BAB V
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP SPIRITUAL)
1.
Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)
2.
Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong,
kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia
KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN)
3.
Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, procedural berdasarkan
rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengeta-huan prosedural pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KOMPETENSI INTI 4 (KETERAMPILAN)
4.
Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan
mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
KOMPETENSI INTI
1.5
Menghayati hikmah dari ketentuan Islam tentang pernikahan
2.1
Mengamalkan sikap taat dan bertanggungjawab sebagai implementasi dari pemahaman
ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan
3.5
Menganalisis ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan
4.5
Menyajikan hasil analisis praktik pernikahan yang sesuai dan tidak sesuai dengan
ketentuan hukum Islam yang terjadi di masyarakat
KOMPETENSI DASAR
1.5.1
Meyakini terdapat hikmah dari ketentuan Islam tentang pernikahan
1.5.2
Menyebarkan hikmah daripada ketentuan Islam tentang perikahan
2.1.1
Berahlak mulia sebagai implementasi dari pemahaman ketentuan perkawinan dalam
hukum Islam dan perundang-undangan
2.1.2
Menjadi teladan sebagai implementasi dari pemahaman ketentuan perkawinan dalam
hukum Islam dan perundang-undangan
3.5.1
Mengorganisir ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan
3.5.1
Membandingkan ketentuan perkawinan dalam hukum Islam dan perundangundangan
4.5.1
Menyeleksi praktik pernikahan yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum
Islam yang terjadi di masyarakat
4.5.2
Mencerahkan praktik pernikahan yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan
hukum Islam yang terjadi di masyarakat
A. PERNIKAHAN
1.
Pengertian
Nikah
Kata Nikah (
) نِكا حatau pernikahan sudah
menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan ( ). ِ
ز وا
جNikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya sehingga mengakibatkan
terdapatnya hak dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan
lafaz||||inkah atau tazwij atau terjemahannya. Dalam pengertian yang luas,
pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang dilaksanakan menurut syariat
Islam antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, untuk hidup bersama
dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan. Adapun
pernikahan/perkawinan dalam UU Perkawinan no. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, bahwa
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Tujuan pernikahan menurut Pasal 3 KHI bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Dalam pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Seiring dengan kemajuan zaman, maka pernikahan harus tertib
administrasi, hal ini dilakukan untuk menjamin hak dan kewajiban suami istri dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara maka dalam Pasal 5 menjelaskan: (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diaturdalam Undangundang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
2.
Hukum
Pernikahan
Pernikahan merupakan perkara yang
diperintahkan dalam al-Quran dan hadis, demi terwujudnya kebahagiaan dunia
akhirat. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3: Artinya: " Dan jika
kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,
maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. ” (QS. An Nisa
[4]: 3) Rasulullah bersabda : Artinya:“Dari Anas bin Malik ra. Bahwa sebagian
para sahabat berkata: saya tidak akan menikah, sebagian berkata: saya tidak
akan makan daging, sebagian lagi berkata: saya tidak akan tidur dan sebagian
lagi berkata: saya berpuasa tetapi tidak berbuka. Maka sampailah berita
tersebut kepada Nabi Saw, maka beliau memuji dan menyanjung Allah Swt. beliau
bersabda : “mengapa para sahabat bertingkah dan berkata seperti ittu? Akan
tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku makan, dan aku mengawini
perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari
golonganku (HR. al-Bukhari Muslim) Jumhur ulama menetapkan hukum menikah
menjadi lima yaitu :
a.
Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
b.
Sunnah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang
memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk
menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus
dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk
apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan). Rasulullah Saw, bersabda: Artinya:
dari Abdullah berkata, Rasulullah berkata kepada kami “Hai kaum pemuda, apabila
diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah, Sebab kawin itu lebih kuasa
untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia
berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
c.
Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah
mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan
khawatir dirinya akan terjerumus dalam pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya
untuk menikah tak diwujudkan.
d.
Makruh
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum
mempunyai bekal untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara
fisik untuk menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir
terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat
untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya, disarankan memperbanyak
puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk
menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.
e.
Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah
dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.
B. MEMINANG ATAU KHITBAH
Khitbah
artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan
untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat.
Terkait dengan permasalahan khitbah Allah Swt. berfirman:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ
Artinya:
"Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran
atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 235).
1.
Cara
mengajukan pinangan
a. Pinangan
kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara
terang-terangan.
b. Pinangan
kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati
suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan.
c. Pinangan
kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah
terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.
2.
Perempuan
yang boleh dipinang
Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada
tiga, yaitu :
a. Perempuan
yang bukan berstatus sebagai istri orang.
b. Perempuan
yang tidak dalam masa 'iddah.
c. Perempuan
yang belum dipinang orang lain.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: bahwa Ibnu ‘Umar Ra berkata bahwa
Rasulullah Saw melarang .“Janganlah salah seorang diantara kamu meminang atas
pinangan saudaranya, kecuali peminang sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau
memberikan ijin kepadanya" (HR. Al-Bukhari dan al-Nasa'i) Tiga kelompok
wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.
3.
Melihat
Calon Istri atau Suami
Melihat perempuan yang akan dinikahi
disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan
pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk mengetahui
penampilan dan kecantikannya, sehingga pada akhirnya akan terwujud keluarga
yang bahagia. Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang
perempuan yang akan dipinang, beberaapa pendapat para ulama diantaranya:
a. Jumhur
ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan
demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.
b. Abu
Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
c. Imam
Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan. Terdapat
sebuah riwayat bahwa Mughirah bin Syu’ban telah meminang seorang perempuan,
kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, apakah engkau telah melihatnya? Mughirah
berkata “Belum”. Rasulullah bersabda:
Artinya: dari Anas bin Malik, bahwa
al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikahi perempuan kemudian “maka Nabi Saw,
berkata: pergilah dan perhatiakanlah perempuan itu, karena hal itu akan lebih
membawa kepada kedamaian dan kemesrasaan kamu berdua” (H.R. Ibnu Majah)
C. MEMAHAMI MAHRAM
Mahram
adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapun
sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh
seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.
Sebab
Haram Dinikah untuk Selamanya
Dapat dibagi menjadi empat yaitu:
a) Wanita-wanita
yang haram dinikahi karena nasab. Mereka adalah:
1) Ibu
2) Nenek
secara mutlak dan semua jalur ke atasnya
3) Anak
perempuan dan anak perempuannya beserta semua jalur ke bawah
4) Anak
perempuan dari anak laki-laki dan perempuannya beserta semua jalur ke bawah
5) Saudara
perempuan secara mutlak, anak-anak perempuan dan anak perempuannya anak
laki-laki dan saudara perempuan tersebut beserta jalur ke bawah.
6) Bibi
dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya
7) Bibi
dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya
8) Anak
perempuan saudara laki-laki secara mutlak
9) Anak
perempuan anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan beserta jalur ke
bawahnya. Sebagaimana Firman Allah Swt.:
Artinya: " Diharamkan atas kamu
(menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan… " (Q.S. An-Nisā' [4]: 23)
b)
Wanita-wanita
yang haram dinikahi karena pertalian nikah,
mereka adalah:
1) Isteri
ayah dan Istri kakek beserta jalur ke atasnya, karena Allah Swt berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ
Artinya: " Dan janganlah kamu menikahi
perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada
masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh
Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (QS. An-Nisā' [4]: 22)
2) Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri Anak perempuan istri (anak perempuan tiri), jika seseorang telah menggauli ibunya, anak perempuan istri (cucu perempuan dari anak perempuan tiri), anak perempuan anak laki-laki istri (cucu perempuan dari anak laki-laki tiri), karena Allah Swt berfirman :
Artinya: (diharamkan atas kalian menikahi)
ibu-ibu istri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian yang ada
dalam pemeliharan kalian dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian
belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak
berdosa kalian mengawininya” (QS.An-Nisā' [4]: 23).
c)
Wanita-wanita
yang haram dinikahi karena susuan.
Mereka adalah
1) Ibu-ibu
yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab
2) Anak-anak
perempuan
3) Saudara-saudara
perempuan
4) Para
bibi dari jalur ayah
5) Para
bibi dari jalur ibu
6) Anak
perempuannya saudara laki-laki
7) Anak
perempuannya saudara perempuan.
d)
Wanita
yang haram dinikahi lagi karena sebab li'an
Li'an adalah persaksian seorang suami
sebagaimana berikut, "Aku bersaksi kepada Allah, atas kebenaran dakwaanku
bahwa istriku telah berzina." Persaksian ini diulangi hingga 4 kali,
kemudian setelahnya ia berkata, "Laknat Allah akan menimpaku seandainya
aku berdusta dalam dakwaanku ini." Bisa disimpulkan bahwa suami yang
mendakwa istrinya berzina, dikenai salah satu dari 2 konsekuensi. Pertama;
didera 80 kali bila ia tidak bisa menghadirkan saksi. Kedua; li’an, yang dengan
persaksian tersebut ia terbebas dari hukuman dera. Walaupun dengan li’an
seorang suami terbebas dari hukuman dera, akan tetapi efek yang diakibatkan
dari li’an tersebut, ia harus berpisah dengan istrinya selama-lamanya. Hal ini
disandarkan pada hadis Rasulullah Saw.:
Artinya: dari Sahl bin Sa’d ……….“Suami Isteri
yang telah melakukan li’an (saling melaknat), yang keduanya hendak cerai maka
tidak boleh berkumpul kembali (dalam ikatan pernikahan) selamalamanya” (HR. Abu
Dawud)
2.
Sebab
Haram Dinikahi Sementara
Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang
wanita tidak boleh dinikahi sementara waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka
wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut adalah:
a) Pertalian
nikah Perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan, haram dinikahi laki-laki
lain. Termasuk perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak maupun
iddah wafat.
b) Thalaq
bain kubra (cerai tiga) Bagi seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan
thalaq tiga, haram baginya menikah dengan mantan istrinya itu, selama ia belum
dinikahi lakilaki lain, kemudian diceraikan. Dengan kata lain, ia bisa menikahi
kembali istrinya tersebut dengan beberapa syarat berikut:
1) Istrinya
telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru).
2) Istrnya
telah melakukan hubungan seksual dengan suami barunya.
3) Istrinya
dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa.
4) Telah
habis masa iddah thalaq dari suami baru.
Allah berfirman:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Selanjutnya jika suami mencerainya
(untuk ketiga kalinya), perempuan tidak boleh dinikahi lagi olehnya sehingga ia
menikah lagi dengan suami lain. Jika suami yang baru telah mencerainya, tidak
apa-apa mereka (mantan suami istri) menikah lagi jika keduanya optimis
melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh Allah Swt” (QS.
al-Baqarah [2]: 230)
c)
Memadu
dua orang perempuan bersaudara
Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih
berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang perempuan menikahi beberapa
wanita berikut:
1) Saudara
perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun seibu
2) Saudara
perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu
dengan ibu istrinya.
3) Saudara
perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik kandung seayah atupun seibu
dengan bapak istrinya.
4) Anak
perempuan saudara permpuan istrinya (keponakan istrinya) baik kandung seayah
maupun seibu
5) Anak
perempuan saudara laki-laki istrinya baik kandung seayah maupun seibu
6) Semua
perempuan yang bertalian susuan dengan istrinya.
Allah Swt berfirman:
Artinya: " dan (diharamkan) mengumpulkan
(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang" (QS.
An-Nisa [4] : 23)
Pengharaman menikah dengan beberapa wanita di
atas juga berlaku bagi seorang laki-laki yang mentalaq raj’i istrinya. Artinya,
selama istri yang tertalaq raj’i masih dalam masa ‘iddah, maka suaminya tidak
boleh menikah dengan wanita-wanita di atas.
d)
Berpoligami
lebih dari empat
Seorang laki-laki yang telah beristri empat,
haram baginya menikahi wanita yang kelima. Karena syara’ telah menetapkan bahwa
seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal empat orang wanita.
e)
Perbedaan
agama
Haram nikah karena perbedaan agama, ada dua
macam :
1) Perempuan
musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki muslim
2) Perempuan
muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik
atau penganut agama selain islam. Sebagaimana firman Allah Swt, dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi
perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman
lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu." (Qs.
Al-Baqarah [2]: 221)
D. PRINSIP KAFÁAH DALAM PERNIKAHAN
1.
Pengertian
kafaah
Kafáah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan
dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau
kesetaraan antara calon suami dan calon istri dari segi (keturunan), status
sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.
2.
Hukum
Kafaah
Kafáah adalah hak perempuan dari walinya.
Jika seseorang perempuan rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak
sekufu, tetapi walinya tidak rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh
(batal). Demikian pula sebaliknya, apabila gadis shalihah dinikahkan oleh
walinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan
gugatan fasakh. Kafaah adalah hak bagi seseorang. Karena itu jika yang berhak
rela tanpa adanya kafaah, pernikahan dapat diteruskan.
Beberapa pendapat tentang hal-hal yang dapat
diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:
a) Sebagian
ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab (keturunan),
kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat pekerjaan/profesi dan kekayaan.
b) Pendapat
lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan menjalankan agama.
Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang
patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak sekufu dengan
perempuan yang akhlaknya mulia.
1) Kufu
ditinjau dari segi agama.
Firman Allah Swt :
Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi
perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih
baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu." (Qs.
AlBaqarah [2]: 221) Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari segi
agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan. Ketika seorang yang beriman
menikah dengan orang yang tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap
sekufu.
2) Kufu’
dilihat dari segi iffah
Maksud dari ‘iffah adalah terpelihara dari
segala sesuatu yang diharamkan dalam pergaulan. Maka, tidak dianggap sekufu
ketika orang yang baik dan mulia menikah dengan seorang pelacur, walaupun
mereka berdua seagama. Allah Swt berfirman : Artinya: "Pezina laki-laki
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan
musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi
orang-orang mukmin. (QS. An-Nur [24] : 3)
E. SYARAT DAN RUKUN NIKAH
1.
Pengertian
Rukun nikah adalah unsur pokok yang harus
dipenuhi, hingga pernikahan menjadi sah.
2.
Syarat
dan Rukun Nikah
Adapun syarat dan rukun nikah ada 5. Berikut
penjelasan singkatnya:
a)
Calon
suami, syaratnya :
1) Beragama
Islam
2) Ia
benar-benar seorang laki-laki
3) Menikah
bukan karena dasar paksaan
4) Tidak
beristri empat. Jika seorang laki-laki mencerai salah satu dari keempat
istrinya, selama istri yang tercerai masih dalam masa ’iddah, maka ia masih dianggap
istrinya. Dalam keadaan seperti ini, laki-laki tersebut tidak boleh menikah
dengan wanita lain.
5) Mengetahui
bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi
6) Calon
istri bukanlah wanita yang haram dimadu dengan istrinya, seperti menikahi saudara
perempuan kandung istrinya (ini berlaku bagi seorang laki-laki yang akan
melakukan poligami) Tidak sedang berihram haji atau umrah
b)
Calon
istri, syaratnya :
1) Beragama
Islam
2) Benar-benar
seorang perempuan
3) Mendapat
izin menikah dari walinya
4) Bukan sebagai istri orang lain
5) Bukan
sebagai mu’taddah (wanita yang sedang dalam masa ‘iddah)
6) Tidak
memiliki hubungan mahram dengan calon suaminya
7) Bukan
sebagai wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena
tertuduh zina) Atas kemauan sendiri Tidak sedang ihram haji atau umrah
c)
Wali,
syaratnya :
1) Laki-laki
2) Beragama
Islam
3) Baligh
(dewasa)
4) Berakal
5) Merdeka
(bukan berstatus sebagai hamba sahaya)
6) Adil
7) Tidak
sedang ihram haji atu umrah
d)
Dua
orang saksi, syaratnya :
1) Dua
orang laki-laki
2) Beragama
Islam
3) Dewasa/baligh,
berakal, merdeka dan adil
4) Melihat
dan mendengar
5) Memahami
bahasa yang digunkan dalam akad
6) Tidak
sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
7) Hadir
dalam ijab qabul
e)
Ijab
qabul, syaratnya :
1) Menggunakan
kata yang bermakna menikah ( ) نكاحatau
menikahkan ( ),التزويجbaik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah
sang pengantin.
2) Lafaz
ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin
perempuan). Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi
perkataan atau perbuatan lain.
3) Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun.
4) Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Silahkan klik link dibawah ini untuk mengerjakan tugas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar