Rabu, 08 Januari 2020

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

BAB V

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

 

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP SPIRITUAL)

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)

2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN)

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, procedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengeta-huan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

KOMPETENSI INTI 4 (KETERAMPILAN)

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

KOMPETENSI INTI

1.5 Menghayati hikmah dari ketentuan Islam tentang pernikahan

2.1 Mengamalkan sikap taat dan bertanggungjawab sebagai implementasi dari pemahaman ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan

3.5 Menganalisis ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan

4.5 Menyajikan hasil analisis praktik pernikahan yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang terjadi di masyarakat

KOMPETENSI DASAR

1.5.1 Meyakini terdapat hikmah dari ketentuan Islam tentang pernikahan

1.5.2 Menyebarkan hikmah daripada ketentuan Islam tentang perikahan

2.1.1 Berahlak mulia sebagai implementasi dari pemahaman ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundang-undangan

2.1.2 Menjadi teladan sebagai implementasi dari pemahaman ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundang-undangan

3.5.1 Mengorganisir ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan

3.5.1 Membandingkan ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan

4.5.1 Menyeleksi praktik pernikahan yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang terjadi di masyarakat

4.5.2 Mencerahkan praktik pernikahan yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang terjadi di masyarakat

            A.   PERNIKAHAN

1.    Pengertian Nikah

Kata Nikah (  ) نِكا    حatau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan ( ). ِ ز   وا   جNikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya sehingga mengakibatkan terdapatnya hak dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan lafaz||||inkah atau tazwij atau terjemahannya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan. Adapun pernikahan/perkawinan dalam UU Perkawinan no. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, bahwa Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan pernikahan menurut Pasal 3 KHI bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seiring dengan kemajuan zaman, maka pernikahan harus tertib administrasi, hal ini dilakukan untuk menjamin hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka dalam Pasal 5 menjelaskan:  (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undangundang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

2.    Hukum Pernikahan

Pernikahan merupakan perkara yang diperintahkan dalam al-Quran dan hadis, demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3: Artinya: " Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. ” (QS. An Nisa [4]: 3) Rasulullah bersabda : Artinya:“Dari Anas bin Malik ra. Bahwa sebagian para sahabat berkata: saya tidak akan menikah, sebagian berkata: saya tidak akan makan daging, sebagian lagi berkata: saya tidak akan tidur dan sebagian lagi berkata: saya berpuasa tetapi tidak berbuka. Maka sampailah berita tersebut kepada Nabi Saw, maka beliau memuji dan menyanjung Allah Swt. beliau bersabda : “mengapa para sahabat bertingkah dan berkata seperti ittu? Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku (HR. al-Bukhari Muslim) Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :

a.    Mubah

Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.

b.    Sunnah

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan). Rasulullah Saw, bersabda: Artinya: dari Abdullah berkata, Rasulullah berkata kepada kami “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah, Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

c.    Wajib

Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan.

d.    Makruh

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.

e.    Haram

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.

      B.   MEMINANG ATAU KHITBAH

Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat. Terkait dengan permasalahan khitbah Allah Swt. berfirman:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ

Artinya: "Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 235).

1.    Cara mengajukan pinangan

a.    Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara terang-terangan.

b.    Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan.

c.    Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.

2.    Perempuan yang boleh dipinang

Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :

a.    Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.

b.    Perempuan yang tidak dalam masa 'iddah.

c.    Perempuan yang belum dipinang orang lain.

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: bahwa Ibnu ‘Umar Ra berkata bahwa Rasulullah Saw melarang .“Janganlah salah seorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya, kecuali peminang sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan ijin kepadanya" (HR. Al-Bukhari dan al-Nasa'i) Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.

3.    Melihat Calon Istri atau Suami

Melihat perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, sehingga pada akhirnya akan terwujud keluarga yang bahagia. Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang, beberaapa pendapat para ulama diantaranya:

a.    Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.

b.    Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.

c.    Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan. Terdapat sebuah riwayat bahwa Mughirah bin Syu’ban telah meminang seorang perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, apakah engkau telah melihatnya? Mughirah berkata “Belum”. Rasulullah bersabda:

Artinya: dari Anas bin Malik, bahwa al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikahi perempuan kemudian “maka Nabi Saw, berkata: pergilah dan perhatiakanlah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kemesrasaan kamu berdua” (H.R. Ibnu Majah)

        C.   MEMAHAMI MAHRAM

Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1.    Sebab Haram Dinikah untuk Selamanya

Dapat dibagi menjadi empat yaitu:

a)    Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab. Mereka adalah:

1)    Ibu

2)    Nenek secara mutlak dan semua jalur ke atasnya

3)    Anak perempuan dan anak perempuannya beserta semua jalur ke bawah

4)    Anak perempuan dari anak laki-laki dan perempuannya beserta semua jalur ke bawah

5)    Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak perempuan dan anak perempuannya anak laki-laki dan saudara perempuan tersebut beserta jalur ke bawah.

6)    Bibi dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya

7)    Bibi dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya

8)    Anak perempuan saudara laki-laki secara mutlak

9)    Anak perempuan anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan beserta jalur ke bawahnya. Sebagaimana Firman Allah Swt.:


Artinya: " Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan… " (Q.S. An-Nisā' [4]: 23)

b)   Wanita-wanita yang haram dinikahi karena pertalian nikah,

mereka adalah:

1)    Isteri ayah dan Istri kakek beserta jalur ke atasnya, karena Allah Swt berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ

Artinya: " Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (QS. An-Nisā' [4]: 22)

2)    Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri Anak perempuan istri (anak perempuan tiri), jika seseorang telah menggauli ibunya, anak perempuan istri (cucu perempuan dari anak perempuan tiri), anak perempuan anak laki-laki istri (cucu perempuan dari anak laki-laki tiri), karena Allah Swt berfirman :

وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلً

Artinya: (diharamkan atas kalian menikahi) ibu-ibu istri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian yang ada dalam pemeliharan kalian dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kalian mengawininya” (QS.An-Nisā' [4]: 23).

c)    Wanita-wanita yang haram dinikahi karena susuan.

Mereka adalah

1)    Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab

2)    Anak-anak perempuan

3)    Saudara-saudara perempuan

4)    Para bibi dari jalur ayah

5)    Para bibi dari jalur ibu

6)    Anak perempuannya saudara laki-laki

7)    Anak perempuannya saudara perempuan.

d)   Wanita yang haram dinikahi lagi karena sebab li'an

Li'an adalah persaksian seorang suami sebagaimana berikut, "Aku bersaksi kepada Allah, atas kebenaran dakwaanku bahwa istriku telah berzina." Persaksian ini diulangi hingga 4 kali, kemudian setelahnya ia berkata, "Laknat Allah akan menimpaku seandainya aku berdusta dalam dakwaanku ini." Bisa disimpulkan bahwa suami yang mendakwa istrinya berzina, dikenai salah satu dari 2 konsekuensi. Pertama; didera 80 kali bila ia tidak bisa menghadirkan saksi. Kedua; li’an, yang dengan persaksian tersebut ia terbebas dari hukuman dera. Walaupun dengan li’an seorang suami terbebas dari hukuman dera, akan tetapi efek yang diakibatkan dari li’an tersebut, ia harus berpisah dengan istrinya selama-lamanya. Hal ini disandarkan pada hadis Rasulullah Saw.:

Artinya: dari Sahl bin Sa’d ……….“Suami Isteri yang telah melakukan li’an (saling melaknat), yang keduanya hendak cerai maka tidak boleh berkumpul kembali (dalam ikatan pernikahan) selamalamanya” (HR. Abu Dawud)

2.    Sebab Haram Dinikahi Sementara

Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita tidak boleh dinikahi sementara waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut adalah:

a)    Pertalian nikah Perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan, haram dinikahi laki-laki lain. Termasuk perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak maupun iddah wafat.

b)    Thalaq bain kubra (cerai tiga) Bagi seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan thalaq tiga, haram baginya menikah dengan mantan istrinya itu, selama ia belum dinikahi lakilaki lain, kemudian diceraikan. Dengan kata lain, ia bisa menikahi kembali istrinya tersebut dengan beberapa syarat berikut:

1)    Istrinya telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru).

2)    Istrnya telah melakukan hubungan seksual dengan suami barunya.

3)    Istrinya dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa.

4)    Telah habis masa iddah thalaq dari suami baru.

Allah berfirman:

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: “Selanjutnya jika suami mencerainya (untuk ketiga kalinya), perempuan tidak boleh dinikahi lagi olehnya sehingga ia menikah lagi dengan suami lain. Jika suami yang baru telah mencerainya, tidak apa-apa mereka (mantan suami istri) menikah lagi jika keduanya optimis melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh Allah Swt” (QS. al-Baqarah [2]: 230)

c)    Memadu dua orang perempuan bersaudara

Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang perempuan menikahi beberapa wanita berikut:

1)    Saudara perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun seibu

2)    Saudara perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu dengan ibu istrinya.

3)    Saudara perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik kandung seayah atupun seibu dengan bapak istrinya.

4)    Anak perempuan saudara permpuan istrinya (keponakan istrinya) baik kandung seayah maupun seibu

5)    Anak perempuan saudara laki-laki istrinya baik kandung seayah maupun seibu

6)    Semua perempuan yang bertalian susuan dengan istrinya.

Allah Swt berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: " dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang" (QS. An-Nisa [4] : 23)

Pengharaman menikah dengan beberapa wanita di atas juga berlaku bagi seorang laki-laki yang mentalaq raj’i istrinya. Artinya, selama istri yang tertalaq raj’i masih dalam masa ‘iddah, maka suaminya tidak boleh menikah dengan wanita-wanita di atas.

d)   Berpoligami lebih dari empat

Seorang laki-laki yang telah beristri empat, haram baginya menikahi wanita yang kelima. Karena syara’ telah menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal empat orang wanita.

e)    Perbedaan agama

Haram nikah karena perbedaan agama, ada dua macam :

1)    Perempuan musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki muslim

2)    Perempuan muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik atau penganut agama selain islam. Sebagaimana firman Allah Swt, dalam QS. Al-Baqarah [2]: 221

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu." (Qs. Al-Baqarah [2]: 221)

            D.   PRINSIP KAFÁAH DALAM PERNIKAHAN

1.    Pengertian kafaah

Kafáah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau kesetaraan antara calon suami dan calon istri dari segi (keturunan), status sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.

2.    Hukum Kafaah

Kafáah adalah hak perempuan dari walinya. Jika seseorang perempuan rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, tetapi walinya tidak rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh (batal). Demikian pula sebaliknya, apabila gadis shalihah dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan gugatan fasakh. Kafaah adalah hak bagi seseorang. Karena itu jika yang berhak rela tanpa adanya kafaah, pernikahan dapat diteruskan.

Beberapa pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:

a)    Sebagian ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab (keturunan), kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat pekerjaan/profesi dan kekayaan.

b)    Pendapat lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak sekufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia.

1)    Kufu ditinjau dari segi agama.

Firman Allah Swt :

Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu." (Qs. AlBaqarah [2]: 221) Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari segi agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan. Ketika seorang yang beriman menikah dengan orang yang tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap sekufu.

2)    Kufu’ dilihat dari segi iffah

Maksud dari ‘iffah adalah terpelihara dari segala sesuatu yang diharamkan dalam pergaulan. Maka, tidak dianggap sekufu ketika orang yang baik dan mulia menikah dengan seorang pelacur, walaupun mereka berdua seagama. Allah Swt berfirman : Artinya: "Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. (QS. An-Nur [24] : 3)

 E.   SYARAT DAN RUKUN NIKAH

1.    Pengertian

Rukun nikah adalah unsur pokok yang harus dipenuhi, hingga pernikahan menjadi sah.

2.    Syarat dan Rukun Nikah

Adapun syarat dan rukun nikah ada 5. Berikut penjelasan singkatnya:

a)    Calon suami, syaratnya :

1)    Beragama Islam

2)    Ia benar-benar seorang laki-laki

3)    Menikah bukan karena dasar paksaan

4)    Tidak beristri empat. Jika seorang laki-laki mencerai salah satu dari keempat istrinya, selama istri yang tercerai masih dalam masa ’iddah, maka ia masih dianggap istrinya. Dalam keadaan seperti ini, laki-laki tersebut tidak boleh menikah dengan wanita lain.

5)    Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi

6)    Calon istri bukanlah wanita yang haram dimadu dengan istrinya, seperti menikahi saudara perempuan kandung istrinya (ini berlaku bagi seorang laki-laki yang akan melakukan poligami) Tidak sedang berihram haji atau umrah

b)   Calon istri, syaratnya :

1)    Beragama Islam

2)    Benar-benar seorang perempuan

3)    Mendapat izin menikah dari walinya

4)     Bukan sebagai istri orang lain

5)    Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang sedang dalam masa ‘iddah)

6)    Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suaminya

7)    Bukan sebagai wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh zina) Atas kemauan sendiri Tidak sedang ihram haji atau umrah

c)    Wali, syaratnya :

1)    Laki-laki

2)    Beragama Islam

3)    Baligh (dewasa)

4)    Berakal

5)    Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba sahaya)

6)    Adil

7)    Tidak sedang ihram haji atu umrah

d)   Dua orang saksi, syaratnya :

1)    Dua orang laki-laki

2)    Beragama Islam

3)    Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil

4)    Melihat dan mendengar

5)    Memahami bahasa yang digunkan dalam akad

6)    Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah

7)    Hadir dalam ijab qabul

e)    Ijab qabul, syaratnya :

1)    Menggunakan kata yang bermakna menikah (  ) نكاحatau menikahkan ( ),التزويجbaik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah sang pengantin.

2)    Lafaz ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan). Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.

3)    Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun.

4)  Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.


Silahkan klik link dibawah ini untuk mengerjakan tugas!

https://forms.gle/6BxnsSJ2KJPSwek38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH