Sabtu, 16 November 2019

Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21

Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21

A. Pembelajaran Abad 21
Dalam pandangan paradigma positivistik masyarakat berkembang secara
linier seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri yang ditopang
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara berturut-turut
masyarakat berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat
industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi masyarakat informasi.
Situasi abad 21 sering kali diidentikan dengan masyarakat informasi tersebut, yang
ditandai oleh munculnya fenomena masyarakat digital. Meneruskan perkembangan
masyarakat industri generasi pertama, sekarang ini, abad 21 dan masa mendatang,
muncul apa yang disebut sebagai revolusi industri 4.0.
Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011
yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat,
yang jugadisebut industri 4.0, kini telah tiba. Industry 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang
sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada
sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan
(artificial intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial,
ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot. Bob Gordon dari Universitas
Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat, sebelumnya telah
terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api
(1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia, dan minyak (1870-
1900). Ketiga, penemuan komputer, internet, dan telepon genggam (1960-sampai
sekarang). Versi lain menyatakan, revolusi ketiga dimulai pada 1969 melalui
kemunculan teknologi informasi dan komunikasi, serta mesin otomasi (dikutip dari
A. Tony Prasentiantono, Kompas 10 April 2018, hal. 1).
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global, juga berkembang
sebagaimana alur linieristik tersebut, setidaknya dari sudut pandang pemerintah
sejak era Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia
tidak sama dengan perkembangan pada masyarakat Barat yang pernah mengalami
era pencerahan dan masyarakat industri. Perkembangan masyarakat Indonesia
faktanya tidak secara linier, tetapi lebih berlangsung secara pararel. Artinya, ada
masyarakat yang hingga fase perkembangannya sekarang masih menunjukkan
masyarakat primitif, ada yang masih agraris, ada yang sudah menunjukkan karakter
sebagai masyarakat industrial, dan bahkan ada yang memang sudah masuk dalam
era digital. Semuanya kategori karakter masyarakat tersebut faktanya berkembang
tidak secara linier, tetapi berlangsung secara pararel.
Oleh karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak yang ditandai oleh
makin luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga masyarakat yang masih
belum terjangkau internet, dan bahkan masih berupa wilayah blank spot. Kondisi
seperti itu juga berimplikasi terhadap perkembangan pelayanan pendidikan,
sehingga juga berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru dan siswanya, meskipun
sudah berada dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di daerah perkotaan memang
sudah terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah pedesaan masih ada juga yang
belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan ada pula wilayah
yang sama sekali belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Akan tetapi pada abad 21
sekarang ini masyarakat Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan
dengan era digital. Karena itu apa pun harus menyesuaikan dengan kehadiran era
baru berbasis digital, sehingga bagaimana menjadi bagian dari era digital sekarang
ini dengan memanfaatkan teknologi digital dan berjejaring ini secara produktif.
Menurut Manuel Castell kemunculan masyarakat informasional itu ditandai
dengan lima karateristik dasar: Pertama, ada teknologi-teknologi yang bertindak
berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan
manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua
sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh ‘logika jaringan’
yang memungkinkan mereka memengaruhi suatu varietas luas proses-proses dan
organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi baru sangat fleksibel,
memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah secara terus-menerus. Akhirnya,
teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi sedang bergabung
menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam Ritzer, 2012: 969).
Menurut Castell sebenarnya sudah sejak dekade 1980-an muncul apa yang ia
sebut sebagai ekonomi informasional global baru yang semakin menguntungkan. “Ia
informasional karena produktivitas dan daya saing unit-unit atau agen-agen di dalam
ekonomi ini (entah itu firma-firma, region-region, atau wilayah-wilayah) yang
tergantung secara fundamental pada kapsitas mereka untuk menghasilkan,
memproses, dan menerapkan secara efisien informasi berbasis pengetahuan (Castell,
1996: 66). Ia global karena ia mempunyai “kapasitas untuk bekerja sebagai suatu
unit di dalam waktu nyata pada suatu skala planeter” (Castell, 1996: 92). Hal itu
dimungkinkan untuk pertama kalinya oleh kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang baru.
Meneruskan konsep ruang mengalir itu, kemudian Scott Lash menganalisis
kemunculan masyarakat informasional itu secara lebih mendalam, detail, dan
canggih. Sama seperti Castells, Lash setuju dengan kemunculan dunia baru, yaitu
masyarakat informasional yang meskipun merupakan kelanjutan dari kapitalisme
lama, tetapi memiliki berbagai karakter yang berbeda. Dengan pendekatan kritis,
Lash menganalisis kapitalisme informasional dengan berusaha memperluasnya
terkait dengan filsafat, teori sosiologi, teori kebudayaan, baik klasik maupun kontemporer.
Dalam bukunya Critique of Information (2002), Lash memului dengan
sejumlah pertanyaan mendasar, bagaimana ilmu sosial kritis, teori kritik atau kritik
dapat dimungkinkan dalam masyarakat informasi? Apa yang terjadi dalam suatu era
ketika kekuasaan tidak lagi sebuah ideologi sebagaimana era abad sembilanbelas,
tetapi sekarang kekuasaan adalah sebuah informasional dalam arti luas? Ketika era
sebelumnya ideologi diperluas oleh ruang dan waktu, mengklaim universalitas, dan
berbentuk ‘metanaratif’, merupakan sistem kepercayaan, dan menyediakan waktu
untuk refleksi; tetapi sekarang era informasional, ketika informasi itu berada dalam
kemampatan ruang dan waktu, tidak mengklaim universal, dan sekadar titik, sinyal,
dan bahkan sekadar peristiwa dalam waktu. Berlangsung sangat cepat, sekilas, hidup
dalam era informasi hampir tidak ada waktu untuk refleksi. Jadi ketika ilmu sosial
kritik hidup dan berkembang dalam era ideologi kritik, apa yang terjadi ketika ilmu
sosial kritik hidup dalam era informasinal kritik? Dapatkah pemikiran kritis
beroperasi dalam era informasi?
Meskipun Lash adakalanya merujuk pada Castells, tetapi dalam
mendefinisikan informasi sedikit berbeda. Ia mengaku: “saya akan memahami
masyarakat informasi berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Bell (1973),
Touraine (1974), dan Castells (1996) yang fokus pada kualitas karakter utama
informasi itu sendiri. Tetapi Menurut Lash informasi harus dipahami secara tajam
dalam kontradiksinya dengan yang lain, kategori sosiokultural awal, yaitu sebagai
monumen naratif dan wacana (discourse) atau institusi. Karakter utama informasi
adalah aliran, tak melekat, kemampatan spasial, kemampatan temporal, hubungan
hubungan real-time. Informasi tidaklah secara eksklusif, tetapi sebagian besar,
dalam kaitan ini bahwa kita hidup dalam era informasi. Sebagian orang menyebut
kita hidup dalam jaman modern lanjut (Giddens, 1990), sementara yang lain
menyebutnya sebagai jaman postmodern (Harvey, 1989), tetapi konsep tersebut
menurut Lash juga tidak berbentuk. Informasi tidak.
Lash memahami masyarakat informasi berbeda dengan apa yang sering
dirumuskan oleh kalangan sosiolog. Masyarakat informasi sering dipahami dalam istilah
produksi pengetahuan-intensif dan postindustrial di mana barang dan layanan
diproduksi. Kunci untuk memahami ini adalah apa yang diproduksi dalam produksi
informasi bukanlah barang-barang dan layanan kekayaan informasi, tetapi lebih
kurang adalah potongan informasi di luar kontrol. Produksi informasi meliputi
terutama adalah pentinggnya kemampatan. Sebagaimana diktum McLuhan medium
adalah pesan dalam pengertian bahwa media adalah peradigma medium era
informasi. Hanya saja jika dahulu medium dominan adalah naratif, lirik puisi,
wacana, dan lukisan. Tetapi sekarang pesan itu adalah pesan atau ‘komunikasi.’
media sekarang lebih seperti potongan-potongan. Media telah dimampatkan.
Lash mengingatkan bahwa infomasi itu sendiri bersifat statis, komunikasiah
yang membuat informasi menjadi dinamik, kuat, dan sumber energi. Mirip dengan
Habermas, Lash yakin bahwa komunikasi itulah yang sekarang telah menjadi basis
kehidupan sosial kontemporer, karena itu ia menjadikan komunikasi sebagai unit
dasar analisisnya, dan bukan informasi. Lash kemudian melangkah lebih jauh
dengan mengembangkan konsep di seputar isu perkembangan ICT. Ketika ICT itu
sendiri sering diposisikan sebagai entitas tersendiri yang berbeda dengan karakter
karakter masyarakat sebelumnya dengan titik berat pada produksi industrial, maka
Lash menjelaskan bahwa dalam kategori era ICT itu sendiri telah berkembang
dengan karakter yang berbeda. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa telah terjadi
dua generasi dalam perkembangan ICT.
Generasi pertama perkembangan ICT secara fundamental adalah
informasional, dengan sektor kuncinya adalah semikonduktor, sofware (sistem
operasi dan aplikasi), dan komputer. Akan tetapi generasi kedua, ekonomi baru
adalah komunikasional, karena itu sentralitasnya adalah internet dan sektor jaringan.
Itulah sebabnya menurut Lash, Cisco Systems, yang membuat sarana jalan, sebagai
‘pipa’ komunikasi internet, yang menjadi kapitalisme pasar lebih tinggi daripada
‘informational’ Microsoft. Inilah yang dikenal sebagai pasangnya media baru (new
media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah sepenting kode, bukan
berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi pertama sangat erat
berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT generasi kedua bukan
perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan, tetapi berurusan dengan kotor,
urban ‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru seperti CD-ROMs,
permainan komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah multimedia konvergensi
teknologi informasi dengan media.
Sikap Lash terhadap topik diskusi tersebut tetap menegaskan bahwa unit
dasar analisisnya adalah kmunikasi. Komunikasi adalah pertanyaan soal kultur jarak
jauh. Dalam masyarakat industri dulu hubungan-hubungan sosial diletakan pada
suatu tempat dengan prinsip kedekatan, dan hubungan sosial pada saat yang sama
sekaligus adalah ikatan sosial. Akan tetapi sekarang, dalam era informasional,
hubungan sosial dipindahkan oleh komunikasi. Komunikasi adalah intens, dalam
durasi pendek. Komunikasi memecah naratif menjadi pesan pendek/ringkas. Jika
hubungan sosial lama menempatkan tempat dengan prinsip kedekatan, ikatan
komunikasional adalah meletakan tempat pada jarak jauh. Jadi, komunikasi adalah
tentang kebudayaan, bukan kedekatan, yaitu kebudayaan jarak jauh. Culture
at-adistance meliputi baik komunikasi yang datang dari jauh maupun orang datang dari
jauh agar bertemu secara tatap muka (Boden and Molotch, 1994). Intensitas,
keringkasan, dan ketidakhadiran kontinyuitas naratif adalah prinsip tata kelolanya
(Simmel, 1971; Sennett, 1998).
Suatu komunikasi dan aliran diletakan pada panggung pusat, daripada aturan
sosial dan lembaga/struktur. Sosiologi berargumen lebih progresif lagi, yaitu bahwa
sekarang ini secara umum telah muncul fenomena mediologi. Oleh karena itu
sekarang ini diberbagai universitas terkemuka di dunia telah mengenalkan dan
mengajarkan tentang sosiologi media. Khususnya sekarang ini telah muncul apa
yang dikenal sebagai logika mediologi. Mediologi akan mengharuskan bekerja
dengan logika media dan komunikasi. Jika sosiologi Durkheimian mengenalkan
konsep anomie, untuk menjelaskan perubahan dari feodalisme ke kapitalisme
pabrik, sekarang mediologi, berbicara anomie postindustri aliran-aliran. Sosiologi
setuju dengan re-teritorialisasi sosial, institusi modern, dan struktur masyarakat
industri. Mediologi berbicara re-teritorialisasi masyarakat jaringan yang datang dari
pengerasan aliran-aliran. Maka pada saat yang sama sekarang muncul fenomena
ekonomi tanda dan ruang.Begitulah, menurut Lash, dalam masyarakat kapitalisme lanjut,
komunikasi adalah kunci, pergeseran dari logika struktur ke logika arus yang dimungkinkan oleh
jangkauan hubungan yang dibawa oleh outsorcing pada umumnya. Dan outsorcing
ini adalah re-teritorialisasi, misalnya perusahaan-perusahaan menjadi lebih bisa
dikerjakan di rumah tangga. Bahkan kemudian ada perusahaan membolehkan kerja
lembur per minggu di rumah, jadi tidak tergantung pada tempat atau ruang pabrik.
Jadi sekarang ini di jaman tata informasi dan komunikasi global, semuanya serba
outsorcing baik kerja di perusahaan firma, keluarga, negara, dan bahkan juga pada
bidang seni. Karena itu bisa juga refleksivitas di outsourced, dan di eksternalisasi.
Sekarang ini juga ada pergeseran dari akumulasi ke sirkulasi. Namun demikian juga
muncul apa yang disebut sebagai hegemoni sirkulasi di mana sirkulasi modal uang
dipisahkan dari bagian akumulasi modal.
1. Masyarakat Informasional di Indonesia
Pada fase masyarakat industrial fokus utama adalah bagaimana masyarakat
dengan segenap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berusaha mengolah
bahan baku yang disediakan oleh alam menjadi komoditas yang berpotensi
meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi sekarang ini, ketika memasuki era
masyarakat informasional, bukan lagi perkara bagaimana berproduksi untuk
akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana penguasaan dan kemampuan mengolah
informasi sebagai sumber daya utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang sepakat bahwa masyarakat Indonesia mengalami
transisi dari masyarakat offline menuju masyarakat online. Ini mengindikasikan
bahwa masyarakat informasional dan komunikasional juga telah hadir yang siapa
pun tidak bisa menolaknya. Dengan kata lain, kehadiran masyarakat informasional
ini sudah merupakan imperatif, atau sebuah keniscayaan. Hampir seluruh aspek
kehidupan dalam bermasyarakat mulai dari aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan
sosial-budaya terambah oleh moda-moda informasional dan komunikasional.
Sekarang ini informasi tidak lagi mewujud dalam bentuk pengetahuan yang
terdokumentasi secara padat seperti barang-barang cetakan, tetapi telah berubah
menjadi serba digital. Proses digitalisasi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan
manusia yang tentu saja berimplikasi terhadap perubahan nilai, cara pandang, dan
pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi
internet di Indonesia mencapai 132,5 juta orang pada 2016, tumbuh pesat dari 2015
yang baru 88,1 juta orang. Hal itu tidak lepas dari kerja keras para operator
telekomunikasi yang memperluas jangkauan layanan mereka. Bersamaan dengan
itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang mendukung (Kompas, 20 Maret
2017, hal. 12). Akan tetapi seiring dengan gegap-gempita tumbuhnya masyarakat
jaringan ini, juga menyodorkan persoalan sosio-kultural seperti kesenjangan digital.
Dalam insitusi keluarga pun juga menyodorkan persoalan kesenjangan antara
generasi para orangtua yang masih disebut sebagai digital immigrant dan generasi
anak-cucunya yang disebut sebagai generasi digital native.
Di Indonesia, target menjadi masyarakat informasi diarahkan pada ukuran
terhubungnya seluruh desa dalam jaringan teknologi komunikasi dan informasi pada
tahun 2015. Determinasi teknologi ini harus diwujudkan dalam determinasi sosial,
dimana masyarakat harus berdaya terhadap informasi. Konsep masyarakat informasi
tidak lagi mengarah seperti era media yang telah muncul pada era industrial atau
sering disebut the first media age dimana informasi diproduksi terpusat (satu untuk
banyak khalayak), arah komunikasi satu arah; Negara mengontrol terhadap semua
informasi yang beredar; reproduksi stratifikasi sosial dan ketidakadilan melalui
media; dan khalayak informasi yang terfragmentasi. Akan tetapi masyarakat
informasi yang berada pada the second media age yang memiliki karakter informasi
desentralistik; komunikasi dua arah; kontrol Negara yang distributif; demokratisasi
informasi; kesadaran individual yang mengutama; dan adanya orientasi individual.
Luapan konten informasi dan teknologi yang memungkinkan untuk user
generated sebagaimana karakter media baru seperti munculnya blogs, website,
citizen journalism, atau pun digitalisasi yang memungkinkan semakin banyaknya
jumlah siaran televisi, radio, webcast, dan juga semakin mudahnya menerima
terpaan informasi dimana saja, menjadikan masyarakat memiliki kesempatan yang
sangat besar menjadi konsumen informasi. Era informasi seharusnya menjadikan
masyarakat menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen informasi.
Ciri utama masyarakat informasi adalah bahwa semua aktivitas
masyarakatnya berbasis pada pengetahuan. Oleh karena itu, dalam dunia di mana
informasi dan pengetahuan terus beredar, pemerintah bercita-cita untuk membangun
negara sebagai masyarakat yang berpengetahuan. Akan tetapi justru di sinilah
kemudian menimbulkan masalah, sebab perkembangan masyarakat di Indonesia
tidak linier dan homogen. Ada sebagaian masyarakat yang sudah berada dalam tahap
siap memasuki masyarakat informasi karena telah mempunyai basis pengetahuan
kuat dan menggunakannya sebagai dasar utama bagi aktivitasnya. Sementara banyak
juga warga masyarakat yang berakar kuat pada kultur agraris, tradisional, penuh
mistik, dan pandangan dunianya kurang mampu cepat beradaptasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya ketika pemerintah
membangun infrastruktur ICT secara signifikan, sebagian besar warga masyarakat
kurang mampu memanfaatkan ICT untuk kepentingan yang produktif, karena
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan.
2. Implikasinya terhadap Pendidikan
Perubahan peradapan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge
society). menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu
mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT
Literacy Skills). Pendidikan memegang peranan sangat penting dan strategis dalam
membangun masyarakat berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek
teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4)
memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy ini
dalam masyarakt kita masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat
informasi. Rendahnya tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan
menjadi faktor signifikan terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di
Indonesia.
Mark Poster pada awal dekade sembilanpuluhan telah mempublikasikan
buku The Second Media Age, yang mengakabarkan datangnya periode baru yaitu
hadirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, terutama sejak hadirnya
internet, yang akan mengubah masyarakat. Jadi sudah sejak awal,
para akademisi telah memprediksi bahwa kehadiran Internet akan mempunyai
pengaruh signifikanterhadap perubahan social. World Wide Web (www) adalah dunia yang terbuka,
fleksibel, dan merupakan lingkungan informasi yang dinamik, yang membuat
keberadaan manusia mampu mengembangkan orientasi baru terhadap ilmu
pengetahuan, dan mendorong lebih banyak berinteraksi, community-base, dunia
demokrasi yang saling memberdayakan. Internet mengembangkan tempat untuk
bertemu secara virtual yang memperluas jaringan social ke seluruh dunia,
menciptakan kemungkinan baru untuk pengetahuan, dan memberi peluang untuk
berbagi perspektif secara lebih luas.
Merespons perkembangan baru, yaitu era masyararakat informasional dan
komunikasional yang ditandai oleh kehadiran media baru, pemerintah dalam
pembangunan sektor pendidikan mengeluarkan kebijakan. Beberapa kebijakan
Kementerian Pendidikan Indonesia yang berisi pemanfaatan ICT dalam
pembelajaran sudah cukup lama hingga sekarang, termasuk penerapan Kurikulum
2013 juga mendorong proses pembelajaran berbasis ICT, sehingga penetrasi media
baru (new media) dalam dunia pendidikan semakin intensif dan ekstensif. Terdapat
kesepakatan umum bahwa Information and Communication Technologies (ICT)
adalah baik untuk pengembangan dunia pendidikan. Bank Dunia mengarisbawahi
bahwa para pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa ICT merupakan
hal yang sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan dalam era
Melinium. Teknologi ini, khususnya internet yang mampu membangun kemampuan
jaringan informasi dapat meningkatkan akses melalui belajar jarak jauh, membuka
jaringan pengetahuan bagi murid, melatih guru-guru, menyebarluaskan materi
pendidikan dengan kualitas standar, dan mendorong penguatan upaya efisiensi dan
efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui
Pendidikan Jarak Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi
memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh
diselenggarakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan
layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan
standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu
inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional. Sistem pendidikan jarak jauh
yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi (cetak), generasi kedua
multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga pembelajaran jarak jauh
(telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel (multimedia
interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya generasi
keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www). Seperti tercantum secara
eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009,
terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga pilar
kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses; (2)
peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang
bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak. Dalam Renstra
Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar pertama, yaitu
perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai media
pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam
pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi
manajemen secara terintegrasi.1
Perubahan era yang kemudian mengubah karakter masyarakat secara
bertahap, menghadirkan realitas baru seperti masyarakat informasional dan
komunikasional juga berimplikasi terhadap perkembangan media, yang kemudian
dikenal sebagai media baru. Media baru yang berbasis internet dan web ini
beroperasi secara masif, ekstensif, dan intensif merasuk ke berbagai sektor
1 Dikutip dari Adie E. Yusuf, Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan: Kebijakan dan
Standarisasi Mutu, diunduh dari
https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/.kehidupan, tidak terkecuali sektor
pendidikan. Oleh karena itu dapat dipahami jika
pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian menstransformasikan diri
dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan berbasis TIK tersebut.
Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak positif
apabila teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
tetapi bisa menjadi masalah baru apabila lembaga pendidikan tidak siap. Untuk itu,
perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak positif dan negatif dari pemanfataan
Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) sebagai media komunikasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati et,al (2005)
menunjukan bahwa pada umumnya pendapat guru dan siswa tentang manfaat ICT
khususnya edukasi net antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa dalam mencari
sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas materi yang telah
disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada animasi menarik;
(3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5) Mengetahui dan
mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang berhubungan dengan
bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto, 2012).
Atas perubahan tersebut, maka dalam proses pembelajaran juga sangat
intensif terekspose (terpaan) oleh kehadiran media baru, dan ini menyodorkan
fenomena tentang mediatisasi pembelajaran. Masif, ekstensif, dan intensifnya media
baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar
yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai
mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan
akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi
lebih dari itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti sekolah. Misalnya,
hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu
sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau
harus menerima kehadiran media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber
belajar. Karakter media baru sebagai penyedia konten (isi) begitu besar dan bahkan tidak terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan yang disediakan pada lingkungan
sekolah. Aksesnya pun terbuka lebar karena tata kelola informasinya sangat canggih
dan sangat mudah dan cepat diakses oleh siswa dalam aktivitas belajar. Sekarang ini
pokok-pokok bahasan yang diajarkan guru pada ruang kelas, akan dengan mudah
dikonfirmasikan melalui google atau pun yahoo yang begitu banyak dan mudah
menyediakan informasi pengetahuan yang relevan dengan pembelajaran di sekolah.
Lebih dari itu, media baru juga menyediakan aplikasi pembelajaran secara virtual
yang mirip dengan pembelajaran di ruang kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan
yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya
pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis dan
pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada
google atau yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam
pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya
media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan
keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi
digital imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital
native.
B. Karakteristik Guru Abad 21
Perubahan karakter masyarakat secara fundamental sebagaimana terjadi
dalam abad 21 tentu berimplikasi terhadap karakteristik guru. Dalam pandangan
progresif, perubahan karakteristik masyarakat perlu diikuti oleh transformasi kultur
guru dalam proses pembelajaran. Jadi jika sekarang masyarakat telah berubah ke
masyarakat digital, maka guru juga segera perlu mentransformasikan diri, baik
secara teknik maupun sosio-kultural. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi,
karakteristik guru seperti apa yang mampu mentransformasikan diri pada era digital
pada abad 21 sekarang ini.
Terdapat ungkapan bahwa, buku bisa digantikan dengan teknologi, tetapi
peran guru tidak bisa digantikan, bahkan harus diperkuat. Pada era sekarang, abad
21, guru harus mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mendesain pembelajaran yang kreatif. Kemampuan para guru untuk mendidik pada era
pembelajaran digital perlu dipersiapkan dengan memperkuat pedagogi siber pada
diri guru. Guru yang lebih banyak berperan sebagai fasilitator harus mampu
memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk mendesain pembelajaran kreatif
yang memampukan siswa aktif dan berpikir kritis (Kompas, 9 April 2018, hal. 12).
Menurut Ketua Divisi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Smart
Learning Center, Richardus Eko Indrajit mengatakan, guru harus mulai dibiasakan
untuk merasakan pembelajaran digital yang terus berkembang. Sebab, penggunaan
teknologi dalam pembelajaran berguna untuk memfasilitasi pembelajaran yang
berkualitas. Buku bisa digantikan dengan teknologi. Konten pembelajaran sudah
tersedia di internet. Namun, tetap ada peran guru yang tidak bisa digantikan. Di
sinilah kita harus memperkuat guru sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk
dapat memanfaatkan sumber belajar yang beragam. Oleh karena itu karakteristik
guru dalam abad 21 antara lain: Pertama, guru disamping sebagai fasilitator, juga
harus menjadi motivator dan inspirator.
Lebih lanjut Eko Indrajit mengatakan, pada era sekarang, siswa sudah
banyak mengetahui pembelajaran lewat internet terlebih dahulu, baru sekolah.
Jangan sampai guru gagap menghadapi kondisi siswa yang lebih banyak tahu konten
pembelajaran yang didapat dari internet. Oleh karena itu kemampuan guru sebagai
fasilitator harus diperkuat. Guru dapat mengarahkan pembelajaran lebih banyak
pada diskusi, memecahkan masalah, hingga melakukan proyek yang merangsang
siswa berpikir kritis (Kompas, 9 April, 2018, hal. 12).
Kemampuan guru dalam posisi sebagai fasilitator, ini berarti harus
mengubah cara berpikir bahwa guru adalah pusat (teacher center) menjadi siswa
adalah pusat (student center) sebagaimana dituntut dalam kurikulum 13. Ini berarti
guru perlu memposisikan diri sebagai mitra belajar bagi siswa, sehingga guru bukan
serba tahu karena sumber belajar dalam era digital sudah banyak dan tersebar, serta
mudah diakses oleh siswa melalui jaringan internet yang terkoneksi pada gawai. Ini
memang tidak mudah, karena berkait dengan transformasi kultural baik yang masih
berkembang dalam guru maupun siswa itu sendiri, dan bahkan masyarakat.
Kedua, salah satu prasyarat paling penting agar guru mampu
mentrasformasikan diri dalam era pedagogi siber atau era digital, adalah tingginya
minat baca. Selama ini berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa minat baca di
kalangan guru di Indonesia masih rendah, dan bahkan kurang memiliki motivasi
membeli atau mengoleksi buku. Tingkat kepemilikan buku di kalangan guru di
Indonesia masih rendah. Bahkan sering terdengar pemeo bahwa penambahan
penghasilan melalui program sertifikasi guru, tidak untuk meningkatkan
profesionalisme guru, tetapi hanya untuk gaya hidup konsumtif. Sudah sering
terdengar bahwa, tambahan penghasilan gaji guru melalui program sertifikasi bukan
untuk membeli buku, tetapi untuk kredit mobil.
Karakteristik seperti itu, adalah tidak cocok bagi pengembangan
profesionalisme guru pada abad 21. Oleh karena itu, guru harus terus meningkatkan
minat baca dengan menambah koleksi buku. Setiap kali terdapat masalah
pembelajaran, maka guru perlu menambah pengetahuan melalui bacaan buku, baik
cetak maupun digital yang bisa diakses melalui internet. Tanpa minat baca tinggi,
maka guru pada era pedagogi siber sekarang ini akan ketinggalan dengan
pengetahuan siswanya, sehingga akan menurunkan kredibilitas atau kewibawaan
guru. Hilangnya kewibawaan guru akan berdampak serius bukan saja pada
menurunya kualitas pembelajaran, tetapi juga bagi kemajuan sebuah bangsa.
Ketiga, guru pada abad 21 harus memiliki kemampuan untuk menulis.
Mempunyai minat baca tinggi saja belum cukup bagi guru, tetapi harus memiliki
keterampilan untuk menulis. Guru juga dituntut untuk bisa menuangkan
gagasan gagasan inovatifnya dalam bentuk buku atau karya ilmiah. Tanpa kemampuan
menulis guru akan kesulitan dalam upaya meningkatkan kredibilitasnya di hadapan
murid. Guru yang memiliki kompetensi dalam menulis gagasan, atau menulis buku
dan karya almiah, maka akan semakin disegani oleh siswanya. Sebaliknya, jika guru
tidak pernah menulis, maka akan semakin dilecehkan oleh siswa.
Oleh karena itu, jika sudah memiliki kemampuan untuk menulis gagasan,
maka ketika terlibat dalam era digital bukan saja sebagai konsumen pengetahuan,
tetapi juga produsen pengetahuan. Dengan kata lain, guru dalam era informasi
sekarang ini, ketika terlibat dalam internet, bukan sekadar mengunduh, tetapi juga
mengunggah karya-karya tulisnya yang bisa memberikan sumbangan pemikiran
bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran.
Keempat, guru abad 21 harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
metode belajar atau mencari pemecahan masalah-masalah belajar, sehingga
meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis TIK. Penguasaan terhadap e-learning
bagi seorang guru abad 21 adalah sebuah keniscayaan atau keharusan, jika ingin
tetap dianggap berwibawa di hadapan murid. Guru yang kehilangan kewibawaan di
mata siswa adalah sebuah bencana, bukan saja bagi guru itu sendiri tetapi bagi
sebuah bangsa karena kunci kemajuan bangsa adalah guru. Oleh karena itu
kompetensi mengajar berbasis TIK adalah mutlak bagi guru pada abad 21. Jadi
seorang guru harus mampu menerapkan model pembelajaran misalnya yang
menggunakan pola hibrida (hybrid learning), karena proses pembelajaran dalam
abad 21 tidak hanya secara konvensional dengan tatap muka di kelas, tetapi juga
secara online melalui situs pembelajarannya. Jadi pembelajaran hibrida adalah
sebuah pola pembelajaran yang mengombinasikan pertemuan tatap muka dengan
pembelajaran berbasis online, teknologi hadir dalam proses belajar. Tujuan
utamanya untuk keperluan memperluas kesempatan belajar, meningkatkan kualitas
proses belajar, menumbuhkan kesempatan yang sama antarpeserta didik, dan
berbagai kemungkinan lainnya. Melalui pola pembelajaran hibrida yang
memanfaatkan perangkat komputer atau pun smartphone yang terkoneksi pada
jaringan internet memberikan peluang seluas-luasnya bagi guru dan siswa untuk
melakukan aktivitas belajar sambil melakukan aktivitas lain, termasuk rekreatif
secara bersama-sama. Atau inilah yang disebut pembelajaran multitasking.
Kehadiran e-learning guru abad 21 juga dituntut untuk kreatif dan inonvatif
dalam memanfaatkan media baru (new media) untuk pembelajaran berbasis web.
Oleh karena itu guru perlu mempunyai kompetensi untuk menerapkan mutltimedia.
Kalau toh tidak membuat aplikasi sendiri, tetapi setidaknya bisa memanfaatkan dan
menerapkan multimedia bagi pembelajaran. Demikian pula dengan gamifiication
atau pembelajaran berbasis pada permainan yang sekarang semakin diminati oleh
siswa, adalah peluang yang perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. Berbagai bidang studi yang selama ini dirasa sulit oleh siswa,
seperti matematika, fisika, dan kimia misalnya, terbukti dapat menjadi pembelajaran yang
menyenangkan melalui kreasi pembelajaran berbasis permainan. Dengan demikian,
guru abad 21 juga perlu memiliki kemampuan perancangan pembelajaran berbasis
permainan, sehingga proses belajar menjadi mudah dan menyenangkan, sekalipun
itu pada bidang studi yang selama ini dianggap rumit dan membosankan.
Kelima, karakteristik guru abad 21 di tengah pesatnya perkembangan era
teknologi digital, bagaimanapun harus mampu melakukan transformasi kultural.
Karena itu transformasi mengandaikan terjadi proses pergantian dan perubahan dari
sesuai yang dianggap lama menjadi sesuatu yang baru. Atau paling tidak mengalami
penyesuaian terhadap kehadiran yang baru. Jika dipandang dari perspektif kritis,
konsep transformasi seperti itu segera akan mengundang kecurigaan bahwa konsep
transformasi mau tidak mau akan berbau positivistik. Ketika asumsi linearistik yang
menjadi karakter utama positivistik, pastilah mengandaikan bahwa yang lama akan
dipandang sebagai sesuatu yang tertinggal, atau paling tidak sedikit muatan
kemajuannya (Wahyono, 2011).
Selanjutnya Wahyono menjelaskan bahwa ketika transformasi digunakan
untuk menjelaskan konsep transformasi budaya, maka mengandaikan terjadinya
proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis dalam aktivitas kebudayaan. Setidaknya
terdapat proses penyesuaian dari nilai, sikap, dan praksis budaya lama menuju
budaya baru. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan konstruksi
budaya berbasis pada nilai budaya Barat, maka mau tidak mau nilai budaya lama
masyarakat pengadopsinya harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu
nilai yang imperatif dituntut oleh ilmu pengetahuan dan teknologi adalah apresiasi
tinggi terhadap logika kausalitas, akurasi, presisi, detail, dan terukur. Di samping itu
tentu saja penghargaan terhadap prinsip kejujuran, disiplin, dan kerja keras yang
merupakan etos masyarakat Barat dan negara maju lainnya di kawasan Asia. Oleh
karena itu tesis yang ditawarkan adalah, jika masyarakat, taruhlah yang masih
mengikuti prinsip tradisionalisme, ingin menjadi masyarakat modern berbasis pada
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu melakukan transformasi kultural.
Transformasi di sini mengandaikan terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan
praksis lama menuju yang baru. Transformasi kultural, bila diterapkan dalam
kaitannya dengan perkembangan model pembelajaran hibrida, maka konsep
transformasi kultural tentu mengandaikan proses alih ubah dari nilai tradisional ke
nilai pembelajaran modern. Secara umum sudah berkembang persepsi bahwa model
pembelajaran yang lebih lazim digunakan adalah berat pada karakter berorientasi
pada guru (teacher center) daripada berorientasi pada peserta didik (student center).
Oleh karena pembelajaran online masuk kategori belajar berbasis media baru (new
media) maka mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan
partisipatif dalam proses komunikasinya, maka student-center lebih sesuai dengan
prinsip pembelajaran online. Dengan demikian diperlukan adanya transformasi
kultural dari model pembelajaran yang berprinsip searah, top-down, dan
memposisikan peserta didik sebagai pihak pasif, ke arah model pembelajaran
konstruktivistik yang berorientasi pada peserta didik. Pandangan bahwa guru adalah
sumber pengetahuan dan rujukan utama pengetahuan, perlu diubah ke arah
pandangan bahwa sumber pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada prinsipnya
dapat menjadi sumber rujukan, tidak terkecuali peserta didik. Atau setidaknya murid
adalah pihak yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan. Begitulah, guru
dalam pembelajaran abad 21 dituntut mengenali dan menguasai pembelajaran
berbasis TIK.
Jenjang kompetensi TIK yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pengajar atau
guru untuk menerapkan model e-learning meliputi lima tahapan. Upaya dini yang
harus dilakukan oleh pegelola sekolah adalah menyiapkan SDM guru yang melek
TIK (ICT literate). Ciri-ciri utama seorang guru yang melek TIK ialah guru yang
menggunakan TIK secara tepat, berdasarkan kebutuhan belajar, kompetensi,
karakteristik isi atau mata ajar, ketersediaan sarana. Selanjutnya ia mampu
mensinergikan kompetensi ini dalam penyajian di kelas konvensional, yaitu bersama
dengan peserta didik menggunakan TIK untuk proses belajar dan mengajar. Adapun
guru yang mahir meggunakan TIK dapat menjadi guru TIK, yaitu menularkan
perilaku positif dan mengintegrasikannya dalam materi ajar TIK serta
menumbuhkan kesadaran dalam berinternet sehat, misalnya ia dapat menjelaskan
bagaimana mengakses jejaring sosial sekaligus memanfaatkannya untuk diskusi
suatu mata ajar tertentu (Salma, 2016: 4). Oleh karena itu, setelah guru memiliki
karakteristik yang sesuai dengan tuntutan abad 21 yang serba digital, maka seorang
guru juga perlu mempunyai kompetensi di bidang perancangan atau desainer
pembelajaran.
Disainer pembelajaran menjadi sosok yang harus lebih banyak berperan
dalam menyelenggarakan e-learning. Disainer pembelajaran adalah ahli yang
terbuka dan dinamis, mampu memecahkan masalah di tingkat trouble shooting, di
depan monitor, atau hingga menjadi problem solver dalam tatanan menciptakan
proses belajar maya yang “hidup”, interaktif, dan manusiawi (Salma, 2016: 5).
C. Karakteristik Siswa Abad 21
Bagaimana karakteristik siswa abad 21 dalam suatu proses pembelajaran
berbasis web? Semua sepakat bahwa siswa jaman sekarang atau yang sedang
populer disebut sebagai siswa zaman now, adalah berbeda dengan karakteristik
siswa jaman dulu. Jika dahulu siswa praktis hanya memiliki peluang belajar pada
lembaga sekolah, tetapi sekarang sumber belajar ada di mana-mana dan bahkan
terbawa ke mana-mana. Melalui smartphone berbasis android misalnya, siswa jaman
sekarang bisa dengan mudah belajar sesuai dengan yang diinginkan. Sebuah mesin
pencari yang begitu populer, yaitu google, siswa sekarang bisa mendapatkan
berbagai informasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Sudah tidak diragukan
lagi, bahwa perilaku belajar siswa sekarang, sangat bergantung atau bahkan mengga
ntungkan diri pada mesin pencari google itu.
Jika ada pertanyaan keahlian apa yang diperlukan oleh siswa pada era abad
21? Menurut Bernie Trilling dan Charles Fadel (2009), dalam bukunya berjudul 21st
Century Skills: Learning for Life in Our Times, mengidentifikasi ada beberapa
kecakapan yang harus dimiliki oleh generasi abad 21 mencakup nilai dan perilaku
seperti rasa keingintahuan tinggi, kepercayaan diri, dan keberanian. Keterampilan
dan kecakapan abad 21 mencakup tiga kategori utama, yaitu:
1. Keterampilan belajar dan inovasi: berpikir kritis dan pemecahan masalah
dalam komunikasi dan kreativitas kolaboratif dan inovatif.
2. Keahlian literasi digital: literasi media baru dan literasi ICT.3.
Kecakapan hidup dan karir: memiliki kemamuan inisiatif yang fleksibel dan
inisiatif adaptif, dan kecakapan diri secara sosial dalam interaksi
antarbudaya, kecakapan kepemimpinan produktif dan akuntabel, serta
bertanggungjawab.
Dalam abad 21 menuntut karakteristik siswa yang memiliki keterampilan
belajar dan inovasi, yaitu yang berkait dengan kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan ini menuntut kebebasan berpikir dalam suatu proses pembelajaran.
Faktanya, dalam prosses belajar mengajar di lembaga sekolah sekarang ini masih
banyak siswa kesulitan bertanya, dan bahkan takut bertanya. Terdapat beberapa
penyebab mengapa siswa kurang memiliki kemampuan bertanya, karena selama ini
lebih banyak pendekatan pembelajaran berpusat pada guru (teacher center).
Memang tidak mudah menghilangkan kendala kultural ini, karena masih
berkembangnya persepsi bahwa guru adalah pusat sumber belajar utama, dan guru
harus serba tahu.
Akan tetapi dalam abad 21, pendekatan seperti itu sudah tidak cocok lagi jika
memang ingin membentuk karakteristik siswa yang memiliki kemampuan berpikir
kritis. Pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa (student center) sebagaimana
yang dianjurkan selama ini adalah suatu keharusan. Murid harus dipandang sebagai
subyek aktif yang memiliki daya seleksi dan daya interpretasi, serta daya kreasi
tinggi terhadap topic apa yang diangkat dalam suatu proses pembelajaran.
Pendekatan ini bukan berprinsip benar atau salah, tetapi prinsipnya bagaimana
mengembangkan kemampuan bernalar dan berargumentasi siswa. Oleh karena itu
penerapan model pembelajaran konstruktivistik seperti pembelajaran kooperatif,
metode diskusi, curah pendapat, dan debat perlu diintensifkan, sehingga melatih
siswa memiliki kemampuan bertanya dan tidak takut bertanya dalam upaya
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Dalam era berkemajuan seperti sekarang ini, maka siswa harus memiliki
karakter kreatif dan inovatif. Ketika sekarang dunia menyodorkan peluang untuk
mengembangkan industry kreatif berbasis digital, maka siswa perlu
mengembangkan diri kemampuan kreatif dan inovatif. Era industry kreatif menuntut
berbagai produk yang utamanya dihasilkan oleh pikiran atau ide-ide kreatif,
bukan keterampilan fisik. Fakta juga sudah menunjukkan bahw generasi muda sekarang
yang bergerak pada industry kreatif semakin banyak, dan industri daring ini sekarang
telah menjadi tumpuan harapan Indonesia di masa depan.
Abad 21 menuntut siswa memiliki keahlian literasi digital atau literasi media
baru dan literasi ICT. Secara keseluruhan, jika dibandingkan dengan guru, literasi
digital boleh dibilang lebih tinggi di kalangan siswa. Argumen ini berangkaat dari
logika berpikir sekuensial, bahwa generasi belakangan pasti lebih cepat dalam
menerima kehadiran teknologi baru. Sekarang dikenal apa yang disebut sebagai
generasi digital imigran dan digital natif. Generasi digital imigran adalah generasi
tua, termasuk sebagian besar guru di Indonesia. Sementara itu generasi digital natif
adalah mereka yang sejak usia dini sudah terbiasa dengan media digital dalam
aktivitas sehari-hari, mulai dari aktivitas bermain, belajar, dan kegiatan apa pun yang
relevan. Siswa generasi digital natif ini dapat dikatakan sudah relatif memiliki
tingkat literasi digital cukup tinggi.
Literasi ICT jika mengacu pada pengertian PBB cukup luas cakupannya. ICT
berarti meliputi juga media lama seperti radio dan televisi, jadi bukan saja media
baru seperti gawai atau telepon genggam yang berbasis android terkoneksi jaringan
internet. Oleh karena itu siswa pada abad 21 adalah mereka yang memiliki
kemampuan mengenali, menggunakan secara teknis, dan memanfaatkan pada
aktivitas pembelajaran. Penggunaan televisi sebagai media pembelajaran
instruksional misalnya, juga merupakan kemampuan literasi ICT, karena itu siswa
bisa juga terlibat dalam pembelajaran audiovisual. Lebih dari itu, sekarang yang
sedang tren adalah bahwa siswa terlibat secara intensif dalam proses pembelajaran
web, termasuk juga penggunaan multimedia interaktif.
Karakteristik siswa abad 21 berkaitan dengan kecakapan hidup yang bukan
saja sekadar pasif menerima begitu saja keadaan. Akan tetapi perlu senantiasa
mengambil insiatif dalam berbagai aktivitas pembelajaran, sehingga terus adaptif
dengan terhadap perkembang teknologi baru yang semakin canggih. Temuan
teknologi infomarsi dalam bidang pendidikan terus terjadi secara susul-menyusul
dalam rentang waktu yang semakin cepat jarak intervalnya. Karena itu, berbagai
aplikasi pembelajaran dalam elearning misalnya, terus menawarkan temuan baru
dalam jarak yang relatif pendek, sehingga siswa diterpa oleh kehadiran inovasi
pendidikan melalui temuan aplikasi baru. Dalam pada itu jika siswa tidak memiliki
kemampuan adaptif terhadap inovasi teknologi digital ini, maka akan semakin
tertinggal dan akibatnya kurang memiliki akses untuk masuk dalam dunia
masyarakat siber.
Siswa abad 21 juga dituntut memiliki karakter kecakapan sosial dalam
interaksi antarbudaya dan antarbangsa, karena dunia semakin mengglobal dan
menjadi satu kesatuan. Jika ingin mengembangkan berbagai pengetahuan dan
keterampilan, serta keahlian yang sesuai dengan minatnya, siswa bisa berbagi
(sharing) dengan berbagai siswa di seluruh dunia. Dunia siber telah memberikan
fasilitas memadai untuk bisa berkomunikasi kepada siapa pun melalui internet atau
pun media sosial ke seluruh dunia. Karena itu belajar dalam ruang virtual
memungkinkan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan keahlian sesuai dengan minat
dan bakatnya.
Dalam pada itu, siswa pada era digital juga dituntut untuk memiliki
kemampuan bekerjasama secara tim, bukan saja antarsiswa di lingkungan kelasnya,
tetapi bisa menembus batas ruang dan waktu, ke dunia siber antarsiswa di seluruh
dunia. Kerjasama dalam ini konteks ini menuntut kemampuan kreatif dan daya
inovatif agar apa yang dimiliki siswa memang memiliki daya tawar tinggi sehingga
menarik perhatian. Misalnya pengetahuan dalam bidang robotik, budidaya tanaman,
dunia permainan, dan temuan kreatif lain yang berguna bagi pemecahan masalah,
adalah hal-hal yang menarik perhatian generasi digital natif dewasa ini.
Akhirnya, siswa pada abad 21 juga perlu memiliki kecakapan dalam bidang
kepemimpinan produktif dan akuntabel. Artinya apa yang ditawarkan dalam bidang
keahlian masing-masing harus benar-benar bisa dievaluasi secara fair, sehingga
teruji. Ini enting untuk mencari kepercayaan dalam komunikasi antarbangsa
antarkultur di dalam dunia virtual. Oleh karena itu kepemimpinan produktif memang
harus disertai sikap tanggung jawab terhadap apa yang telah diputuskan secara
bersama tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.
Begitulah, berbagai karakteristik yang dituntut dalam era digital, yang
semuanya memang harus dilandasi oleh sikap keingintahuan tinggi dan kehendak
untuk maju dan progresif. Di atas itu semua, dalam era digital dalam masyarakat
jejaring sekarang ini adalah kemampuan belajar mandiri. Jadi siswa zaman now mau
tidak mau harus memiliki kemampuan belajar mandiri, karena media baru telah
menyediakan berbagai informasi yang begitu melimpah. Jika sudah memiliki
kemampuan belajar mandiri, maka pemanfaatan fasilitas belajar berbasis web yang
bersifat serba digital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH