KOMPETENSI INTI (KI)
1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menunjukan perialku
jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran,
damai), santun, responsif dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam
serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3. Memahami, menerapkan
dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, procedural dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
budaya dan humanoria dengan wawasan kemanusian, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan prosedural
pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah
4. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
KOMPETENSI DASAR (KD)
1.3. Menghayati konsep
muamalah dalam Islam tentang jual beli, khiyaar, salam dan hajr
2.7. Mengamalkan sikap kerja sama dalam kehidupan sehari-hari sebagai implementasi
dari pengetahuan tentang kerjasama ekonomi dalam Islam
3.7. menganalisis
ketentuan tentang jual beli, khiyaar, salam dan hajr
4.7. mengomunikasikan ketentuan Islam mengenai jual beli, khiyaar, salam dan hajr
PETA KONSEP
PENDAHULUAN
Transaksi jual beli merupakan
transaksi yang lebih sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai
bukti bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan antara satu dengan
yang lain. Tentunya sesetidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan tanpa ada bantuan
dari orang lain, entah bantuan itu bersifat mu’awaḍoh (komersial)
seperti jual beli dan yang lain atau majānan (non komersial). Secara umum, jual
beli terbagi menjadi tiga: pertama, jual beli barang yang diketahui antara
penjual dan pembeli. Hukumya diperbolehkan. Kedua, jual beli barang yang
masih dalam tanggungan penjual yang hanya disebutkan karakteristiknya. Akad ini
dilegalkan oleh
Syariat jika sesuai
dengan karakteristik barang yang disebutkan pada waktu akad. Jual beli semacam
ini disebut dengan akad salam (pesanan). Ketiga, jual beli barang
yang wujudnya tidak ada atau tidak disaksikan oleh penjual dan pembeli. Hukum
dari transaksi ini tidak diperbolehkan.
Dalam ilmu fikih,
menjual dikenal dengan istilah bai’ sedangkan membeli dikenal istilah syiro’.
Maka penjual adalah bāi’ dan pembeli adalah musytarī. Setelah transaksi jual beli,
bāi’ dan musytarī diberikan kesempatan untuk memilih antara melanjutkan atau mengurungkan
akad dengan beberapa persyaratan. Hal ini dikenal dengan istilah khiyār. Dalam
bab ini akan membahas tentang bai’, khiyār, dan salam. Ketentuan hukum, syarat,
rukun dan masalah-masalah penting yang berkaitan dengan hal tersebut.
MATERI PEMBELAJARAN
A. JUAL BELI
1. DALIL
Dalil yang mendasari
legalitas transaksi jual beli adalah:
a. Firman Allah Swt. QS.
Al-Baqarah (2) : 275
وَأَحَلَّ
ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
"Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah [2]: 275)
b. Sabda Rasulullah Saw.
“Sesungguhnya Nabi Saw
ditanya mengenai penghasilan apa yang paling baik, maka Nabi bersabda:
“Pekerjaan seorang lelaki dengan tangannya sendiri dan jual beli (berdagang)
yang baik.” (HR Al-Bazzar)
2. DEFINISI
Secara bahasa, bai’ berarti
tukar menukar sesuatu. Sedangkan secara istilah, bai’ atau jual beli
adalah tukar menukar materi (māliyyah) yang memberikan konsekuensi kepemilikian
barang (‘ain) atau jasa (manfa’ah) secara permanen. Definisi ini
akan mengecualikan beberapa transaksi:
a. Transaksi hibah (transaksi pemberian). Dalam transaksi hibah tidak
ada praktik tukar menukar (mu’āwaḍah). Karena tukar menukar dilakukan
oleh kedua belah pihak, sedangkan dalam transaksi hibah hanya dari satu
pihak.
b. Transaksi nikah.
Walaupun nikah termasuk akad mu’āwaḍah, tapi tidak terjadi pada sebuah materi
(māliyyah). Karena farji tidak masuk dalam kategori materi.
c. Transaksi ijārah (transaksi
persewaan). Transaksi ijārah tidak bersifat permanen. Karena transaksi ijārah
adalah pemindahan kepemilikan manfaat dalam batas waktu yang telah
ditentukan.
3. Praktek jual beli
Praktek jual beli ada
tiga macam:
a. Bai’ Musyāhadah
Bai’ musyāhadah adalah jual beli komoditi (ma’qud ‘alaih)
yang dilihat secara langsung oleh pelaku transaksi. Batasan musyāhadah bersifat
relatif sesuai karakteristik komoditinya. Setiap bentuk musyāhadah yang bisa
menghasilkan ma’lum pada komoditi maka dianggap cukup, baik dengan cara melihat
secara keseluruhan, sebagian atau secara ḥukman (seperti melihat pada bungkus).
Melihat sebagian komoditi dianggap cukup jika telah mewakili keseluruhan kondisi
komoditi, seperti jual beli dengan mengacu pada sampel (unmūżaj) komoditi.
Contoh: cukup melihat sebagian beras dalam praktek jual beli satu karung beras.
Tidak perlu melihat seluruh beras dalam karung. Melihat secara ḥukman dianggap
cukup jika bagian luar komoditi berfungsi sebagai pelindung komoditi. Praktek
ini dianggap cukup karena jika harus melihat kondisi komoditi bagian dalam akan
berkonsekuensi merusak komoditi. Contoh: cukup melihat kulit telur dan kulit
mangga dalam praktek jual beli telur dan mangga. Tidak perlu melihat bagian
dalamnya.
b. Bai’ Mauṣuf Fī Żimmah
Bai’ mauṣuf fī żimmah adalah transaksi jual beli dengan sistem
tanggungan (żimmah) dan metode ma’lum nya melalui spesifikasi kriteria (ṣifah)
dan ukuran (qodru). Secara subtansi, bai’ mauṣuf fī żimmah hampir
mirip dengan transaksi salam, namun berbeda dalam beberapa hal.
c. Bai’ Goib
Bai’ goib adalah jual beli komoditi yang tidak terlihat
oleh kedua pelaku transaksi atau oleh salah satunya. Menurut qoul aẓhar dalam
mażhab Syafi’i, praktek demikian hukumnya tidak sah, karena termasuk bai’
al-goror (jual beli yang mengandung unsur penipuan). Sedangkan menurut muqābil
ażhar dan A’immah Ṡalāṡah (tiga Imam mażhab selain Imam Syafi’i), bai’
goib sah jika menyebutkan spesifikasi ciri-ciri dari komoditi (sifat ,
jenis dan macamnya).
4. Hukum jual beli
Hukum jual beli ada
lima:
a. Wajib
Seperti menjual makanan
kepada orang yang akan mati jika tidak makan.
b. Sunnah
Seperti menjual sesuatu
yang bermanfaat jika dibarengi niat yang baik.
c. Makruh
Seperti menjual setelah
azan pertama shalat jumat, menjual kain kafan karena ia akan selalu berharap
ada kematian.
d. Mubah
Seperti menjual peralatan
rumah jika tidak dibarengi niat yang baik.
e. Haram
Seperti menjual setelah
azan kedua shalat jumat, menjual pedang kepada pembunuh, menjual anggur kepada
orang yang diyakini akan menjadikannya khamr. Namun praktik-praktik ini tetap
sah secara hukum waḍ’ī.
5. STRUKTUR AKAD JUAL
BELI
Struktur akad jual beli
terdiri dari tiga rukun. Yaitu ‘Āqidain (penjual dan pembeli), ma’qūd
‘alaih (barang dagangan dan alat pembayaran ), dan ṣīgah (Ījāb dan
qabūl).
a. Āqidain
Āqidain adalah pelaku transaksi yang meliputi penjual
dan pembeli. Secara hukum transaksi jual beli bisa sah jika pelaku transaksi
(penjual dan pembeli) memiliki kriteria mukhtār dan tidak termasuk dalam
kategori maḥjūr ‘alaih. Mukhtār adalah seorang yang melakukan
transaksi atas dasar inisiatif sendiri, tanpa ada unsur paksaan (ikrāh)
dari orang lain. Transaksi atas dasar paksaan hukumnya tidak sah karena
transaksi tersebut terlaksana tanpa ada kerelaan dari pelaku transaksi. Firman
Allah Swt. QS. An-Nisā’ (4): 29
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟
أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu”. (QS. An-Nisā’ [4] : 29)
Kecuali paksaan atas
dasar kebenaran. Seperti Very menyuruh Dedi menjual hartanya karena hutang Dedi
telah jatuh tempo, namun ia tidak mau melaksanakan dan Very pun melaporkan Dedi
ke hakim. Maka hakim boleh menjual barang Dedi tanpa izin atau memaksa untuk
menjual hartanya dalam rangka pelunasan hutang.
Sedangkan Maḥjūr
‘alaih adalah orang yang dibekukan tasaruf atas hartanya karena sebab-sebab
tertentu. Dalam fikih terdapat delapan orang yang dibekukan tasaruf atas
hartanya. Yaitu: anak kecil (ṣobī), orang gila (majnūn), orang
yang menghamburkan harta (safīh), orang yang bangkrut (muflis),
orang sakit dalam keadaan kritis (marīḍ makhūf), budak, orang murtad
(keluar dari agama Islam), dan orang yang menggadaikan barang (rāhin). Selain
dua syarat di atas, pelaku transaksi (pembeli) harus muslim jika komoditi
berupa:
1) Mushaf
Yaitu setiap sesuatu
yang mengandung tulisan al-Qur’an. Disamakan dengan
al-Qur’an yaitu kitab hadis dan kitab yang mengandung ilmu syariat. Maka pembeli
komoditi ini disyaratkan harus muslim.
2) Budak Muslim
Jika komoditi berupa
budak muslim, maka pembeli juga harus muslim. Karena kepemilikan non muslim
terhadap budak muslim mengandung unsur penghinaan. Sebagaimana firman Allah
Swt. QS. An-Nisā’ (4) : 141:
وَلَن
يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah sekali-kali tidak
akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang
beriman”. (QS. An-Nisā’ [4] :
141)
3) Budak Murtad
Budak murtad juga tidak
sah dijual kepada non muslim, karena orang murtad masih terikat dengan Islam
dengan adanya tuntutan untuk kembali pada agama Islam.
b. Ma’qūd ‘alaih
Ma’qūd ‘alaih adalah komoditi dalam transaksi jual beli yang
meliputi barang dagangan (muṡman/mabī’) dan alat pembayaran (ṡaman).
Syarat ma’qūd ‘alaih ada lima: li al-‘Āqid wilāyah, ma’lūm,
muntafa’ bih, maqdūr ‘alā taslīm, dan ṭāhir (suci).
1) Li al ‘Āqid Wilāyah
Yaitu pelaku transaksi
harus memiliki wilāyah (otoritas) atau kewenangan atas ma’qūd ‘alaih.
Otoritas atau kewenangan atas komoditi bisa dihasilkan melalui salah satu dari
empat hal:
a. Kepemilikan;
b. Perwakilan (wakālah);
c. Kekuasaan (wilāyah),
seperti wali anak kecil, wali anak yatim, penerima wasiat (waṣi);
d. Izin dari syariat,
seperti penemu barang hilang dengan ketentuannya. Pelaku transaksi yang tidak
memiliki salah satu dari empat otoritas ini maka jual beli yang dilakukan tidak
sah secara hukum. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“ Tidak boleh menjual
kecuali barang yang kamu miliki”. (HR. Abu Daud)
2)
Ma’lūm
Ma’lūm adalah keberadaan komoditi diketahui oleh pelaku
transaksi secara transparan. Pengetahuan terhadap komoditi bisa dihasilkan
melalui salah satu dari dua metode:
a) Melihat secara
langsung;
b) Spesifikasi, dengan
cara menyebutkan ciri-ciri komoditi baik sifat dan ukurannya.
3)
Muntafa’ Bih
Muntafa’ bih adalah barang yang memiliki nilai kemanfaatan.
Adapun tinjauan muntafa’ bih sebuah komoditi melalui dua penilaian, yaitu syar’ī
dan ‘urfī. Barang yang memiliki nilai manfaat secara syar’ī maksudnya
adalah barang yang pemanfaatannya legal secara syariat. Maka tidak sah menjual
alat musik, karena pemanfaatannya tidak legal secara syariat. Adapun barang
yang memiliki nilai manfaat secara ‘urfī adalah barang yang diakui
publik memiliki nilai manfaat. Sehingga tidak sah menjual dua biji beras,
karena secara public tidak memiliki nilai manfaat.
4)
Maqdūr ‘Alā Taslīm
Maqdūr ‘alā taslīm adalah keadaan komoditi yang mampu
diserahterimakan oleh kedua pelaku transaksi. Jika keadaan komoditi tidak
mungkin diserah-terimakan seperti menjual burung yang ada di udara atau ikan
yang ada di laut maka transaksi tidak sah.
5)
Ṭāhir
Ṭāhir adalah keadaan komoditi yang suci. Maka tidak
sah menjual komoditi yang najis seperti kulit bangkai, anjing dan babi. Hal
berdasarkan sabda Rasulullah Saw;:
“Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi dan berhala”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun komoditi yang
terkena najis (mutanajjis) hukumnya diperinci. Jika memungkinkan disucikan
seperti baju yang terkena najis maka sah dijual, jika tidak memungkinkan
seperti air sedikit yang terkena najis maka tidak sah dijual.
c. Ṣigah
Ṣigoh adalah bahasa interaktif dalam sebuah transaksi,
yang meliputi penawaran dan persetujuan (ījab dan qabūl).
Transaksi jual beli tanpa menggunakan ījāb dan qabūl dikenal
dengan istilah bai’ mu’āṭah.
1) bai’ mu’āṭah.
ījāb dan qabūl dalam
transaksi jual beli cukup urgen, Sehingga ada tiga pendapat tentang bai’
mu’āṭah:
a) Menurut qoul
masyhūr tidak sah secara mutlak;
b) Menurut ibn Suraij
dan Arrauyāni bai’ muāṭah sah hanya pada komoditi dalam sekala kecil (ḥaqīr);
c) Menurut Imam Malik
dan Annawawi bai’ muāṭah sah dalam praktek yang secara ‘ūrf (umum) sudah
dikatakan sebagai praktik jual beli.
2) Syarat-syarat ṣigoh adalah sebagai berikut:
a) antara ījāb dan qabūl
tidak ada pembicaraan lain yang tidak hubungannya dengan transaksi jual beli.
b) antara ījāb dan qabūl
tidak ada jeda waktu yang lama.
c) adanya kesesuaian
makna antara ījāb dan qabūl. Semisal dalam ījāb disebutkan harga barang yang
dijual adalah Rp 10.000, lalu dalam qabūl disebutkan Rp 20.000, maka ījāb-qabūl
yang demikian tidak sah.
d) tidak digantungkan
pada suatu syarat yang tidak sesuai dengan ketentuan akad. Semisal memberikan
syarat kepada pembeli untuk tidak menjual kembali barang yang dibelinya kecuali
pada penjual pertama. Syarat seperti ini bertentangan dengan ketentuan akad
bai’ yakni setelah transaksi jual beli selesai maka barang sepenuhnya menjadi
milik pembeli. Adalah hak pembeli menjual barang yang dimilikinya kepada siapa
saja.
e) tidak ada pembatasan
waktu.
f) ucapan pertama tidak
berubah dengan ucapan kedua. Semisal apabila penjual berkata, “Saya jual dengan
harga sepuluh ribu,” lalu ia mengubah kalimatnya, “Saya jual dengan harga dua
puluh ribu”, maka ījābnya tidak sah. Sebab, apabila pembeli menjawab, “Ya, saya
beli”, maka tidak dapat diketahui, harga mana yang disetujuinya.
g) ījāb dan qabūl
diucapkan sampai terdengar oleh orang yang berada di dekatnya. Adapun isyarat
orang bisu, jika isyaratnya bisa dipahami oleh semua orang maka dianggap ṣigoh
yang ṣorih dan tidak butuh niat. Namun jika isyaratnya hanya bisa dipahami oleh
beberapa orang saja maka dianggap ṣigoh kināyah dan butuh niat.
h) tetap wujudnya
syarat-syarat āqidain sampai ījāb dan qabūl selesai.
i) orang yang memulai
ījāb atau qabūl harus menyebutkan harga.
j) memaksudkan kalimat
ījāb dan qabūl pada maknanya. Syarat ini mengecualikan kalimat yang diucapkan
orang yang lupa, tidur (mengigau), tidak sadar dan sebagainya.
6. ETIKA DALAM TRANSAKSI
JUAL BELI
a. Titak terlalu banyak
dalam mengambil laba.
b. Jujur dalam
bertransaksi. Menjelaskan kedaaan komoditi baik kelebihan atau kekurangannya
tanpa ada kebohongan. Rasulullah Saw. Bersabda:
“Sesungguhnya para
pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka, kecuali orang
yang takwa kepada Allah Swt., berbuat baik (dalam bertransaksi), dan jujur”. (HR. Turmużi)
c. Dermawan dalam
bertransaksi baik penjual dengan cara mengurangi harga barang atau pembeli
dengan cara menambah harga barang.
“Allah Swt. Mengasihi
seseorang yang dermawan ketika menjual, membeli dan menagih hutang”. (HR. Bukhari)
d. Sunnah menjauhi
sumpah walaupun jujur. Firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah
(2): 224
وَلَا
تَجْعَلُوا۟ ٱللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَٰنِكُمْ أَن تَبَرُّوا۟ وَتَتَّقُوا۟
وَتُصْلِحُوا۟ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Jangahlah kamu jadikan
(nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan,
bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia”. (QS. Al-Baqarah [2] : 224)
e. Disunnahkan
memperbanyak sedekah sebagai pelebur dosa yang terjadi ketika transaksi.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Wahai golongan para
pedagang, sesungguhnya setan dan dosa menghadiri transaksi jula beli. Maka
campurlah transaksi jual beli dengan sedekah”. (HR. Turmużi)
f. Sunnah mencatat
transaksi yang dilakukan dan jumlah piutang. Berdasarkan firman Allh Swt. QS.
Al-Baqarah (2) : 282
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَٱكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. AlBaqarah [2] : 282)
7. TRANSAKSI JUAL BELI
YANG DILARANG
a. Iḥtikār (Menimbun)
Iḥtikār adalah menimbun makanan pokok yang dibeli ketika
waktu mahal untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal setelah
masyarakat sangat membutuhkan. Iḥtikār hukumnya haram. Berdasarkan sabda
Rasulullah Saw.:
“Tidak menimbun kecuali
orang yang durhaka (berdosa)”. (HR. Ahmad)
“Barang siapa yang
menimbun makanan orang-orang Islam, maka Allah Swt. akan membuatnya (berpenyakit)
kusta dan bangkrut”. (HR. Ibn Majah)
Iḥtikār (penimbunan) haram jika memenuhi lima hal:
1) Makanan yang ditimbun
adalah makanan pokok, baik makanan pokok manusia atau makanan pokok hewan.
Mengecualikan selain makanan pokok, maka tidak dinamakan iḥtikār.
Menurut mażhab Maliki, penimbunan juga haram pada setiap perkara yang menjadi
kebutuhan manusia dalam keadaan darurat.
2) Makanan pokok yang
ditimbun didapatkan dengan cara membeli. Jika tidak didapatkan dengan cara
membeli seperti hasil panen maka tidak haram.
3) Pembelian dilakukan
ketika harga makanan pokok mahal. Maka tidak haram jika pembelian dilakukan
ketika harga murah.
4) Setelah ditimbun,
dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Jika penimbunan atas dasar untuk
dikonsumsi pribadi atau keluarga sendiri, atau untuk dijual lagi namun tidak
dengan harga yang lebih mahal.
5) Penjualan setelah
penimbunan dilakukan ketika keadaan masyarakat sangat membutuhkan. Jika tidak
demikian maka tidak haram.
b. Najsy
Najsy adalah menawar
barang dengan cara meninggikan harga bukan karena ingin membeli tapi untuk
menipu orang lain.
c. Saum ‘Alā As-Saum
Yaitu menawar atas
tawaran orang lain. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“Seorang laki-laki tidak
boleh menawar atas tawaran saudaranya”.(HR. Muslim)
Saum ‘alā as-saum bisa
terjadi dari pihak pembeli atau pihak penjual.
1) Pihak Pembeli
Menawar barang dengan
harga yang lebih tinggi atas barang yang telah disepakati harganya antara
penjual dan pembeli pertama. Seperti perkataan seseorang (pembeli kedua) kepada
penjual “ambillah kembali barangmu, karena aku akan membeli darimu dengan harga
yang lebih tinggi”.
2) Pihak Penjual
Menawarkan barang dengan
harga yang lebih murah dari pada harga yang telah disepakati oleh pembeli dan
penjual pertama. Seperti perkataan seseorang (penjual kedua) kepada pembeli
“kembalikan barang yang sudah kamu beli, karena aku akan menjual kepadamu
barang yang lebih bagus dengan harga yang sama atau barang yang sama dengan
harga yang lebih rendah”.
d. Mengandung Unsur
Membantu Kemaksiatan
Setiap transaksi jual
beli yang mengandung unsur membantu terwujudnya kemaksiatan adalah haram.
Seperti menjual anggur kepada orang yang diyakini akan menjadikannya sesuatu
yang memabukkan, menjual ayam yang diyakini akan diadu, dan menjual sutera
kepada laki-laki yang diyakini akan dipakai sendiri.
e. Memisahkan Antara Ibu
dan Anak
Termasuk transaksi jual
beli yang dilarang adalah memisahkan antara budak perempuan dan anaknya yang
belum tamyīz (anak kecil yang belum bisa mandi, makan dan minum sendiri) dengan
cara dijual atau diberikan kepada orang lain. Menurut Imam Al-gazali, hal ini
juga berlaku kepada selain budak perempuan, yakni perempuan merdeka. Keharaman
ini bersifat mutlak, dalam arti walaupun si ibu rela atau sekalipun gila. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa yang
memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah Swt. akan memisahkan
antara dia dengan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat”. (HR. Turmużi)
Adapun memisahkan hewan
(induk) dengan anaknya boleh jika anak hewan sudah tidak butuh pada air susu
induknya, jika masih butuh maka haram untuk memisahkan kecuali dalam rangka
untuk disembelih.
TUGAS SISWA
BAB VII JUAL BELI
PERTEMUAN I
Jawaban
Dikirim Via Wapri
1.
Identifikasilah praktik
transaksi jual beli yang sah dan praktik jual beli yang tidak sah di
negara Indonesia
melalui majalah, koran, atau media online dan tulislah alasannya! Berikan masing
masing 5 contoh!
Jawaban
dikirim via Google Form
Silahkan
klik link dibawah ini
PERTEMUAN
II
Kamis, 21 Januari 2020
BAB
JUAL BELI
B.
KHIYĀR
1. DALIL
Dalil
yang mendasari legalitas khiyār adalah sabda Rasulullah Saw.
الْبَيِّعَانِ بِااْلخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْيَقُوْلَ
أَحَدُ هُمَا لِلْاخَرِاخْتَرْ
“Penjual dan pembeli memiliki pilihan sebelum
keduanya berpisah, atau salah satunya mengatakan pada yang lain, pilihlah” (HR. Bukhari Muslim)
“Dari
ibn Umar RA. berkata, aku mendengar seorang sahabat anṣār yang lugu mengadu
kepada Rasulullah Saw. bahwa ia selalu dirugikan dalam jual beli. Lalu Rasulullah
Saw. bersabda “apabila kamu jual beli maka katakan, “tidak ada penipuan’,
selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan pada setiap barang yang kamu beli
selama tiga malam. Jika kamu berminat ambil, jika tidak kembalikan”. (HR. Albaihaqi)
2.
Definisi
Khiyār
adalah
hak memilih pelaku transaksi untuk memilih antara melanjutkan atau mengurungkan
transaksi. Pada dasarnya, setelah terpenuhi semua syarat dan rukun sebuah
transaksi maka transaksi dinyatakan final. Namun syariat memberikan kelonggaran
kepada kedua pelaku transaksi berupa hak atau kewenangan untuk mengurungkan
transaksi yang telah final tanpa harus mendapat persetujuan pihak lain.
Klasifikasi
khiyār
Khiyār
dibagi
menjadi tiga macam:
a.
Khiyār majlis
Khiyār
majlis adalah
hak atau wewenang pelaku transaksi untuk menentukan pilihan antara
melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua pelaku transaksi masih
berada dalam masa khiyār majlis. Khiyār majlis bisa sah dengan
lima syarat:
1)
Terjadi pada akad yang bersifat murni tukar-menukar barang (mu’āwaḍah maḥḍah).
Mengecualikan akad nikah, maka dalam akad nikah tidak terjadi khiyār majlis.
2) Terjadi
pada akad yang obyek akadnya berupa barang. Maka tidak terjadi khiyār majlis
dalam akad ijārah. Karena akad ijārah obyek akadnya berupa manfaat.
3)
Terjadi pada akad yang bersifat lāzim dari kedua belah pihak.
Mengecualikan akad kitābah. Karena akad kitābah lāzim dari pihak
majikan, jā’iz dari pihak budak.
4)
Tidak terjadi pada akad yang kepemilikannya bersifat otoritatif (qahrī)
seperti akad syuf’ah.
5)
Tidak terjadi pada akad yang bersifat rukhṣah (keringanan) dari syariat
seperti akad ḥawālah.
Masa
khiyār majlis akan berakhir dengan salah satu antara saling memilih (takhāyur)
atau berpisah (tafarruq).
a) Takhāyur
Takhāyur
adalah
keputusan pelaku transaksi antara memilih melangsungkan atau mengurungkan
transaksi ketika keduanya masih berada dalam majlis akad. Jika pelaku transaksi
telah menjatuhkan salah satu pilihan, maka hak khiyārnya telah berakhir
walaupun keduanya belum berpisah (tafarruq) dari majlis akad. Apabila
ada perbedaan pilihan antara kedua pelaku transaksi, seperti satu pihak memilih
melangsungkan transaksi sedangkan yang lain memilih mengurungkannya, maka yang
dimenangkan adalah pihak yang mengurungkan transaksi.
b) Tafarruq
Tafarruq
adalah
terjadinya perpisahan antara kedua atau salah satu pelaku transaksi dari majlis
akad. Batasan tafarruq merujuk pada ‘urf (umumnya) karena tidak ada
batasan secara syar’ī maupun lugowī. Jika salah satu pelaku
transaksi keluar dari majlis akad maka masa khiyar telah berakhir walaupun
keduanya belum saling memilih (takhāyur).
b.
Khiyār syarat
Khiyār
syarat adalah
hak pelaku transaksi untuk memilih antara melangsungkan atau mengurungkan
transaksi sesuai kesepakatan kedua belah pihak atas waktu yang telah
ditentukan. Eksistensi khiyār syarat bersifat opsional (pilihan), dalam
arti khiyār syarat boleh ditiadakan jika kedua belah pihak tidak
menginginkan. Berbeda dengan khiyār majlis yang bersifat otoritatif (qohrī)
sehingga tidak bisa dinafikan dari akad. Jika pelaku transaksi menafikan khiyār
majlis dari sebuah transaksi maka ada tiga pendapat dalam mażhab Syafi’i:
·Menurut qaul aṣah transaksi
tidak sah.
·Menurut pendapat kedua transaksi
sah tanpa ada hak khiyār.
·Menurut pendapat ketiga transaksi
sah dan tetap ada hak khiyār.
Fungsi
khiyār syarat adalah perpanjangan dari khiyār majlis. Jika hak memilih
dalam khiyār majlis hanya terbatas ketika pelaku transaksi berada dalam
majlis akad dan akan berakhir ketika keduanya telah berpisah, maka dalam khiyār
syarat hak memilih tersebut masih berlangsung walaupun kedua pelaku
transaksi telah berpisah sampai batas waktu yang telah disepakati. Masa khiyār
syarat telah ditentukan oleh syariat, yakni tidak boleh melebihi tiga hari
tiga malam. Pendapat ini adalah mażhab Syafii dan mażhab Hanafi. Menurut mażhab
Hanbali masa khiyār syarat sesuai dengan kesepakatan kedua pelaku
transaksi walaupun melebihi tiga hari. Sedangkan menurut mażhab Maliki masa khiyār
syarat bersifat relatif sesuai dengan komoditinya. Artinya boleh kurang
dari tiga hari, boleh tiga hari dan boleh melebihi tiga hari jika komoditinya
seperti rumah atau sejenisnya.
Khiyār
syarat bisa
sah jika memenuhi enam syarat
1)
Menyebutkan tempo. Jika tidak disebutkan maka tidak sah.
2)
Waktu yang ditentukan diketahui kedua pelaku transaksi.
3)
Tidak melebihi tiga hari tiga malam (mażhab Syafi’i).
4)
Waktu tiga hari tiga malam dihitung sejak persyaratan (kesepakatan khiyār
syarat), bukan dihitung sejak pelaku transaksi berpisah.
5)
Komoditi harus tidak berpotensi mengalami perubahan selama waktu yang telah
ditentukan. Maka khiyār syarat dengan batas waktu tiga hari tiga malam
boleh jika komoditi berupa buku, baju atau yang lain yang tidak mungkin
mengalami perubahan selama tiga hari tiga malam. Dan
tidak boleh Jika komoditi berupa makanan seperti nasi atau yang lain yang berpotensi
mengalami perubahan selama tiga hari tiga malam. Komoditi jenis makanan hanya
boleh dengan batas waktu yang tidak berpotensi merubah keadaan komoditi seperti
tiga jam.
6)
Berkesinambungan. Artinya waktu yang ditentukan tidak terpisah.
c.
Khiyār ‘aib
Khiyār
‘aib adalah
hak pelaku transaksi untuk memilih antara melangsungkan transaksi dengan
menerima komoditi apa adanya atau mengurungkan transaksi dengan mengembalikan
komoditi kepada penjual setelah komoditi didapati tidak sesuai dengan salah
satu dari tiga hal:
1)
Tidak sesuai dengan janji (syarat) yang disebutkan ketika transaksi. Seperti
membeli kambing dengan syarat kambing hamil. Jika setelah kambing diterima
tidak sesuai dengan kriteria, maka pembeli memiliki hak khiyār ‘aib untuk
memilih antara menerima kambing apa adanya atau mengembalikan kambing kepada
penjual.
2)
Tidak sesuai dengan standar umum. Artinya komoditi yang diminati pembeli adalah
komoditi yang sesuai dengan standar umum dan terbebas dari ‘aib (cacat).
Jika dalam komoditi terdapat ‘aib yang tidak umum ditemukan pada jenis
barang tersebut seperti pembelian buku yang beberapa halamannya hilang, maka
pembeli memiliki hak khiyār ‘aib sebagaimana dalam contoh pertama. Oleh karena
itu, jika dalam komoditi terdapat ‘aib maka penjual wajib memberitahu
secara detail kepada pembeli dan tidak boleh menyembunyikannya.
3)
Tidak sesuai dengan harapan pembeli karena ada tindakan penipuan dari pihak
penjual. Seperti sengaja tidak memerah susu hewan sebelum dijual agar pembeli
mengira bahwa hewan tersebut memiliki banyak susu. Dalam praktik ini pembeli
memliki hak khiyār ‘aib untuk memilih antara
menerima hewan sesuai dengan kondisi yang diterima atau mengembalikan hewan
kepada penjual. Dalam khiyār ‘aib, ada empat kriteria ‘aib yang
bisa menetapkan hak khiyār ‘aib:
1) ‘Aib Qadīm;
‘Aib
qadīm adalah
‘aib yang wujud sebelum transaksi dilaksanakan, atau setelah transaksi namun
sebelum serah-terima barang, atau setelah serahterima barang namun merupakan
akibat dari sebab yang terjadi sebelumnya. Kriteria ‘aib demikian bisa
menetapkan hak khiyār ‘aib karena barang masih menjadi tanggung jawab
penjual. Berbeda dengan aib-aib yang wujud setelah serah-terima barang dan
bukan merupakan akibat dari sebab yang terjadi sebelumnya, ‘aib ini
tidak dapat menetapkan hak khiyār ‘aib karena barang sudah menjadi
tanggung jawab pembeli.
2) ‘Aib
yang mengurangi fisik;
3) ‘Aib
yang mengurangi harga pasaran;
4) ‘Aib
yang tidak umum ditemukan pada jenis barang tersebut.
Hak
khiyār ‘aib bersifat otoritatif (qahrī) sebagaimana khiyār
majlis. Artinya khiyār ‘aib ada secara otomatis jika komoditi didapati
tidak sesuai dengan tiga hal diatas. Bukan atas dasar keinginan pribadi atau
kesepakatan pelaku transaksi seperti khiyār syarat. Hak khiyār ‘aib akan
berakhir, yakni pelaku transaksi tidak memiliki hak untuk mengembalikan
komoditi dan dianggap menerima (rela) dengan kondisi komoditi apa adanya jika
pelaku transaksi tidak segera mengembalikan komditi atau komoditi telah
dimanfaatkan seperti dijual, disewakan atau dipakai.
C.
SALAM
1.
DALIL
Dalil yang mendasari legalitas akad salam adalah: a. Firman
Allah Swt. QS. Al-Baqarah (2): 282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ
Hai
orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah [2] : 282)
b.
Sabda rasulullah Saw.
“Sesungguhnya
nabi bersabda barang siapa melakukan transaksi salam maka melakukannya dengan
takaran, timbangan dan tempo yang diketahui” (HR. AtTurmużi)
2.
DEFINISI
Secara
bahasa salam adalah segera. Sedangkan secara istilah salam adalah
kontrak
jual beli atas suatu barang dengan jumlah dan kualitas tertentu dengan system
pembayaran dilakukan dimuka sedangkan penyerahan barang diserahkan dikemudian
hari sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Pada dasarnya akad salam merupakan
pengecualian dari transaksi jual beli komoditi abstrak (bai’ ma’dūm) yang
dilarang oleh syariat. Namun transaksi ini dilegalkan karena menjadi transaksi
yang sangat dibutuhkan.
3.
STRUKTUR AKAD SALAM
Struktur
akad salam terdiri dari empat rukun, yakni ‘āqidain (muslim dan
muslam ilaih), ra’s al-māl, muslam fīh, dan ṣigoh.
a.
‘Āqidain
‘Āqidain
dalam
akad salam meliputi muslim dan muslam ilaih. Muslim adalah
pihak yang berperan sebagai pemesan (pembeli). Sedangkan muslam ilaih adalah
pihak yang berperan sebagai penyedia barang pesanan (penjual). Secara umum syarat-syarat
‘Āqidain dalam akad salam sama dengan syarat-syarat ‘Āqidain dalam
transaksi jual beli.
b. Ra’s Al-māl
Ra’s
al-māl adalah
harga muslam fīh yang harus dibayar dimuka oleh pihak muslim.
Syarat-syarat ra’s al-māl adalah sebagai berikut:
1) Ma’lūm
Sebagaiamana
dalam transaksi jual beli, ma’lūm bisa dengan melihat secara langsung
atau dengan penyebutan kriteria barang meliputi sifat, jenis dan kadarnya.
2) Qabḍ
Yakni
ra’s al-māl harus diserah-terimakan di majlis akad sebelum masa khiyār
majlis berakhir.
3) Hulūl
Selain
ra’s al-māl harus diserah-terimakan di majlis akad, serah-terima juga harus
dilakukan secara tunai dan tidak boleh dilakukan dengan cara kredit (mu’ajjal).
c. Muslam fīh
Muslam
fīh adalah
barang pesanan yang menjadi tanggungan (żimmah) pihak muslam ilaih.
Syarat-syarat muslam fīh ada empat:
1) Muslam
fih harus berupa barang yang bisa
dispesifikasi melalui kriterianya. Barang yang tidak bisa dispesifikasi melalui
kriterianya seperti barang yang dimasak dengan api hukumnya masih
diperselisihkan oleh beberapa Ulama.
Menurut
mażhab syafii tidak diperbolehkan dijadikan sebagai muslam fīh. Sedangkan
menurut imam malik dan mażhab hanbali diperbolehkan.
2) Muslam
fīh harus berupa barang yang bisa
diketahui jenis, macam, dan kadarnya.
3) Muslam
fīh harus berstatus hutang dan
tanggungan (żimmah), Sehingga tidak sah apabila berupa barang yang
ditentukan (mu’ayyan).
4) Muslam
fīh harus berupa barang yang tidak
langka adanya.
D.
AL-HAJRU
1.
DEFINISI AL-HAJRU
Al-
Hajru berasal dari al-hajr , hujranan atau hajara . Secara bahasa yaitu
terlarang, tercegah atau terhalang. Al- hajru adalah sebuah bentuk pengekangan
penggunaan harta dalam transaksi jual-beli atau yang lain pada sseorang yang
bermasalah. Sedangkan menurut istilah/syara’ al-hajru ialah tercegahnya
seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang
mengharuskan adanya pencegahan.
2.
DASAR HUKUM AL-HAJRU
Dasar
hukum al-hajru atau mahjur yaitu sudah tertera didalam Al-Qur’an seperti
dibawah
ini:
Dalil
al-hajru atau mahjur yang pertama tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
282
yang
berbunyi:
فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ
ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ
بِٱلْعَدْلِ
Artinya:
“…..Maka jika orang yang berhutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur….”. (Q.S. Al-Baqoroh[2]:282)
Dalil
al-hajru atau mahjur yang kedua tertera dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 5
yang berbunyi:
وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ
ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ
قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 5).
Ibnu
Katsir berkata tentang ayat ini bahwa Allah SWT. melarang memperkenankan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasharruf (penggunaan) harta benda
yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
3.
PEMBAGIAN AL-HAJRU
Ditinjau
dari sisi fungsinya, Al-Hajru dibagi menjadi dua bagian diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.
Al-Hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang yang dicegah menggunakan hartanyaْ
)ْ )محجور ْعلیهseperti al-hajru pada anak
kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
b. Al-Hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang lain seperti al-hajru pada
orang yang pailit, orang sakit parah, budak, murtad, dan orang yang
menggadaikan.
4.
TUJUAN AL-HAJRU
Ada
beberapa tujuan mahjur atau yang sering dikenal dengan sebutan al-hajru
diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Al-Hajru atau Mahjur dilakukan
guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap:
1)
Orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang
mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang.
2)
Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga
hak-hak ahli warisnya.
3)
Orang yang merungguhkan dilarang membelanjakan harta harta yang dirungguhkan.
4)
Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga
hak muslimin.
b.
Mahjur
dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dimahjur itu sendiri, seperti:
1)
Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan sudah pandai
mengelola dan mengendalikan harta.
2)
Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan juga
untuk menjaga hak-haknya sendiri.
3)
Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga
hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya.[8]
5.
Pembagian mahjur alaih
Orang-orang
yang dicegah menggunakan hartanya menurut terbagi menjadi 9 golongan diantaranya
adalah sebagai berikut:
a.
Anak kecil )الصبي
Ia
meskipun sudah tamyiz tidak sah melakukan transaksi jual beli, bersedekah, memberikan
harta pada orang lain karena ucapannya tidak mu’tabar , ia juga tidak bisa
menjadi wali nikah atau melakukan akad nikah sendiri meskipun atas persetujuan wali.
b.
Orang gila )المجنون
Ia
tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli, bersedekah, menjadi wali, ibadahnya
tidak sah begitu juga melakukan akad nikah meskipun atas persetujuan wali
karena ucapan dan perwalianya tidak mu’tabar , namun ia diperkenankan memiliki
kayu bakar dan hewan buruan yang diperolehnya.
c. Orang
yang kurang akalnya (السفیه
Safih
adalah orang bodoh yang menghambur-hamburkan hartanya tanpa kemanfaatan sedikitpun
yang kembali pada dirinya baik kemanfaatan duniawi atau ukhrowi, ia tidak
diperbolehkan menggunakan hartanya baik dalam rangka jual beli atau yang lain,ibadahnya
sah begitu juga menunaikan zakat.
d. Orang
yang pailit )المفلس
Muflis
adalah orang yang pailit yang banyak terlilit hutang dan hartanya tidak cukup untuk
melunasinya, ia tidak boleh menggunakan sisa hartanya tadi demi menjaga hakhak
dari orang orang yang telah menghutanginya, larangan ini baru bisa berlaku setelah
ada putusan hakim. Ia ( muflis ) sah melakukan transaksi jual beli, bila dilakukan
secara tempo, ia juga boleh melakukan pernikahan dengan mahar yang ditempokan.
e.
Orang yang sakit parah
Orang
yang sakit parah dan orang yang berada dalam kondisi yang menghawatirkan seperti
penumpang perahu saat diterpa angin yang sangat kencang atau diterpa ombak yang
dahsyat itu tidak boleh menggunakan hartanya untuk sedekah, hibah, wasiat bila telah
melebihi dari 1/3 hal ini di syari’atkan untuk kepentingan ahli waris, larangan
ini tidak membutuhkan adanya putusan dari hakim, bila penggunaannya telah
melebihi 1/3 hartanya maka kelebihannya tadi tergantung pada sikap ahli waris
setelah ia meninggal, bila ahli waris rela maka sedekah, hibah dan wasiatnya
sah.
f.
Budak yang tidak mendapat izin berdagang dari tuannya
Ia
tidak boleh menggunakan harta tuannya tanpa izin, karna itu transaksi jual beli
yang dilakukan tidak sah, apabila barang yang telah ia beli menjadi rusak, maka
barang itu menjadi tanggungannya dalam arti ia dapat dituntut untuk melunasinya
setelah merdeka.
g.
Orang yang menggadaikan
Ia
tidak boleh menjual barang yang telah dijadikan jaminan tanpa seizin orang yang
menerima gadai.hajr dalam hal ini tidak butuh putusan dari Qodli .
h.
Orang murtad
Ia
tidak boleh melakukan transaksi saat murtad. Hal ini disyariatkan untuk menjaga
haknya kaum muslimin,mengingat bila ia mati hartanya menjadi harta fai’ ,
larangan tersebut menjadi tidak berlaku bila ia telah kembali masuk Islam.
i.
Wanita Bersuami
Seorang
wanita yang mempunyai suami, berada dibawah pengawasan suaminya, baik dirinya
sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita tidak berkuasa
atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya
sendiri.
6.
HIKMAH AL-HAJRU
Apabila
seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya
dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan
itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan
orang-orang seperti itu, terutama soal mu’amalah, syara’ menginginkan agar tidak
ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila
ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, di statuskan mahjur alaih, maka
hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan,
agar segala kegiatan mu’amalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu oleh orang
lain. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang yang sakit berat,
tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik,
agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi
orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain
akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucunya harus di
perhatikan sebagaimana
firman
Allah dalam Surat An-Nisa’ :
Artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
TUGAS
SISWA
PERTEMUAN
II
Jawablah
pertanyaan berikut ini!
1.
Beberapa produsen atau penjual memberikan garansi kepada
konsumennya, sedangkan yang lain tidak memberikan. Apakah garansi tersebut
termasuk khiyar?
2.
Apa pengertian khiyar?
3.
Sebutkan macam-macam khiyar?
4.
Apa
perbedaan dari jual beli salaam dengan menjual barang yang belum dimiliki?
5.
Sebutkan pembagian mahjur ‘alaih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar