia yang di berikan Allah sejak dilahirkan atau kepantasan manusia dalam mendapatkan hak dan kewajiban. Seperti wajibnya membayar zakat fitrah bagi anak-anak, hak untuk mendapatkan warisan bagi janin. Kondisi manusia dalam melaksanakan tuntutan
-       Tidak mempunyai keahlihan atau keahliannya hilang. Yang termasuk kelompok ini adalah anak kecil pada masa kecilnya dan orang gila. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan tuntutan karena belum atau tidak sempurna akalnya. Sehingga semua perbuatanya yang berhubungan dengan hukum tidak sah.
-       Mempunyai keahlihan tetapi belum sempurna Yang termasuk dalam kelompok ini adalah anak kecil yang mumayiz, sehingga tindakanya yang berhubungan dengan hukum dianggap sah seperti pemberianya tanpa seijin walinya.
-       Memiliki keahlihan sempurna yaitu orang yang baligh dan berakal. Sehingga semua hukum-hukum Allah berlaku kepadanya begitu pula akibat ketentuan-ketentuan hukum beserta sanksi-sanksinya.
(1)   Hal-hal yang menghalangi ahliyyah ada’:
-          ‘Awāriḍ samāwiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh keinginan manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
-          ‘Awāriḍ al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk, keadaan terpaksa, banyak hutang dsb.
(2)   Dampak dari halangan ahliyatul ada’ di atas akan menyebabkan :
-          Seseorang akan kehilangan ahliyatul ada’ sama sekali seperti orang gila, orang tidur, dan orang yang pingsan, mereka semua secara asal tidak mempunyai ahliyatul ada’ sehingga apa yang mereka lakukan tidak mempunyai dampak hukum.
-          Mengurangi ahliyatul ada’ seseorang, karena itulah sebagian tindakanya sah secara syariat seperti anak kecil yang sudah tamyiz.
-          Tidak ada dampak apapun terhadap ahliyatul ada’ ( tidak menghilangkan dan tidak juga mengurangi), tetapi ada beberapa perubahan hukum dalam rangka melindungi kemaslahatan, seperti yang terjadi pada orang yang baligh, berakal mempunyai ahliyatul ada’ secara sempurna tetapi mempunyai banyak hutang, orang tersebut tidak boleh menggunakan harta bendanya bukan karena ahliyatul ada’nya hilang atau berkurang tetapi semata-mata bertujuan melindungi harta bendanya orang yang di hutangi.
           6.      Rangkuman
a.      Hukum Syar’i
“ Firman (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan, pilihan atau ketetapan”
b.      Macam-macam hukum syar’i
Hukum syar’i terbagi menjadi 2 macam:
1)      Hukum taklifi
2)      Hukum wadh’i
c.       Hukum taklifi
Macam-macam hukum taklllifi menurut mayorits ahli ‘ushul:
1)      Ijab
2)      Nadb
3)      Tahrim
4)      Karahah
5)      Ibahah
Ulama’ Hanafi membagi hukum taklīfī menjadi 7 bagian dengan membagi firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti pada dua bagian ijab dan fardhu dan membagi karaha menjadi dua yaitu karaha tanzīh dan karaha tahrīm.
Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itu oleh ulama’ fiqih dinamakan al-ahkam al-khamsah, yaitu :
1)      Wajib
Macam-macam wajib
Wajib di tinjau dari waktu pelakasanaanya terbagi menjadi dua:
(a). Wajib mutlak
(b). Wajib Muqoyyad atau Muaqot
Wajib di tinjau dari orang yang di tuntut untuk melaksanakanya. Terbagi menjadi
(a). Wajib aini
(b). Wajib kafa’i
Wajib Dilihat dari kadar pelaksanaanya terbagi dua :
(a). Wajib muhadddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya
(b). Wajib ghairu muhadddad,
Wajib dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,
wajib dapat dibagi dua:
(a). Wajib mu’ayyan
(b). Wajib mukhayyar
2)      Mandub
Macam-macam Mandūb ( sunah )
(a)   Sunah ‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan.
(b)   Sunah kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh seseorang saja dari suatu kelompok
Selain itu, mandub ( sunah ) juga dibagi kepada:
(a)   Sunah muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul hanya sesekali saja di tiggakan untuk menyatakan kepada umatnya bahwa perbuatan tersebut tidak wajib.
(b)   Sunah ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul
3)      Muharram
Macam-macam Muharram.
(a)   Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya (tahrīm li zātihi).
(b)   Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian.
4)      Makruh
Macam-macam Makrūh
Ulama mazhab Hanafi membagi makruh kepada dua bagian:
(a) Makrūh taḥrīm
(b) Makruh tanzīh
5)      Mubah
d.      Hukum wadh’i
Macam-macam hukum wadh’i
1)      Sebab
Macam-macam sebab :
(a)   Sebab yang termasuk hukum taklīfī
(b)   Sebab yang menjadi penyebab adanya kepemilikan, menjadi penyebab kehalalan dan menjadi penyebab hilangnya kehalalan.
(c)   Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam kesanggupanya.
(d)   Sebab yang merupakan suatu perkara yang bukan dari perbuatan dan berada di luar kesanggupan mukallaf, seperti, kekerabatan adalah sebab terjadinya saling mewarisi, bālig adalah sebab adanya taklīf
2)      Syarat
3)      Mani’ (penghalang)
Mani’ terhalang menjadi 2:
(a)   Māni’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum.
(b)   Māni’ terhadap sebab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum
4)      Sah
5)      Batal
6)      Rukhshah
Rukhshah terbagi menjadi beberapa macam:
(a)   Di perbolehkanya melakukan sesuatu yang dilarang ketika dalam kondisi terpaksa
(b)   Di perbolehkanya meninggalkan kewajiban jika ada udzur yang memberatkan mukallaf ketika melaksanakanya.
(c)   Mensahkan sebagian transaksi yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi. Seperti akad salam

e.       Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i
Dilihat dari sudut pengertianya:
1)      Hukum taklīfī adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat
atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat.
2)      Hukum waḍ’ī tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (māni’) suatu hukum, sah dan batal. Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya,
3)      Hukum taklīfī selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya.
4)      Hukum waḍ’ī kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak.
f.        Hal-hal yang berhubungan dengan syar’i
1)      Al-Hakim
Adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Dia adalah Allah. Metode Mengetahui
Hukum Allah. Menurut ijma’ bahwa Al Hākim adalah Allah. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang masalah penting yang berhubungan dengan metode mengetahui hukum-hukum Allah, Menurut Madzhab Asy’ariyah berpendapat bahwa hukum-hukum Allah hanya bisa di ketahui melalui Rasul-rasulnya. Menurut Madzhab Mu’tazilah bahwa hukum-hukum Allah bisa di ketahui melalui akal.
2)      Mahkum Fih
Mahkum Fih dalah obyek hukum yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Syarat-syarat mahkum fih
-          Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga perintah dapat di laksanakan dengan sempurna sesuai dengan yang di inginka Allah.
-          Mukallaf harus benar-benar mengetahui bahwa sumber taklif berasal dari Allah.
-          Perbuatan yang di tuntut harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa persyaratan yaitu:
-          Tidak sah menuntut suatu perbuatan yang mustahil di lakukan atau di tinggalkan mukallaf.
-          Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain
3)      Mahkum Alaih
Mahkum Alaih yaitu seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT atau disebut dengan mukallaf
a)      Syarat-syarat mahkum alaih
(1)   Mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal.
(2)   Memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan Syariat yang dalam ushul fiqih disebut Ahliyyah.
b)      Macam-macam ahliyah
(1)   Ahliyah ada
(2)   Ahliyah al-wujub
c)      Kondisi manusia dalam melaksanakan tuntutan
(1)   Tidak mempunyai keahlihan sama sekali atau keahlihanya hilang.
(2)   Mempunyai keahlihan tetapi belum sempurna
(3)   Memiliki keahlihan sempurna
d)      Hal-hal yang menhalangi ahliyah ada’
(1)   ‘Awāriḍ samāwiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh keinginan manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
(2)   ‘Awāriḍ al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk, keadaan terpaksa, banyak hutang dsb.
e)      Dampak dari halangan ahliyatul ada’ di atas akan menyebabkan :
(1)   Seseorang akan kehilangan ahliyatul ada’ sama sekali seperti orang gila, orang tidur, dan orang yang pingsan.
(2)   Mengurangi ahliyatul ada’ seseorang,
(3)   Tidak ada dampak apapun terhadap ahliyatul ada’

UJI KOMPETENSI
Soal Pilihan Ganda
Silahkan klik link dibawah ini


Selamat Mengerjakan

<<<<<>>>>>

TUGAS KELOMPOK
Upload Foto
Hasil Diskusi

http://bit.ly/uploadfotoxiikeagamaan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH