Rabu, 13 Januari 2021

BAB VII TRANSAKSI JUAL BELI

KOMPETENSI INTI (KI)

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

2. Menunjukan perialku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, procedural dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humanoria dengan wawasan kemanusian, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan


KOMPETENSI DASAR (KD)

1.3. Menghayati konsep muamalah dalam Islam tentang jual beli, khiyaar, salam dan hajr
2.7. Mengamalkan sikap kerja sama dalam kehidupan sehari-hari sebagai implementasi dari pengetahuan tentang kerjasama ekonomi dalam Islam

3.7. menganalisis ketentuan tentang jual beli, khiyaar, salam dan hajr

4.7. mengomunikasikan ketentuan Islam mengenai jual beli, khiyaar, salam dan hajr


PETA KONSEP




PENDAHULUAN
Transaksi jual beli merupakan transaksi yang lebih sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan antara satu dengan yang lain. Tentunya sesetidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan tanpa ada bantuan dari orang lain, entah bantuan itu bersifat mu’awaḍoh (komersial) seperti jual beli dan yang lain atau majānan (non komersial). Secara umum, jual beli terbagi menjadi tiga: pertama, jual beli barang yang diketahui antara penjual dan pembeli. Hukumya diperbolehkan. Kedua, jual beli barang yang masih dalam tanggungan penjual yang hanya disebutkan karakteristiknya. Akad ini dilegalkan oleh

Syariat jika sesuai dengan karakteristik barang yang disebutkan pada waktu akad. Jual beli semacam ini disebut dengan akad salam (pesanan). Ketiga, jual beli barang yang wujudnya tidak ada atau tidak disaksikan oleh penjual dan pembeli. Hukum dari transaksi ini tidak diperbolehkan.

Dalam ilmu fikih, menjual dikenal dengan istilah bai’ sedangkan membeli dikenal istilah syiro’. Maka penjual adalah bāi’ dan pembeli adalah musytarī. Setelah transaksi jual beli, bāi’ dan musytarī diberikan kesempatan untuk memilih antara melanjutkan atau mengurungkan akad dengan beberapa persyaratan. Hal ini dikenal dengan istilah khiyār. Dalam bab ini akan membahas tentang bai’, khiyār, dan salam. Ketentuan hukum, syarat, rukun dan masalah-masalah penting yang berkaitan dengan hal tersebut.

 

MATERI PEMBELAJARAN

A. JUAL BELI

1. DALIL

Dalil yang mendasari legalitas transaksi jual beli adalah:

a. Firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah (2) : 275

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah [2]: 275)

b. Sabda Rasulullah Saw.

“Sesungguhnya Nabi Saw ditanya mengenai penghasilan apa yang paling baik, maka Nabi bersabda: “Pekerjaan seorang lelaki dengan tangannya sendiri dan jual beli (berdagang) yang baik.” (HR Al-Bazzar)

2. DEFINISI

Secara bahasa, bai’ berarti tukar menukar sesuatu. Sedangkan secara istilah, bai’ atau jual beli adalah tukar menukar materi (māliyyah) yang memberikan konsekuensi kepemilikian barang (‘ain) atau jasa (manfa’ah) secara permanen. Definisi ini akan mengecualikan beberapa transaksi:
a. Transaksi hibah (transaksi pemberian). Dalam transaksi hibah tidak ada praktik tukar menukar (mu’āwaḍah). Karena tukar menukar dilakukan oleh kedua belah pihak, sedangkan dalam transaksi hibah hanya dari satu pihak.

b. Transaksi nikah. Walaupun nikah termasuk akad mu’āwaḍah, tapi tidak terjadi pada sebuah materi (māliyyah). Karena farji tidak masuk dalam kategori materi.

c. Transaksi ijārah (transaksi persewaan). Transaksi ijārah tidak bersifat permanen. Karena transaksi ijārah adalah pemindahan kepemilikan manfaat dalam batas waktu yang telah ditentukan.

3. Praktek jual beli

Praktek jual beli ada tiga macam:

a. Bai’ Musyāhadah

Bai’ musyāhadah adalah jual beli komoditi (ma’qud ‘alaih) yang dilihat secara langsung oleh pelaku transaksi. Batasan musyāhadah bersifat relatif sesuai karakteristik komoditinya. Setiap bentuk musyāhadah yang bisa menghasilkan ma’lum pada komoditi maka dianggap cukup, baik dengan cara melihat secara keseluruhan, sebagian atau secara ḥukman (seperti melihat pada bungkus). Melihat sebagian komoditi dianggap cukup jika telah mewakili keseluruhan kondisi komoditi, seperti jual beli dengan mengacu pada sampel (unmūżaj) komoditi. Contoh: cukup melihat sebagian beras dalam praktek jual beli satu karung beras. Tidak perlu melihat seluruh beras dalam karung. Melihat secara ḥukman dianggap cukup jika bagian luar komoditi berfungsi sebagai pelindung komoditi. Praktek ini dianggap cukup karena jika harus melihat kondisi komoditi bagian dalam akan berkonsekuensi merusak komoditi. Contoh: cukup melihat kulit telur dan kulit mangga dalam praktek jual beli telur dan mangga. Tidak perlu melihat bagian dalamnya.

b. Bai’ Mauṣuf Fī Żimmah

Bai’ mauṣuf fī żimmah adalah transaksi jual beli dengan sistem tanggungan (żimmah) dan metode ma’lum nya melalui spesifikasi kriteria (ṣifah) dan ukuran (qodru). Secara subtansi, bai’ mauṣuf fī żimmah hampir mirip dengan transaksi salam, namun berbeda dalam beberapa hal.

c. Bai’ Goib

Bai’ goib adalah jual beli komoditi yang tidak terlihat oleh kedua pelaku transaksi atau oleh salah satunya. Menurut qoul aẓhar dalam mażhab Syafi’i, praktek demikian hukumnya tidak sah, karena termasuk bai’ al-goror (jual beli yang mengandung unsur penipuan). Sedangkan menurut muqābil ażhar dan A’immah Ṡalāṡah (tiga Imam mażhab selain Imam Syafi’i), bai’ goib sah jika menyebutkan spesifikasi ciri-ciri dari komoditi (sifat , jenis dan macamnya).

4. Hukum jual beli

Hukum jual beli ada lima:

a. Wajib

Seperti menjual makanan kepada orang yang akan mati jika tidak makan.
b. Sunnah

Seperti menjual sesuatu yang bermanfaat jika dibarengi niat yang baik.

c. Makruh

Seperti menjual setelah azan pertama shalat jumat, menjual kain kafan karena ia akan selalu berharap ada kematian.

d. Mubah

Seperti menjual peralatan rumah jika tidak dibarengi niat yang baik.

e. Haram

Seperti menjual setelah azan kedua shalat jumat, menjual pedang kepada pembunuh, menjual anggur kepada orang yang diyakini akan menjadikannya khamr. Namun praktik-praktik ini tetap sah secara hukum waḍ’ī.

5. STRUKTUR AKAD JUAL BELI

Struktur akad jual beli terdiri dari tiga rukun. Yaitu ‘Āqidain (penjual dan pembeli), ma’qūd ‘alaih (barang dagangan dan alat pembayaran ), dan ṣīgah (Ījāb dan qabūl).

a. Āqidain

Āqidain adalah pelaku transaksi yang meliputi penjual dan pembeli. Secara hukum transaksi jual beli bisa sah jika pelaku transaksi (penjual dan pembeli) memiliki kriteria mukhtār dan tidak termasuk dalam kategori maḥjūr ‘alaih. Mukhtār adalah seorang yang melakukan transaksi atas dasar inisiatif sendiri, tanpa ada unsur paksaan (ikrāh) dari orang lain. Transaksi atas dasar paksaan hukumnya tidak sah karena transaksi tersebut terlaksana tanpa ada kerelaan dari pelaku transaksi. Firman Allah Swt. QS. An-Nisā’ (4): 29

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisā’ [4] : 29)

Kecuali paksaan atas dasar kebenaran. Seperti Very menyuruh Dedi menjual hartanya karena hutang Dedi telah jatuh tempo, namun ia tidak mau melaksanakan dan Very pun melaporkan Dedi ke hakim. Maka hakim boleh menjual barang Dedi tanpa izin atau memaksa untuk menjual hartanya dalam rangka pelunasan hutang.

Sedangkan Maḥjūr ‘alaih adalah orang yang dibekukan tasaruf atas hartanya karena sebab-sebab tertentu. Dalam fikih terdapat delapan orang yang dibekukan tasaruf atas hartanya. Yaitu: anak kecil (ṣobī), orang gila (majnūn), orang yang menghamburkan harta (safīh), orang yang bangkrut (muflis), orang sakit dalam keadaan kritis (marīḍ makhūf), budak, orang murtad (keluar dari agama Islam), dan orang yang menggadaikan barang (rāhin). Selain dua syarat di atas, pelaku transaksi (pembeli) harus muslim jika komoditi berupa:

1) Mushaf

Yaitu setiap sesuatu yang mengandung tulisan al-Qur’an. Disamakan dengan
al-Qur’an yaitu kitab hadis dan kitab yang mengandung ilmu syariat. Maka pembeli komoditi ini disyaratkan harus muslim.

2) Budak Muslim

Jika komoditi berupa budak muslim, maka pembeli juga harus muslim. Karena kepemilikan non muslim terhadap budak muslim mengandung unsur penghinaan. Sebagaimana firman Allah Swt. QS. An-Nisā’ (4) : 141:

وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nisā’ [4] : 141)

3) Budak Murtad

Budak murtad juga tidak sah dijual kepada non muslim, karena orang murtad masih terikat dengan Islam dengan adanya tuntutan untuk kembali pada agama Islam.

b. Ma’qūd ‘alaih

Ma’qūd ‘alaih adalah komoditi dalam transaksi jual beli yang meliputi barang dagangan (muṡman/mabī’) dan alat pembayaran (ṡaman). Syarat ma’qūd ‘alaih ada lima: li al-‘Āqid wilāyah, ma’lūm, muntafa’ bih, maqdūr ‘alā taslīm, dan āhir (suci).

1) Li al ‘Āqid Wilāyah

Yaitu pelaku transaksi harus memiliki wilāyah (otoritas) atau kewenangan atas ma’qūd ‘alaih. Otoritas atau kewenangan atas komoditi bisa dihasilkan melalui salah satu dari empat hal:

a. Kepemilikan;

b. Perwakilan (wakālah);

c. Kekuasaan (wilāyah), seperti wali anak kecil, wali anak yatim, penerima wasiat (waṣi);

d. Izin dari syariat, seperti penemu barang hilang dengan ketentuannya. Pelaku transaksi yang tidak memiliki salah satu dari empat otoritas ini maka jual beli yang dilakukan tidak sah secara hukum. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“ Tidak boleh menjual kecuali barang yang kamu miliki”. (HR. Abu Daud)

2) Ma’lūm

Ma’lūm adalah keberadaan komoditi diketahui oleh pelaku transaksi secara transparan. Pengetahuan terhadap komoditi bisa dihasilkan melalui salah satu dari dua metode:

a) Melihat secara langsung;

b) Spesifikasi, dengan cara menyebutkan ciri-ciri komoditi baik sifat dan ukurannya.

3) Muntafa’ Bih

Muntafa’ bih adalah barang yang memiliki nilai kemanfaatan. Adapun tinjauan muntafa’ bih sebuah komoditi melalui dua penilaian, yaitu syar’ī dan ‘urfī. Barang yang memiliki nilai manfaat secara syar’ī maksudnya adalah barang yang pemanfaatannya legal secara syariat. Maka tidak sah menjual alat musik, karena pemanfaatannya tidak legal secara syariat. Adapun barang yang memiliki nilai manfaat secara ‘urfī adalah barang yang diakui publik memiliki nilai manfaat. Sehingga tidak sah menjual dua biji beras, karena secara public tidak memiliki nilai manfaat.

4) Maqdūr ‘Alā Taslīm

Maqdūr ‘alā taslīm adalah keadaan komoditi yang mampu diserahterimakan oleh kedua pelaku transaksi. Jika keadaan komoditi tidak mungkin diserah-terimakan seperti menjual burung yang ada di udara atau ikan yang ada di laut maka transaksi tidak sah.

5) Ṭāhir

Ṭāhir adalah keadaan komoditi yang suci. Maka tidak sah menjual komoditi yang najis seperti kulit bangkai, anjing dan babi. Hal berdasarkan sabda Rasulullah Saw;:

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi dan berhala”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun komoditi yang terkena najis (mutanajjis) hukumnya diperinci. Jika memungkinkan disucikan seperti baju yang terkena najis maka sah dijual, jika tidak memungkinkan seperti air sedikit yang terkena najis maka tidak sah dijual.

c. Ṣigah

Ṣigoh adalah bahasa interaktif dalam sebuah transaksi, yang meliputi penawaran dan persetujuan (ījab dan qabūl). Transaksi jual beli tanpa menggunakan ījāb dan qabūl dikenal dengan istilah bai’ mu’āṭah.

1) bai’ mu’āṭah.

ījāb dan qabūl dalam transaksi jual beli cukup urgen, Sehingga ada tiga pendapat tentang bai’ mu’āṭah:

a) Menurut qoul masyhūr tidak sah secara mutlak;

b) Menurut ibn Suraij dan Arrauyāni bai’ muāṭah sah hanya pada komoditi dalam sekala kecil (ḥaqīr);

c) Menurut Imam Malik dan Annawawi bai’ muāṭah sah dalam praktek yang secara ‘ūrf (umum) sudah dikatakan sebagai praktik jual beli.

2) Syarat-syarat ṣigoh adalah sebagai berikut:

a) antara ījāb dan qabūl tidak ada pembicaraan lain yang tidak hubungannya dengan transaksi jual beli.

b) antara ījāb dan qabūl tidak ada jeda waktu yang lama.

c) adanya kesesuaian makna antara ījāb dan qabūl. Semisal dalam ījāb disebutkan harga barang yang dijual adalah Rp 10.000, lalu dalam qabūl disebutkan Rp 20.000, maka ījāb-qabūl yang demikian tidak sah.

d) tidak digantungkan pada suatu syarat yang tidak sesuai dengan ketentuan akad. Semisal memberikan syarat kepada pembeli untuk tidak menjual kembali barang yang dibelinya kecuali pada penjual pertama. Syarat seperti ini bertentangan dengan ketentuan akad bai’ yakni setelah transaksi jual beli selesai maka barang sepenuhnya menjadi milik pembeli. Adalah hak pembeli menjual barang yang dimilikinya kepada siapa saja.

e) tidak ada pembatasan waktu.

f) ucapan pertama tidak berubah dengan ucapan kedua. Semisal apabila penjual berkata, “Saya jual dengan harga sepuluh ribu,” lalu ia mengubah kalimatnya, “Saya jual dengan harga dua puluh ribu”, maka ījābnya tidak sah. Sebab, apabila pembeli menjawab, “Ya, saya beli”, maka tidak dapat diketahui, harga mana yang disetujuinya.

g) ījāb dan qabūl diucapkan sampai terdengar oleh orang yang berada di dekatnya. Adapun isyarat orang bisu, jika isyaratnya bisa dipahami oleh semua orang maka dianggap ṣigoh yang ṣorih dan tidak butuh niat. Namun jika isyaratnya hanya bisa dipahami oleh beberapa orang saja maka dianggap ṣigoh kināyah dan butuh niat.

h) tetap wujudnya syarat-syarat āqidain sampai ījāb dan qabūl selesai.

i) orang yang memulai ījāb atau qabūl harus menyebutkan harga.

j) memaksudkan kalimat ījāb dan qabūl pada maknanya. Syarat ini mengecualikan kalimat yang diucapkan orang yang lupa, tidur (mengigau), tidak sadar dan sebagainya.

6. ETIKA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI

a. Titak terlalu banyak dalam mengambil laba.

b. Jujur dalam bertransaksi. Menjelaskan kedaaan komoditi baik kelebihan atau kekurangannya tanpa ada kebohongan. Rasulullah Saw. Bersabda:

“Sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka, kecuali orang yang takwa kepada Allah Swt., berbuat baik (dalam bertransaksi), dan jujur”. (HR. Turmużi)

c. Dermawan dalam bertransaksi baik penjual dengan cara mengurangi harga barang atau pembeli dengan cara menambah harga barang.

“Allah Swt. Mengasihi seseorang yang dermawan ketika menjual, membeli dan menagih hutang”. (HR. Bukhari)

d. Sunnah menjauhi sumpah walaupun jujur. Firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah
(2): 224

وَلَا تَجْعَلُوا۟ ٱللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَٰنِكُمْ أَن تَبَرُّوا۟ وَتَتَّقُوا۟ وَتُصْلِحُوا۟ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia”. (QS. Al-Baqarah [2] : 224)

e. Disunnahkan memperbanyak sedekah sebagai pelebur dosa yang terjadi ketika transaksi. Rasulullah Saw. bersabda:

“Wahai golongan para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa menghadiri transaksi jula beli. Maka campurlah transaksi jual beli dengan sedekah”. (HR. Turmużi)

f. Sunnah mencatat transaksi yang dilakukan dan jumlah piutang. Berdasarkan firman Allh Swt. QS. Al-Baqarah (2) : 282

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. AlBaqarah [2] : 282)

7. TRANSAKSI JUAL BELI YANG DILARANG

a. Iḥtikār (Menimbun)

Iḥtikār adalah menimbun makanan pokok yang dibeli ketika waktu mahal untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal setelah masyarakat sangat membutuhkan. Iḥtikār hukumnya haram. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Tidak menimbun kecuali orang yang durhaka (berdosa)”. (HR. Ahmad)

“Barang siapa yang menimbun makanan orang-orang Islam, maka Allah Swt. akan membuatnya (berpenyakit) kusta dan bangkrut”. (HR. Ibn Majah)

Iḥtikār (penimbunan) haram jika memenuhi lima hal:

1) Makanan yang ditimbun adalah makanan pokok, baik makanan pokok manusia atau makanan pokok hewan. Mengecualikan selain makanan pokok, maka tidak dinamakan iḥtikār. Menurut mażhab Maliki, penimbunan juga haram pada setiap perkara yang menjadi kebutuhan manusia dalam keadaan darurat.

2) Makanan pokok yang ditimbun didapatkan dengan cara membeli. Jika tidak didapatkan dengan cara membeli seperti hasil panen maka tidak haram.

3) Pembelian dilakukan ketika harga makanan pokok mahal. Maka tidak haram jika pembelian dilakukan ketika harga murah.

4) Setelah ditimbun, dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Jika penimbunan atas dasar untuk dikonsumsi pribadi atau keluarga sendiri, atau untuk dijual lagi namun tidak dengan harga yang lebih mahal.

5) Penjualan setelah penimbunan dilakukan ketika keadaan masyarakat sangat membutuhkan. Jika tidak demikian maka tidak haram.

b. Najsy

Najsy adalah menawar barang dengan cara meninggikan harga bukan karena ingin membeli tapi untuk menipu orang lain.

c. Saum ‘Alā As-Saum

Yaitu menawar atas tawaran orang lain. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Seorang laki-laki tidak boleh menawar atas tawaran saudaranya”.(HR. Muslim)

Saum ‘alā as-saum bisa terjadi dari pihak pembeli atau pihak penjual.

1) Pihak Pembeli

Menawar barang dengan harga yang lebih tinggi atas barang yang telah disepakati harganya antara penjual dan pembeli pertama. Seperti perkataan seseorang (pembeli kedua) kepada penjual “ambillah kembali barangmu, karena aku akan membeli darimu dengan harga yang lebih tinggi”.

2) Pihak Penjual

Menawarkan barang dengan harga yang lebih murah dari pada harga yang telah disepakati oleh pembeli dan penjual pertama. Seperti perkataan seseorang (penjual kedua) kepada pembeli “kembalikan barang yang sudah kamu beli, karena aku akan menjual kepadamu barang yang lebih bagus dengan harga yang sama atau barang yang sama dengan harga yang lebih rendah”.

d. Mengandung Unsur Membantu Kemaksiatan

Setiap transaksi jual beli yang mengandung unsur membantu terwujudnya kemaksiatan adalah haram. Seperti menjual anggur kepada orang yang diyakini akan menjadikannya sesuatu yang memabukkan, menjual ayam yang diyakini akan diadu, dan menjual sutera kepada laki-laki yang diyakini akan dipakai sendiri.

e. Memisahkan Antara Ibu dan Anak

Termasuk transaksi jual beli yang dilarang adalah memisahkan antara budak perempuan dan anaknya yang belum tamyīz (anak kecil yang belum bisa mandi, makan dan minum sendiri) dengan cara dijual atau diberikan kepada orang lain. Menurut Imam Al-gazali, hal ini juga berlaku kepada selain budak perempuan, yakni perempuan merdeka. Keharaman ini bersifat mutlak, dalam arti walaupun si ibu rela atau sekalipun gila. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah Swt. akan memisahkan antara dia dengan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat”. (HR. Turmużi)

Adapun memisahkan hewan (induk) dengan anaknya boleh jika anak hewan sudah tidak butuh pada air susu induknya, jika masih butuh maka haram untuk memisahkan kecuali dalam rangka untuk disembelih.

 

 

TUGAS SISWA

BAB VII JUAL BELI

PERTEMUAN I

Jawaban Dikirim Via Wapri

 

 

1.      Identifikasilah praktik transaksi jual beli yang sah dan praktik jual beli yang tidak sah di
negara Indonesia melalui majalah, koran, atau media online dan tulislah alasannya! Berikan masing masing 5 contoh!

 

Jawaban dikirim via Google Form

Silahkan klik link dibawah ini

https://forms.gle/xNFz1xmSJWZosLWXA




PERTEMUAN II

Kamis, 21 Januari 2020

BAB JUAL BELI

 

B. KHIYĀR

1. DALIL

Dalil yang mendasari legalitas khiyār adalah sabda Rasulullah Saw.

 

الْبَيِّعَانِ بِااْلخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْيَقُوْلَ أَحَدُ هُمَا لِلْاخَرِاخْتَرْ

 “Penjual dan pembeli memiliki pilihan sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya mengatakan pada yang lain, pilihlah” (HR. Bukhari Muslim)

 

“Dari ibn Umar RA. berkata, aku mendengar seorang sahabat anṣār yang lugu mengadu kepada Rasulullah Saw. bahwa ia selalu dirugikan dalam jual beli. Lalu Rasulullah Saw. bersabda “apabila kamu jual beli maka katakan, “tidak ada penipuan’, selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan pada setiap barang yang kamu beli selama tiga malam. Jika kamu berminat ambil, jika tidak kembalikan”. (HR. Albaihaqi)

 

2. Definisi

Khiyār adalah hak memilih pelaku transaksi untuk memilih antara melanjutkan atau mengurungkan transaksi. Pada dasarnya, setelah terpenuhi semua syarat dan rukun sebuah transaksi maka transaksi dinyatakan final. Namun syariat memberikan kelonggaran kepada kedua pelaku transaksi berupa hak atau kewenangan untuk mengurungkan transaksi yang telah final tanpa harus mendapat persetujuan pihak lain.

 

Klasifikasi khiyār

Khiyār dibagi menjadi tiga macam:

a. Khiyār majlis

Khiyār majlis adalah hak atau wewenang pelaku transaksi untuk menentukan pilihan antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua pelaku transaksi masih berada dalam masa khiyār majlis. Khiyār majlis bisa sah dengan lima syarat:

1) Terjadi pada akad yang bersifat murni tukar-menukar barang (mu’āwaḍah maḥḍah). Mengecualikan akad nikah, maka dalam akad nikah tidak terjadi khiyār majlis.

2) Terjadi pada akad yang obyek akadnya berupa barang. Maka tidak terjadi khiyār majlis dalam akad ijārah. Karena akad ijārah obyek akadnya berupa manfaat.

3) Terjadi pada akad yang bersifat lāzim dari kedua belah pihak. Mengecualikan akad kitābah. Karena akad kitābah lāzim dari pihak majikan, jā’iz dari pihak budak.

4) Tidak terjadi pada akad yang kepemilikannya bersifat otoritatif (qahrī) seperti akad syuf’ah.

5) Tidak terjadi pada akad yang bersifat rukhṣah (keringanan) dari syariat seperti akad ḥawālah.

 

Masa khiyār majlis akan berakhir dengan salah satu antara saling memilih (takhāyur) atau berpisah (tafarruq).

a) Takhāyur

Takhāyur adalah keputusan pelaku transaksi antara memilih melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika keduanya masih berada dalam majlis akad. Jika pelaku transaksi telah menjatuhkan salah satu pilihan, maka hak khiyārnya telah berakhir walaupun keduanya belum berpisah (tafarruq) dari majlis akad. Apabila ada perbedaan pilihan antara kedua pelaku transaksi, seperti satu pihak memilih melangsungkan transaksi sedangkan yang lain memilih mengurungkannya, maka yang dimenangkan adalah pihak yang mengurungkan transaksi.

 

b) Tafarruq

Tafarruq adalah terjadinya perpisahan antara kedua atau salah satu pelaku transaksi dari majlis akad. Batasan tafarruq merujuk pada ‘urf (umumnya) karena tidak ada batasan secara syar’ī maupun lugowī. Jika salah satu pelaku transaksi keluar dari majlis akad maka masa khiyar telah berakhir walaupun keduanya belum saling memilih (takhāyur).

 

b. Khiyār syarat

Khiyār syarat adalah hak pelaku transaksi untuk memilih antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi sesuai kesepakatan kedua belah pihak atas waktu yang telah ditentukan. Eksistensi khiyār syarat bersifat opsional (pilihan), dalam arti khiyār syarat boleh ditiadakan jika kedua belah pihak tidak menginginkan. Berbeda dengan khiyār majlis yang bersifat otoritatif (qohrī) sehingga tidak bisa dinafikan dari akad. Jika pelaku transaksi menafikan khiyār majlis dari sebuah transaksi maka ada tiga pendapat dalam mażhab Syafi’i:

·Menurut qaul aṣah transaksi tidak sah.

·Menurut pendapat kedua transaksi sah tanpa ada hak khiyār.

·Menurut pendapat ketiga transaksi sah dan tetap ada hak khiyār.

Fungsi khiyār syarat adalah perpanjangan dari khiyār majlis. Jika hak memilih dalam khiyār majlis hanya terbatas ketika pelaku transaksi berada dalam majlis akad dan akan berakhir ketika keduanya telah berpisah, maka dalam khiyār syarat hak memilih tersebut masih berlangsung walaupun kedua pelaku transaksi telah berpisah sampai batas waktu yang telah disepakati. Masa khiyār syarat telah ditentukan oleh syariat, yakni tidak boleh melebihi tiga hari tiga malam. Pendapat ini adalah mażhab Syafii dan mażhab Hanafi. Menurut mażhab Hanbali masa khiyār syarat sesuai dengan kesepakatan kedua pelaku transaksi walaupun melebihi tiga hari. Sedangkan menurut mażhab Maliki masa khiyār syarat bersifat relatif sesuai dengan komoditinya. Artinya boleh kurang dari tiga hari, boleh tiga hari dan boleh melebihi tiga hari jika komoditinya seperti rumah atau sejenisnya.

 

Khiyār syarat bisa sah jika memenuhi enam syarat

1) Menyebutkan tempo. Jika tidak disebutkan maka tidak sah.

2) Waktu yang ditentukan diketahui kedua pelaku transaksi.

3) Tidak melebihi tiga hari tiga malam (mażhab Syafi’i).

4) Waktu tiga hari tiga malam dihitung sejak persyaratan (kesepakatan khiyār syarat), bukan dihitung sejak pelaku transaksi berpisah.

5) Komoditi harus tidak berpotensi mengalami perubahan selama waktu yang telah ditentukan. Maka khiyār syarat dengan batas waktu tiga hari tiga malam boleh jika komoditi berupa buku, baju atau yang lain yang tidak mungkin mengalami perubahan selama tiga hari tiga malam. Dan
tidak boleh Jika komoditi berupa makanan seperti nasi atau yang lain yang berpotensi mengalami perubahan selama tiga hari tiga malam. Komoditi jenis makanan hanya boleh dengan batas waktu yang tidak berpotensi merubah keadaan komoditi seperti tiga jam.

6) Berkesinambungan. Artinya waktu yang ditentukan tidak terpisah.

 

c. Khiyār ‘aib

Khiyār ‘aib adalah hak pelaku transaksi untuk memilih antara melangsungkan transaksi dengan menerima komoditi apa adanya atau mengurungkan transaksi dengan mengembalikan komoditi kepada penjual setelah komoditi didapati tidak sesuai dengan salah satu dari tiga hal:

1) Tidak sesuai dengan janji (syarat) yang disebutkan ketika transaksi. Seperti membeli kambing dengan syarat kambing hamil. Jika setelah kambing diterima tidak sesuai dengan kriteria, maka pembeli memiliki hak khiyār ‘aib untuk memilih antara menerima kambing apa adanya atau mengembalikan kambing kepada penjual.

2) Tidak sesuai dengan standar umum. Artinya komoditi yang diminati pembeli adalah komoditi yang sesuai dengan standar umum dan terbebas dari ‘aib (cacat). Jika dalam komoditi terdapat ‘aib yang tidak umum ditemukan pada jenis barang tersebut seperti pembelian buku yang beberapa halamannya hilang, maka pembeli memiliki hak khiyār ‘aib sebagaimana dalam contoh pertama. Oleh karena itu, jika dalam komoditi terdapat ‘aib maka penjual wajib memberitahu secara detail kepada pembeli dan tidak boleh menyembunyikannya.

3) Tidak sesuai dengan harapan pembeli karena ada tindakan penipuan dari pihak penjual. Seperti sengaja tidak memerah susu hewan sebelum dijual agar pembeli mengira bahwa hewan tersebut memiliki banyak susu. Dalam praktik ini pembeli memliki hak khiyār ‘aib untuk memilih antara
menerima hewan sesuai dengan kondisi yang diterima atau mengembalikan hewan kepada penjual. Dalam khiyār ‘aib, ada empat kriteria ‘aib yang bisa menetapkan hak khiyār ‘aib:

 

1) ‘Aib Qadīm;

‘Aib qadīm adalah ‘aib yang wujud sebelum transaksi dilaksanakan, atau setelah transaksi namun sebelum serah-terima barang, atau setelah serahterima barang namun merupakan akibat dari sebab yang terjadi sebelumnya. Kriteria ‘aib demikian bisa menetapkan hak khiyār ‘aib karena barang masih menjadi tanggung jawab penjual. Berbeda dengan aib-aib yang wujud setelah serah-terima barang dan bukan merupakan akibat dari sebab yang terjadi sebelumnya, ‘aib ini tidak dapat menetapkan hak khiyār ‘aib karena barang sudah menjadi tanggung jawab pembeli.

2) ‘Aib yang mengurangi fisik;

3) ‘Aib yang mengurangi harga pasaran;

4) ‘Aib yang tidak umum ditemukan pada jenis barang tersebut.

Hak khiyār ‘aib bersifat otoritatif (qahrī) sebagaimana khiyār majlis. Artinya khiyār ‘aib ada secara otomatis jika komoditi didapati tidak sesuai dengan tiga hal diatas. Bukan atas dasar keinginan pribadi atau kesepakatan pelaku transaksi seperti khiyār syarat. Hak khiyār ‘aib akan berakhir, yakni pelaku transaksi tidak memiliki hak untuk mengembalikan komoditi dan dianggap menerima (rela) dengan kondisi komoditi apa adanya jika pelaku transaksi tidak segera mengembalikan komditi atau komoditi telah dimanfaatkan seperti dijual, disewakan atau dipakai.

 

C. SALAM

1. DALIL

Dalil yang mendasari legalitas akad salam adalah: a. Firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah (2): 282


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ

 

Hai orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah [2] : 282)

b. Sabda rasulullah Saw.

 

“Sesungguhnya nabi bersabda barang siapa melakukan transaksi salam maka melakukannya dengan takaran, timbangan dan tempo yang diketahui” (HR. AtTurmużi)

 

2. DEFINISI

Secara bahasa salam adalah segera. Sedangkan secara istilah salam adalah kontrak
jual beli atas suatu barang dengan jumlah dan kualitas tertentu dengan system pembayaran dilakukan dimuka sedangkan penyerahan barang diserahkan dikemudian hari sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Pada dasarnya akad salam merupakan pengecualian dari transaksi jual beli komoditi abstrak (bai’ ma’dūm) yang dilarang oleh syariat. Namun transaksi ini dilegalkan karena menjadi transaksi yang sangat dibutuhkan.

 

3. STRUKTUR AKAD SALAM

Struktur akad salam terdiri dari empat rukun, yakni ‘āqidain (muslim dan muslam ilaih), ra’s al-māl, muslam fīh, dan ṣigoh.

 

a. ‘Āqidain

‘Āqidain dalam akad salam meliputi muslim dan muslam ilaih. Muslim adalah pihak yang berperan sebagai pemesan (pembeli). Sedangkan muslam ilaih adalah pihak yang berperan sebagai penyedia barang pesanan (penjual). Secara umum syarat-syarat ‘Āqidain dalam akad salam sama dengan syarat-syarat ‘Āqidain dalam transaksi jual beli.

b. Ra’s Al-māl

Ra’s al-māl adalah harga muslam fīh yang harus dibayar dimuka oleh pihak muslim. Syarat-syarat ra’s al-māl adalah sebagai berikut:

1) Ma’lūm

Sebagaiamana dalam transaksi jual beli, ma’lūm bisa dengan melihat secara langsung atau dengan penyebutan kriteria barang meliputi sifat, jenis dan kadarnya.

2) Qabḍ

Yakni ra’s al-māl harus diserah-terimakan di majlis akad sebelum masa khiyār majlis berakhir.

3) Hulūl

Selain ra’s al-māl harus diserah-terimakan di majlis akad, serah-terima juga harus dilakukan secara tunai dan tidak boleh dilakukan dengan cara kredit (mu’ajjal).

 

c. Muslam fīh

Muslam fīh adalah barang pesanan yang menjadi tanggungan (żimmah) pihak muslam ilaih. Syarat-syarat muslam fīh ada empat:

1) Muslam fih harus berupa barang yang bisa dispesifikasi melalui kriterianya. Barang yang tidak bisa dispesifikasi melalui kriterianya seperti barang yang dimasak dengan api hukumnya masih diperselisihkan oleh beberapa Ulama.

Menurut mażhab syafii tidak diperbolehkan dijadikan sebagai muslam fīh. Sedangkan menurut imam malik dan mażhab hanbali diperbolehkan.

2) Muslam fīh harus berupa barang yang bisa diketahui jenis, macam, dan kadarnya.

3) Muslam fīh harus berstatus hutang dan tanggungan (żimmah), Sehingga tidak sah apabila berupa barang yang ditentukan (mu’ayyan).

4) Muslam fīh harus berupa barang yang tidak langka adanya.

 

D. AL-HAJRU

1. DEFINISI AL-HAJRU

Al- Hajru berasal dari al-hajr , hujranan atau hajara . Secara bahasa yaitu terlarang, tercegah atau terhalang. Al- hajru adalah sebuah bentuk pengekangan penggunaan harta dalam transaksi jual-beli atau yang lain pada sseorang yang bermasalah. Sedangkan menurut istilah/syara’ al-hajru ialah tercegahnya seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.

 

2. DASAR HUKUM AL-HAJRU

Dasar hukum al-hajru atau mahjur yaitu sudah tertera didalam Al-Qur’an seperti dibawah
ini:

Dalil al-hajru atau mahjur yang pertama tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282

yang berbunyi:

 

فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ

 

Artinya: “…..Maka jika orang yang berhutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur….”. (Q.S. Al-Baqoroh[2]:282)

Dalil al-hajru atau mahjur yang kedua tertera dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 5 yang berbunyi:

وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

 

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 5).

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini bahwa Allah SWT. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasharruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.

 

3. PEMBAGIAN AL-HAJRU

Ditinjau dari sisi fungsinya, Al-Hajru dibagi menjadi dua bagian diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Al-Hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang yang dicegah menggunakan hartanyaْ )ْ )محجور ْعلیهseperti al-hajru pada anak kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
b. Al-Hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang lain seperti al-hajru pada orang yang pailit, orang sakit parah, budak, murtad, dan orang yang menggadaikan.

 

4. TUJUAN AL-HAJRU

Ada beberapa tujuan mahjur atau yang sering dikenal dengan sebutan al-hajru diantaranya adalah sebagai berikut:

 

a. Al-Hajru atau Mahjur dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap:

1) Orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang.

2) Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.

3) Orang yang merungguhkan dilarang membelanjakan harta harta yang dirungguhkan.

4) Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin.

b. Mahjur dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dimahjur itu sendiri, seperti:

1) Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.

2) Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri.

3) Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya.[8]

 

5. Pembagian mahjur alaih

Orang-orang yang dicegah menggunakan hartanya menurut terbagi menjadi 9 golongan diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Anak kecil )الصبي

Ia meskipun sudah tamyiz tidak sah melakukan transaksi jual beli, bersedekah, memberikan harta pada orang lain karena ucapannya tidak mu’tabar , ia juga tidak bisa menjadi wali nikah atau melakukan akad nikah sendiri meskipun atas persetujuan wali.

b. Orang gila )المجنون

Ia tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli, bersedekah, menjadi wali, ibadahnya tidak sah begitu juga melakukan akad nikah meskipun atas persetujuan wali karena ucapan dan perwalianya tidak mu’tabar , namun ia diperkenankan memiliki kayu bakar dan hewan buruan yang diperolehnya.

c. Orang yang kurang akalnya (السفیه

Safih adalah orang bodoh yang menghambur-hamburkan hartanya tanpa kemanfaatan sedikitpun yang kembali pada dirinya baik kemanfaatan duniawi atau ukhrowi, ia tidak diperbolehkan menggunakan hartanya baik dalam rangka jual beli atau yang lain,ibadahnya sah begitu juga menunaikan zakat.

d. Orang yang pailit )المفلس

Muflis adalah orang yang pailit yang banyak terlilit hutang dan hartanya tidak cukup untuk melunasinya, ia tidak boleh menggunakan sisa hartanya tadi demi menjaga hakhak dari orang orang yang telah menghutanginya, larangan ini baru bisa berlaku setelah ada putusan hakim. Ia ( muflis ) sah melakukan transaksi jual beli, bila dilakukan secara tempo, ia juga boleh melakukan pernikahan dengan mahar yang ditempokan.

e. Orang yang sakit parah

Orang yang sakit parah dan orang yang berada dalam kondisi yang menghawatirkan seperti penumpang perahu saat diterpa angin yang sangat kencang atau diterpa ombak yang dahsyat itu tidak boleh menggunakan hartanya untuk sedekah, hibah, wasiat bila telah melebihi dari 1/3 hal ini di syari’atkan untuk kepentingan ahli waris, larangan ini tidak membutuhkan adanya putusan dari hakim, bila penggunaannya telah melebihi 1/3 hartanya maka kelebihannya tadi tergantung pada sikap ahli waris setelah ia meninggal, bila ahli waris rela maka sedekah, hibah dan wasiatnya sah.

f. Budak yang tidak mendapat izin berdagang dari tuannya

Ia tidak boleh menggunakan harta tuannya tanpa izin, karna itu transaksi jual beli yang dilakukan tidak sah, apabila barang yang telah ia beli menjadi rusak, maka barang itu menjadi tanggungannya dalam arti ia dapat dituntut untuk melunasinya setelah merdeka.

g. Orang yang menggadaikan

Ia tidak boleh menjual barang yang telah dijadikan jaminan tanpa seizin orang yang menerima gadai.hajr dalam hal ini tidak butuh putusan dari Qodli .

h. Orang murtad

Ia tidak boleh melakukan transaksi saat murtad. Hal ini disyariatkan untuk menjaga haknya kaum muslimin,mengingat bila ia mati hartanya menjadi harta fai’ , larangan tersebut menjadi tidak berlaku bila ia telah kembali masuk Islam.

i. Wanita Bersuami

Seorang wanita yang mempunyai suami, berada dibawah pengawasan suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.

 

6. HIKMAH AL-HAJRU

Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal mu’amalah, syara’ menginginkan agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, di statuskan mahjur alaih, maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan mu’amalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu oleh orang lain. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang yang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucunya harus di perhatikan sebagaimana

firman Allah dalam Surat An-Nisa’ :

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

 

 

TUGAS SISWA

PERTEMUAN II

 

Jawablah pertanyaan berikut ini!

1.      Beberapa produsen atau penjual memberikan garansi kepada konsumennya, sedangkan yang lain tidak memberikan. Apakah garansi tersebut termasuk khiyar?

2.      Apa pengertian khiyar?

3.      Sebutkan macam-macam khiyar?

4.      Apa perbedaan dari jual beli salaam dengan menjual barang yang belum dimiliki?

5.      Sebutkan pembagian mahjur ‘alaih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH