Rabu, 29 Juli 2020

PEMULASARAAN JENAZAH

BAB II
PEMULASARAAN JENAZAH


KOMPETENSI INTI (KI)

Kompetensi Inti 1 (Sikap Spiritual)
a. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
Kompetensi Inti 2 (Sikap Sosial)
b. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
Kompetensi Inti 3 (Pengetahuan)
c. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
Kompetensi Inti 4 (Keterampilan)
d. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan 


KOMPETENSI DASAR (KD)
1.2 Menghayati pentingnya syariat Islam tentang kewajiban pemulasaraan jenazah
2.2 Mengamalkan sikap tanggung jawab, peduli dan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari
3.2 Menganalisis ketentuan pemulasaraan jenazah
4.2 Mengkomunikasikan hasil analisis tata cara pemulasaraan Jenazah

INDIKATOR PEMBELAJARAN
1.2.1 Meyakini pentingnya syariat Islam tentang kewajiban pemulasaraan jenazah
1.2.2 Menyebar luaskan pentingnya syariat Islam tentang kewajiban pemulasaraan jenazah
2.2.1 Menjadi teladan sikap tanggung jawab, peduli dan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari
2.2.2 Memelihara sikap tanggung jawab, peduli dan gotong royong dalam kehidupan sehari Hari
3.2.1 Mengkorelasikan ketentuan pemulasaraan jenazah
3.2.2 Mendeteksi ketentuan pemulasaraan jenazah
4.2.1 Menulis laporan hasil analisis tata cara pemulasaraan jenazah
4.2.2 Mempresentasikan hasil analisis tata cara pemulasaraan jenazah



A. KEWAJIBAN PEMULASARAN JENAZAH
1. Sakaratul Maut
Gejala mendekati saat kematian atau ketika manusia akan mengalami kematian (sakaratul maut) ditandai oleh berbagai gejala seperti dinginnya ujung-ujung anggota badan, rasa lemah, kantuk dan kehilangan kesadaran serta hampir tidak dapat membedakan sesuatu. Dan dikarenakan kurangnya pasokan oksigen dan darah yang mencapai otak, ia menjadi bingung dan berada dalam keadaan delirium (delirium: gangguan mental yg ditandai oleh ilusi, halusinasi, ketegangan otak, dan kegelisahan fisik), dan menelan air liur menjadi lebih sulit, serta aktivitas bernafas lambat. Penurunan tekanan darah menyebabkan hilangnya kesadaran, yang mana seseorang merasa lelah dan kepayahan. Al-Qur’an telah menggunakan ungkapan: “sakratul maut” (kata sakr dalam bahasa Arab berarti “mabuk karena minuman keras”) dalam firman Allah Swt. :
Artinya:” Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaf [50]: 19) 

a. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika menjumpai orang yang baru saja meninggal dunia di antaranya: Apabila mata masih terbuka, pejamkan matanya dengan mengurut pelupuk mata pelan-pelan.
b. Apabila mulut masih terbuka, katupkan dengan ditali (selendang) agar tidak kembali terbuka.
c. Tutuplah seluruh tubuh jenazah dengan kain sebagai penghormatan.

2. Konsep pemulasaraan Jenazah

Makna pemulasaraan diadopsi dari kata pulasara yang merupakan serapan dari Bahasa Jawa kuno yang maknanya mengurus atau merawat. Sedangkan istilah mayit dan jenazah terkadang terasa tumpang-tindih dalam penggunaannya. Namun lazimnya istilah mayit diperuntukkan bagi orang mati yang belum mendapat perawatan. Sedangkan istilah jenazah kerap ditujukan pada mayit yang sudah mendapat perawatan semestinya. Dalam syariat Islam terdapat beberapa perlakuan yang diberlakukan terhadap mayit, yang disebut dengan tajhiz mayit. Sedangkan dalam masyarakat, hal itu dikenal dengan pemulasaran jenazah Pemulasaran jenazah artinya merawat atau mengurus seseorang yang telah meninggal. Secara fardlu kifayah, hal-hal yang harus dilakukan kaum muslimin ketika dihadapkan pada kematian orang lain berkisar pada 4 hal yakni memandikan, mengkafani, menshalati dan memakamkan Hal-hal yang berkaitan dengan pembiayaan sarana dan prasarana perawatan, diambilkan dari harta tirkah (peninggalan) mayat. Dari keempat hal yang diwajibkan di atas, dalam prakteknya terdapat beberapa pemilahan tergantung status agama dan kondisi jenazah

a. Kategori Jenazah
Dalam teknis perawatan orang meninggal ada beberapa perbedaan pelaksanaannya. Hal ini dipilah-pilah sebagai berikut:

1) Jenazah Muslim
Kewajiban yang harus dilakukan pada mayat muslim adalah
a) Memandikan
b) Mengkafani
c) Menshalati
d) Memakamkan

2) Syahid Dunia Akhirat 
Yakni orang yang meninggal dunia dalam medan laga melawan orang musuh demi membela kejayaan agama Islam. Sehingga ketika memerangi sesama muslim, ini tidak dibenarkan apalagi sampai mengadakan pengeboman. Bahkan, orang yang melakukan pengeboman dengan dalil menegakkan agama islam, hal itu sangat keliru karena melanggar syariat dan undang-undang negara. Hal yang perlu dilakukan pada syahid dunia akhirat hanya ada 2 (dua) macam, yaitu:
a) Menyempurnakan kain kafan ketika pakaian yang dikenakannya kurang.
b) Memakamkannya.
orang yang mati syahid dunia akhirat hukumnya haram dimandikan dan juga haram dishalati. Haram dimandikan karena akan menghilangkan bekas kesyahidannya dan haram dishalati karena masih ada najis-najis yang menempel juga hadats.

3) Bayi prematur
Adalah bayi yang berusia belum genap 6 bulan dalam kandungan. Dalam kitab-kitab salaf dikenal ada 3 (tiga) macam kondisi bayi yang masing-masing memiliki hokum yang berbeda. Ketiga macam kondisi tersebut adalah: 
a) Lahir dalam keadaan hidup (hal ini bisa diketahui dengan jeritan, gerakan, atau yang lainnya). Yang perlu dilakukan adalah sebagaimana kewajiban terhadap mayat muslim dewasa.
b) Lahir dalam bentuk bayi sempurna, namun tidak diketahui tanda-tanda kehidupan. Yang harus dilakukan adalah segala kewajiban di atas selain men-shalati. Adapun hukum menshalatinya tidak diperbolehkan.
c) Belum berbentuk manusia. Bayi yang demikian, tidak ada kewajiban apapun, namun disunahkan membungkusnya dengan kain dan memakamkannya

4) Kafir Dzimmi
Yaitu golongan non-muslim yang hidup damai berdampingan dan bersikap damai dengan kaum muslimin dan bersedia membayar pajak. Kewajiban yang harus dilakukan ada 2 (dua) macam, yaitu:
a) Mengkafani
b) Memakamkan
B. Menganalisis tata cara pemulasaraan jenazah


1. Tata cara pemulasaraan jenazah
a. Memandikan jenazah

Sebelum mayit dibawa ke tempat memandikan, terlebih dahulu disediakan seperangkat alat mandi yang dibutuhkan, seperti daun bidara, sabun yang diaduk dengan air, air bersih, air yang dicampur dengan sedikit kapur barus, handuk, dan lain-lain. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan adalah:

1) Orang-orang yang memandikan:
a) Orang yang memandikan harus sejenis. Kecuali masih ada ikatan mahrom, suamiistri, atau jika mayat adalah seorang anak kecil yang belum menimbulkan potensi syahwat.
b) Orang yang lebih utama memandikan mayat laki-laki adalah ahli waris ashobah laki-laki (seperti ayah, kakek, anak-anak laki-laki, dan lain-lain) Dan bila mayatnya perempuan, maka yang lebih utama adalah perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat dan masih ada ikatan mahrom.
c) Orang yang memandikan dan orang yang mem-bantunya adalah orang yang memiliki sifat amanah.

2) Tempat Memandikan
a) Sepi, tertutup, dan tidak ada orang yang masuk kecuali orang yang bertugas.
b) Ditaburi wewangian, semisal membakar dupa, dll.
3) Etika memandikan
a) Haram melihat aurot mayat kecuali untuk kesem-purnaan memandikan.
b) Wajib memakai alas tangan ketika menyentuh aurotnya.
c) Mayat dibaringkan di tempat yang agak tinggi atau dipangku oleh 3 atau 4 orang.
d) Mayat dimandikan dalam keadaan tertutup semua anggota tubuhnya. Jika tidak mungkin, maka aurotnya saja yang ditutupi.
e) Sunah menutup wajah mayat dari awal sampai selesai.
f) Sunah memakai air dingin kecuali di saat cuaca dingin


4) Cara Memandikan
Dalam proses memandikan ada beberapa opsi, dan disesuaikan dengan keadaan yang ada

a) Batas mencukupi atau minimal adalah:
(1) Menghilangkan najis yang ada pada tubuh mayat
(2) Mengguyurkan air secara merata ke seluruh tubuh mayat termasuk juga farjinya tsayyib (janda) yang tampak ketika duduk atau bagian dalam alat kelamin laki-laki yang belum dikhitan (kucur)

b) Batas minimal kesempurnaan adalah:
(1) Mendudukkan mayat dengan posisi agak condong ke belakang
(2) Pundak mayat disanggah tangan kanan orang yang memandikan, dengan ibu jari diletak-kan pada tengkuk agar supaya kepala mayat tidak miring.
(3) Punggung mayat disanggah lutut kanan orang yang memandikan.
(4) Perut mayat diurut dengan tangan kiri secara pelan-pelan oleh orang yang memandikan secara berulang-ulang agar kotoran yang ada diperut mayat dapat keluar, dan mayat disiram dengan air.
(5) Lalu Mayat ditidurkan dengn posisi terlentang.
(6) Setelah itu dua lubang kemaluan dan aurot-aurot mayat lainnya dibersihkan dengan meng-gunakan tangan kiri yang wajib dibungkus dengan kain.
(7) Membersihkan gigi mayat dan kedua lubang hidungnya dengan jari telunjuk tangan kiri yang beralaskan kain basah. Dan jika terkena kotoran maka harus disucikan terlebih dahulu.
(8) Kemudian mayat diwudlukan persis seperti wudlunya orang yang hidup, baik rukun maupun sunahnya. Adapun niat mewudlukannya adalah:
“Nawaitu Wudhua Lihadzal / Lihadzihil Mayyiti Lillahi Ta’alaa”
(9) Mengguyurkan air ke kepala mayat, kemudian jenggot, dengan memakai air yang telah dicampur daun bidara/ sampo.
(10) Menyisir rambut dan jenggot mayat yang tebal dengan pelan-pelan memakai sisir yang longgar (bagi mayat yang sedang melaksana-kan ihram) agar tidak ada rambut yang rontok.
(11) Mengguyur bagian depan anggota tubuh mayat, dimulai dari leher sampai telapak kaki dengan memakai air yang telah dicampur daun bidara/ sabun.
(12) Mengguyur sebelah kanan bagian belakang anggota tubuh mayat dengan agak memiringkan posisinya, mulai tengkuk sampai ke bawah. Kemudian sebelah kiri, juga dimulai dari bagian tengkuk sampai ke bawah.
(13) Mengguyur seluruh tubuh mayat mulai kepala sampai kaki dengan air yang murni (tidak di-campur dengan daun bidara atau lainnya). Hal ini bertujuan untuk membilas sisa-sisa daun bidara, sabun atau sesuatu yang ada pada tubuh mayat dengan posisi mayat dimiringkan.
(14) Mengguyur seluruh tubuh mayat untuk kesekian kalinya dengan memakai air yang dicampur sedikit kapur barus pada mayat yang sedang tidak melaksanakan ihram. Pada saat basuhan terakhir ini disunahkan untuk membaca niat : 
“Nawaitu Ghusla Lihadzal Mayyiti Lillahi Ta’alaa”
Jika mayyit laki-laki. Dan jika mayyit perempuan maka membaca niat :

“Nawaitu Ghusla Lihadzihil Mayyiti Lillahi Ta’alaa”


c) Kesempurnaan Sedang
Yaitu memandikan mayat dengan batas minimal kesempurnaan seperi di atas. Kemudian ditam-bah dua basuhan air bersih atau diberi sedikit kapur barus, sehingga berjumlah 5 (lima) basuhan. Atau mengulang basuhan air yang bercampur daun bidara atau sabun, kemudian air bersih (air pembilas) masing-masing sebanyak 2 (dua) kali (empat kali basuhaan), kemudian ditambah 3 (tiga) basuhan air bersih atau yang diberi sedikit kapur barus sehingga berjumlah 7 (tujuh) basuhan.

d) Kesempurnaan Maksimal
Yaitu mengulang basuhan air yang bercampur daun bidara atau sabun, kemudian air bersih (air pembilas) masing-masing sebanyak 3 (tiga) kali (enam kali basuhan), kemudian ditambah 3 (tiga) basuhan air bersih atau yang diberi sedikit kapur barus sehingga berjumlah 9 (sembilan) basuhan

TUGAS SISWA
Berikan Tanggapan atau Komentarmu
1. Tiba-tiba ada informasi di masjid lewat pengeras suara kalau ada tetangga yang meninggal dunia?
2. Apa yang harus dilakukan pada saat menunggu orang yang sedang sakaratul maut?


Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
Langsung melalui Chat WA Saya


PERTEMUAN II 
BAB II


b. Mengkafani Mayat
Sebelum mayat selesai dimandikan, siapkan dulu 5 (lima) lembar kain kafan bersih dan berwarna putih, yang terdiri dari baju kurung, surban, dan 3 (tiga) lembar kain lebar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh (untuk mayat lai-laki). Atau 5 (lima) lembar kain kafan yang terdiri dari baju kurung, kerudung, dan sarung serta 2 (dua) kain yang lebar (untuk mayat perempuan). Dan bisa juga 3 (tiga) lembar kain yang berupa lembaran kain lebar yang sekiranya dapat digunakan untuk menutupi seluruh tubuh mayat. Sebelumnya, masing-masing kain kafan tersebut telah diberi wewangian. Selain itu juga siapkan kapas yang telah diberi wewangian secukupnya.
1) Pertama-tama, letakkan lembaran-lembaran kain lebar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh, kemudian baju kurung, lalu surban (untuk mayat lakilaki) atau sarung, lalu baju kurung, dan kerudung (untuk mayat perempuan).
2) Letakkan mayat yang telah selesai dimandikan dan ditaburi wewangian, dengan posisi terlentang di atasnya, dan posisi tangan disedekapkan. Letakkan kapas yang telah diberi wewangian pada anggota tubuh yang berlubang. Meliputi kedua mata, kedua lubang hidung,kedua telinga, mulut, 2 (dua) lubang kemaluan, tambahkan pula pada anggota-anggota sujud, yaitu kening, kedua telapak tangan, kedua lutut, kedua telapak kaki, serta anggota tubuh yang terluka.
3) Mengikat pantat dengan sehelai kain yang kedua ujungnya dibelah dua. Cara mengikatnya yaitu, letakkan ujung yang telah dibagi dua tersebut, dimulai arah depan kelamin lalu masukkan ke daerah diantara kedua paha sampai menutupi bawah pantat. Selanjutnya kedua ujung bagian belakang diikatkan di atas pusar dan dua ujung bagian depan diikatkan pada ikatan tersebut.
4) Lalu mayat dibungkus dengan lapisan pertama dimulai dari sisi kiri dilipat ke kanan, kemudian sisi kanan dilipat ke kiri. Sedangkan untuk lapis kedua dan ketiga sebagaimana lapis pertama. Bisa pula lipatan pertama, kedua, dan ketiga diselang-seling. Hal di atas tersebut dilakukan setelah pemakaian baju kurung dan surban (laki-laki) atau sarung, kerudung, dan baju kurung (perempuan).
5) Setelah mayat dibungkus, sebaiknya diikat dengan beberapa ikatan agar kafan tidak mudah terbuka saat dibawa ke pemakaman. Sedangkan untuk mayat perempuan, ditambah ikatan di bagian dada. Hal ini berlaku bagi mayat yang tidak sedang ihrom. Jika mayat berstatus muhrim, maka tidak boleh diikat bagian kepalanya, dan dibiarkan terbuka. Hukum ini berlaku bagi laki-laki, sedangkan untuk perempuan hanya bagian wajahnya saja yang dibiarkan terbuka.


c. Menshalati Mayit
1) Syarat-syarat shalat Jenazah:
a) Jenazah telah selesai dimandikan dan suci dari najis baik tubuh, kafan, ataupun tempatnya.
b) Orang yang menshalati telah memenuhi syarat-syarat sah melakukan shalat.
c) Posisi musholli berada di belakang jenazah jika jenazahnya laki-laki, dan bagi imam atau munfarid sebaiknya berdiri tepat pada kepala. Jika jenazah-nya perempuan, maka posisinya tepat pada pantat.
d) Jarak antara mayat dan musholli tidak melebihi 300 dziro’ (+ 144 m), jika shalat dilaksanakan di luar masjid.
e) Tidak ada penghalang diantara keduanya.
f) Musholli hadir (berada di dekat jenazah), jika yang dishalati tidak ghoib.

2) Rukun-rukun shalat jenazah:
a) Niat.
b) Berdiri bagi yang mampu
c) Takbir 4 (empat) kali dengan menghitung takbirotul ihrom.
d) Membaca surat al-Fatihah atau penggantinya jika tidak mampu.
e) Membaca sholawat pada Nabi Muhammad Saw. setelah takbir kedua.
f) Mendoakan mayat setelah takbir ketiga.
g) Membaca salam pertama.


3) Teknis pelaksanaan
a) Takbirotul ihrom beserta niat.
Untuk Laki-laki
أُصَلِّي عَلىٰ هٰذَا الـمَيِّتِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ للهِ تَعَالىٰ

Untuk Perempuan
أُصَلِّي عَلىٰ هٰذِهِ الـمَيِّتَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ للهِ تَعَالىٰ

b) Membaca surat al-Fatihah
c) Melakukan takbir kedua
d) Membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ 
Atau lebih lengkapnya
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما صَلَّيْتَ عَلَى إبْرَاهِيمَ وعلى آلِ إبْراهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما بَاركْتَ عَلَى إبْرَاهِيمَ وَعَلَى آل إبراهيم في العالَمِينَ إنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

e) Melakukan takbir ketiga kemudian membaca doa berikut:
Untuk Laki-laki
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوبِ والْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّار, وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، ونَوِّرْ لَهُ فِيهِ

Untuk Perempuan

للَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا وَعَافِهَا وَاعْفُ عَنْهَا، وَأَكْرِمْ نُزُلَهَا، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهَا، وَاغْسِلْهَا بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهَا مِنَ الذُّنُوبِ والْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهَا دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهَا، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا، وَأَدْخِلْهَا الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهَا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّار, وَافْسَحْ لَهَا فِي قَبْرِهَا، ونَوِّرْ لَهَا فِيهِ
f) Melakukan takbir keempat dan disunahkan membaca doa:
Untuk Laki-laki
اللَّهُمَّ لاَتَحرِمْنَا أَجْرَهُ ولاَتَفْتِنّاَ بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَناَ وَ لَهُ

Untuk Perempuan
اللَّهُمَّ لاَتَحرِمْنَا أَجْرَهاَ ولاَتَفْتِنّاَ بَعْدَهاَ وَاغْفِرْ لَناَ وَ لَهاَ
g) Membaca salam


d. Pemakaman Jenazah
1) Persiapan
Sebelum jenazah diberangkatkan ke tempat pemakaman, liang kubur harus sudah siap, begitu pula semua peralatan pemakaman seperti papan, batu nisan, dan lain-lain. Ukuran liang kubur adalah:

2) Proses Pemberangkatan
Setelah selesai dishalati, kemudian keranda jenazah diangkat, terus setelah itu salah satu dari wakil keluarga memberikan kata sambutan yang isinya sebagai berikut: 
Panjang Sepanjang jenazah ditambah kira-kira 0,5 meter 
Lebar + 1 meter 
Dalam Setinggi postur tubuh manusia ditambah satu hasta (+ 60 cm)
a) Permintaan maaf kepada para hadirin dan handaiْtolan
b) Pemberitahuan tentang pengalihan urusan hutang-piutang kepada ahli waris.
c) Persaksian atas baik dan buruknya amal perbuatan mayat.
d) Sekedar mauidhoh hasanah.

3) Cara mengantar jenazah
a) Pada dasarnya dalam mengusung jenazah diper-bolehkan dengan berbagai cara. Namun disunahkan meletakkan jenazah di keranda, dengan diusung oleh 3 (tiga) atau 4 (empat) orang, yakni 1 (satu) orang di depan dan 2 (dua) orang lainnya di belakang. Atau masing-masing 2 (dua) orang. Sedangkan pengusung sebaiknya dilakukan oleh orang laki-laki.
b) Dalam pengusungan jenazah, hendaknya posisi kepala jenazah berada di depan.
c) Pengiring jenazah sebaiknya ada di depan dan dekat dengan jenazah.
d) Mengiring dengan jalan kaki lebih baik daripada berkendaraan.
e) Bagi pengiring disunahkan berjalan agak cepat.

4) Proses pemakaman jenazah
a) Dalam penguburan mayat dikenal 2 (dua) jenis liang kubur:
(1) Liang cempuri. Yaitu liang kuburan yang tengahnya digali (seperti menggali sungai), hal ini diperuntukkan bagi tanah yang gembur.
(2) Liang landak (lahat). Yaitu liang kuburan yang sisi sebelah baratnya digali sekira cukup untuk mayat. Hal ini diperuntukkan untuk tanah yang keras.


b) Kemudian dilakukan proses pemakaman sebagai berikut:
(1) Setelah jenazah sampai di tempat pemakaman, keranda diletakkan di arah posisi kaki mayat (untuk Indonesia pada arah selatan kubur).
(2) Kemudian secara perlahan jenazah dikeluarkan dari keranda dimulai dari kepalanya, lalu diangkat dalam posisi agak miring dan kepala menghadap kiblat.
(3) Kemudian diserahkan pada orang yang ada di dalam kubur yang sudah siapsiap untuk mengu-burkannya. Hal ini bisa dilakukan oleh 3 (tiga) orang, yang pertama bertugas menerima bagian kepala, orang kedua bagian lambung, dan orang ketiga bagian kaki.
(4) Bagi orang yang menyerah-kan jenazah disunahkan membaca do’a:
(5) Dan bagi yang yang meletakkan disunahkan membaca do’a:
(6) Kemudian jenazah diletakkan pada tempat tersebut (dasar makam) dengan posisi meng-hadap (miring) ke arah kiblat serta kepala di arah utara. Tali-tali, terutama yang ada pada bagian atas supaya dilepas, agar wajah jenazah terbuka. Kemudian pipi jenazah ditempelkan pada tanah.
(7) Pada saat proses pemakaman ini, setelah liang kubur ditutup dan sebelum ditimbun tanah, bagi penta`ziah (orang sekeliling) disunatkan dengan kedua tangannya untuk mengambil tiga genggaman tanah bekas penggalian kubur, kemudian menaburkannya ke dalam kubur melalui arah kepala mayat.Pada taburan Pertama sunah membaca: Pada taburan kedua: Pada taburan ketiga:
(8) Setelah itu salah satu diantara pengiring membaca azdan dan iqomah di dalam kubur. Kemudian di atas mayat ditutup dengan papan dan lubang-lubangnya ditutup dengan bata/ tanah.
(9) Khusus untuk liang landak, lubang yang ada di dalamnya ditutup dengan tanah dan bata. kemudian liang kubur ditimbun dengan tanah sampai kira-kira setinggi 1 (satu) jengkal dari permukaan tanah.
(10) Dan disunatkan lagi memberi /memasang dua nisan.
(11) Juga disunatkan menaburkan bunga, memberi minyak wangi, meletakkan kerikil, serta memercikkan air di atas makam.
(12) Selanjutnya salah satu wakil keluarga atau orang yang ahli ibadah men-talqin mayat. Bagi orang yang men-talqin duduk dengan posisi menghadap ke timur dan lurus dengan kepala mayat. Dan bagi pentakziah sebaiknya berdiri Dalam pem-bacaan do’a talqin ini disunatkan untuk diulang sebanyak 3 (tiga) kali.
(13) Selesai pen-talqin-an pihak keluarga dan pentakziah sebaiknya tidak bergegas untuk pulang, akan tetapi tinggal sebentar untuk mendo’akanْ mayat agar dipermudah oleh Allah Swt. untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Malikat Munkar dan Malaikat Nakir.

TUGAS SISWA PERTEMUAN II 

1.    1. Hafalkan tata urutan dalam menshalati Jenazah?

2.    2. Kemudian praktekkan dengan mengirim tugas melalui voice wapri menshalati jenazah!



Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
Langsung melalui WA




Jumat, 17 Juli 2020

HAKIKAT PENCIPTAAN MANUSIA

Assalamualikum Wr. Wb
Selamat Datang di Pembelajaran Daring
Mata Pelajaran Al-Qur'an Hadits
Semester I Tahun Pelajaran 2020/2021
MA MUHAMMADIYAH 01 TEGALOMBO
Guru Pengampu: Nur Fuad, S.Pd.I

Tetap Patuhi Protokol Kesehatan Ya!!

BAB I
HAKIKAT PENCIPTAAN MANUSIA

A. Tadarus Al-Quran
Surat Al-Mu'minun Ayat 12-24

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
bismillāhir-raḥmānir-raḥīm

وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ

wa laqad khalaqnal-insāna min sulālatim min ṭīn 12.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.

 ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ

ṡumma ja'alnāhu nuṭfatan fī qarārim makīn 13.

Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).

 ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ

ṡumma khalaqnan-nuṭfata 'alaqatan fa khalaqnal-'alaqata muḍgatan fa khalaqnal-muḍgata 'iẓāman fa kasaunal-'iẓāma laḥman ṡumma ansya`nāhu khalqan ākhar, fa tabārakallāhu aḥsanul-khāliqīn 14.

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.


Tugas 
Bacalah Al-Quran Surat Al-Mu'minun ayat 12-14 tersebut
dan kirimkan tugas melalui pesan suara.WA

#Belajar lebih giat lagi dimasa pandemi
#Banyak berdoa
#Patuhi Protokol Kesehatan
#Jaga Jarak
#Cuci Tangan
#Pakai Masker

Kamis, 16 Juli 2020

KONSEP USHUL FIKIH

Selamat Datang di Pembelajaran Daring
Mata Pelajaran Fikih Kelas XII
Semester I Tahun Pelajaran 2020/2021
MA MUHAMMADIYAH 01 TEGALOMBO
Guru Pengampu: Nur Fuad, S.Pd.I
Jumat, 24 Juli 2020

BAB I
KONSEP USHUL FIKIH

A. Pengertian Fikih dan Ushul Fikih

1. Pengertian Fikih

Kata “fikih” ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata kerja dasar Bahasa Arab فقه - يفقه - فقهاyang memiliki beberapa arti, yaitu; “memahami secara mendalam, mengerti, dan ahli”. Paham di sini maksudnya adalah paham dan mengerti maksud yang dibicarakan. Adapun “fikih” ditinjau dari segi istilah, dikutip sebagaimana pendapat Abdul Wahab Khalaf:
“Fikih adalah kumpulan (ketetapan) hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya yang jelas dan terperinci”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa fikih itu berkaitan dengan berbagai ketentuan hukum syara’, baik yang telah ditetapkan langsung oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun berbagaI ketetapan maupun hukum syara’ yang ditetapkan oleh para ahli fikih atau mujtahid dari masa ke masa.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum syara’ adalah
ketentuan hukum yang terkait dengan perbuatan manusia dari berbagai aspek
kehidupan. Dengan kata lain, hukum syara’ adalah sejumlah ketentuan hukum
yang mengatur semua perbuatan manusia yang meliputi nilai dan ukurannya,
namun ia tidak mencakup persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Dalam
pada itu, hukum syara’ haruslah didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci yang dijadikan pijakan dan merupakan sumber pembentukan hukum syara’.

2. Pengertian Ushul Fikih

Frasa “ushul fikih” ditinjau secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu “ushul” dan “fikih”. Kata ushul ُالأصول adalah bentuk jamak dari kata al-ashl  الأصل yang berarti sesuatu yang menjadi dasar atau landasan bagi lainnya. Adapun kata al-fiqh الفقه sebagaimana yang diuraikan tersebut, berarti paham atau mengerti secara mendalam.
Adapun secara istilah, ushul fikih sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad al-Syaukani : “Fungsi ushul fikih adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dapat digunakan sebagai alat untuk menggali (istimbath) hukum-hukum furu’ dari dalil-dalilnya yang rinci dan jelas”
Selanjutnya definisi ushul fikih menurut Qutub Mustafa Sanu’ dalam kitab Mu’jam Mustalahat adalah :
“Ushul fikih adalah kaidah-kaidah kulliyyah yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk memahami nash al-kitab dan al-sunnah.”
Definisi di atas menyimpulkan bahwa ushul fikih merupakan sarana atau
alat yang dapat digunakan untuk memahami nash al-Qur’an dan as-Sunnah agar dapat menghasilkan hukum-hukum syara’. Dengan kata lain, ushul fikih
merupakan metodologi atau teori yang tidak hanya digunakan untuk memahami hukum-hukum syara’ saja, melainkan juga dapat berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah.

B. Obyek Pembahasan Fikih dan Ushul Fikih

1. Obyek Pembahasan Ilmu Fikih

Ilmu fikih merupakan cabang (furu’) dari ilmu ushul fikih. Yang menjadi obyek pembahasan dari ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dan nilai-nilai hokum yang berkaitan erat dengan perbuatan tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa perbuatan seorang mukallaf itu berkaitan erat dengan taklif syar’i yang menjadi beban seorang mukallaf dalam berbagai aspek kehidupannya.
Berbagai aspek kehidupan mukallaf meliputi aspek; Ibadah, mu’amalah dan
jinayah. Aspek ibadah menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan
Allah Swt. dan juga menyangkut segala persoalan yang berkaitan erat dengan
urusan mendekatkan diri kepada Allah Swt. seperti sholat, puasa, zakat dan haji serta berbagai bentuk amal kebaikan yang lainnya.
Dari sini pula muncul istilah ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang memiliki syarat dan rukun yang ditentukan oleh syari’at dan pelaksanaannya dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang sifat, bentuk, kaifiat dan waktunya tidak dijelaskan secara rinci, namun al-Qur’an dan al-Hadits hanya memberikan dorongan atau motivasi yang tinggi agar manusia berkeinginan yang tinggi mengerjakan kebajikan dan amal shaleh dalam berbagai hal dan kesempatan semata hanya mengharapkan ridlo Allah Swt. seperti saling tolongmenolong dalam berbuat kebaikan, mencari ilmu, meringankan beban sesame yang terkena musibah, dan lain sebagainya. Ibadah ini merupakan kewajiban manusia sebagai hamba Allah Swt. dan sekaligus merupakan bentuk pengabdian diri manusia sebagai hamba Allah Swt. yang beriman dan bertaqwa.
Pembahasan berikutnya adalah meliputi aspek mu’amalah yang terkait dengan interaksi sesama manusia. Seperti hal-hal yang terkait dengan harta, jualbeli, sewa menyewa, pinjam meminjam, titipan syirkah, siyasah dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam ilmu fikih dibahas juga permasalahan ‘uqubah yang berkaitan dengan tindak pidana dan kejahatan serta sanksi-sanksinya, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, penganiayaan, dan lain sebagainya.

2. Obyek Pembahasan Ushul Fikih

Obyek pembahasan ilmu ushul fikih adalah syari’at yang bersifat kulli atau yang menyangkut dalil-dalil hukum. Baik dalil-dalil hukum ini menyangkut dalildalil hukum nash yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis ataupun dalil-dalil yang ijtihadiyah.
Dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits kajiannya berkaitan dengan berbagai bentuk karakteristik lafazd nash, yaitu :
a. Lafadz nash dari segi bentuknya
b. Lafadz nash dari segi cakupan maknanya
c. Lafadz nash dari dilalahnya
d. Lafadz nash dari segi jelas dan tidak jelasnya serta macam-macam tingkatannya
e. Lafadz nash dari segi penggunaannya

Hukum syara’ dalam kaitannya dengan makna hukum, pembagian hukum dan obyek serta subyek hukum. Dalil-dalil ijtihadiyah ini merupakan dalil-dalil yang dirumuskan berdasarkan ijtihad ulama’. Dalil-dalil tersebut seperti:
a. Al-Ijmak
b. Al-Qiyas
c. Al-Istihsan
d. Al-Maslahah Mursalah
e. Al-Istishab
f. Sadzudz Dzari’ah
g. Al-‘Urf
h. Syar’u Man Qablana
i. Mazhab Sahabi


Tugas Pertemuan I
Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang konsep fikih dan ushul fikih, Berikan contoh produk atau yang dihasilkan dari:

1. Fikih
2. Ushul Fikih

Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!



Pertemuan 2
Jumat, 24 Maret 2020


C. Tujuan Mempelajari Fikih Dan Ushul Fikih

1. Tujuan mempelajari Fikih

Tujuan mempelajari fikih adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah terkait dengan penerapan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan ataupun perkataan seseorang. Dan fikih merupakan rujukan bagi para hakim dalam menetapkan dan memutuskan serta menerapkan hokum yang berkenaan dengan perbuatan dan perkataan seseorang. Begitu pula fikih. Sebagai rujukan bagi setiap orang untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan dan perkataan seseorang. 

Kemudian dengan mempelajari fikih manusia akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Kesemuanya itu merupakan kebutuhan manusia agar tercipta kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan manusia baik di dunia maupun nanti di akhirat

2. Tujuan mempelajari ushul fikih

Mengingat posisi ushul fikih ini sangat vital dalam hukum Islam, maka mengetahui tujuan mempelajari ushul fikih ini sangat penting. Para ulama telah menyimpulkan bahwa mempelajari ushul fikih sesungguhnya akan membawa seorang muslim sampai pada pemahaman tentang seluk-beluk dan proses penetapan hukum dan dalil-dalil yang melandasinya. Disamping itu, mempelajari ushul fikih untuk menjadikan kita paham secara mendalam tentang berbagai ketentuan hukum seperti ibadah, mu’amalah dan ‘uqubah.
Ketiga aspek ini merupakan bidang garapan atau telaah dari ushul fikih yang proses penetapan dan penerapannya sangat penting untuk dipelajari manusia. Kita tidak akan mungkin paham secara baik jika tidak mempelajari ushul fikih. Oleh karena itu tujuan mempelajari ushul fikih itu sendiri sesungguhnya agar kita mampu menyelami hukum-hukum Allah Swt dengan baik dan benar agar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata setiap hari.

Secara lebih perinci, Wahba Zuhaili menyebutkan bahwa tujuan dan
manfaat mempelajari ushul fikih itu sebagai berikut :

a. Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan oleh para fuqaha’ atau mujtahid dalam istimbath hukum syara’.

b. Untuk memperoleh kemampuan dalam melakukan istinbath hukum dari dalil-dalilnya, terutama bagi mujtahid. Seorang mujtahid dituntut mampu menggali dan menghasilkan berbagai ketetapan hukum syara’ dengan jalan istimbath. 

c. Bagi mujtahid khususnya, akan membantu mereka dalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil nash. Dengan mempelajari ushul fikih para peneliti (mujtahid) akan mampu mentarjih dan mentakhrij pendapat para ulama terdahulu, atau menetapkan hukum-hukum yang terkait dengan kepentingan manusia baik secara individu maupun kolektif. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa nash al-Qur’an dan al-Hadis terbatas sementara berbagai peristiwa baru dan kasus-kasus hukum tidak pernah berhenti dan terus terjadi. Untuk menjawab berbagai persoalan ini jalan yang harus ditempuh adalah dengan melakukan ijtihad, dan ijtihad hanya dapat dilakukan apabila mengetahui kaidah-kaidah ushul, dan mampu mengetahui ‘illat hukum. dengan menguasai ushul fikih secara mendalam akan bisa menghindarkan diri dari prilaku taqlid buta. Dan, yang lebih penting lagi adalah mampu menghasilkan berbagai ketetapan hukum syara’ yang sesuai dengan perkembangan zaman sekarang.

d. Mempelajari ushul fikih adalah merupakan jalan untuk memelihara agama dan sendi-sendi hukum syari’at beserta dalil-dalilnya. Oleh karena itulah, para ulama ushul fikih mengatakan bahwa manfaat mempelajari ushu fikih adalah mengetahui hukum-hukum Allah Swt. sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

e. Mampu menerapkan kaidah-kaidah ushul fikih dalam menghadapi dan menjawab kasus-kasus baru yang tidak ditemukan dalilnya dalam nash secara tekstual


D. Menganalisis Pertumbuhan dan Perkembangan Fikih dan Ushul Fikih

1. Pertumbuhan Dan Perkembangan Fikih

Hukum fikih tumbuh bersamaan dengan perkembangan Islam. Karena agama Islam adalah kumpulan dari beberapa unsur yaitu aqidah, akhlak dan hukum suatu perbuatan. Jika kita ingin mengetahui pertumbuhan dan perkembangan fikih, maka kita dapat melihatnya secara periodesasi dan tahapan-tahapannya.

Ulama telah membagi kepada berapa periodisasi dari pertumbuhan danperkembangan fikih.Sebagaimana dijelaskan oleh Jadul Haq Ali Jadul Haq bahwa pertumbuhan dan perkembangan fikih itu dapat dibagi menjadi lima periode. Pertama, periode Nabi dan masa kedatangan Islam; kedua, periode sahabat dan tâbî’in; ketiga, periode kodifikasi (tadwin) fikih dan kematangannya; keempat, periode berhentinya ijtihad; dan kelima, merupakan periode kebangkitan

2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fikih

Sebetulnya, apabila berbicara fikih maka pada dasarnya akan terkait dengan ushul fikih. Menurut Amir Syarifuddin, bahwa ushul fikih itu bersamaan munculnya dengan ilmu fikih, walaupun dalam penyusunannya fikih dilakukan lebih dahulu dari ushul fikih. Penyusunan fikih itu sebenarnya sudah dimulai langsung setelah wafatnya Rasulullah Saw. yaitu pada periode sahabat dan pada waktu itu pemikiran tentang ushul fikih juga telah ada. Untuk menyebut beberapa orang sahabat , misalnya Umar Bin Khatab, Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib dalam mengemukakan pendapat mereka tentang hukum telah menggunakan logika (aturan) dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas tidak mengemukakan demikian.

Sebagai contoh, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, bahwa ketika Ali Bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk kepada peminum khamr, Ali berkata, apabila ia minum khamr akan mabuk dan kalau ia mabuk maka ia akan menuduh orang berbuat zina, maka kepadanya dijatuhkan hukuman tuduhan berbuat zina (qadz|af) yaitu dicambuk delapan puluh kali. Apa yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib ini dipahami bahwa beliau telah menggunakan kaidah apa yang dikenal dengan sadzudz dzaari’ah.
Pada masa tabi’in kegiatan istinbath semakin meluas karena bersamaan dengan itu banyak persoalan hukum muncul. Pada masa ini tampil sejumlah tokoh dari kalangan tabi’in yang banyak mengeluarkan fatwa, diantaranya Sa’id Ibnu al-Musayib dan beberapa orang lain di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Irak. Mereka adalah orang-orang yang memahami al-Qur’an, al-Hadits dan fatwa sahabat.

Diantara mereka ada yang menggunakan pendekatan maslahah mursalah dan ada pula yang mengunakan al-qiyas jika mereka tidak menemukan jawaban atas persoalan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Kemudian Ibrahim al-Nakha’I dan ulama Irak dalam praktik istimbath hukum mengarah kepada penggunaan pendekatan ‘illat dalam memahami nash dan menerapkannya terhadap persoalan atau kasus baru yang muncul.

Secara praktis, baik pada masa sahabat maupun pada masa tabî’in kegiatan istimbat hukum dengan menggunakan pendekatan ushuliyah telah ada, hanya saja, belum dirumuskan sebagai teori. Setelah berlalunya era tabi’in, maka mulai muncul era kebangkitan ulama dengan pola-pola tersendiri dalam istinbat hukum. Perbedaan-perbedaan pola istinbath ini yang kemudian melahirkan madzhab ushul fikih yang beragam dalam pemikiran hukum Islam. Era ini terjadi ketika memasuki awal abad kedua Hijriyah.

Pada era inilah muncul sejumlah ulama besar yang sangat berjasa dalam melahirkan ilmu ushul fikih dan masing-masing ulama besar tersebut memiliki metode atau manhaj tersendiri yang berbeda dengan lainnya dalam istimbath hukum. Imam Abu Hanifah, misalnya meletakkan dasar-dasar istimbathnya dengan urutan dalil, yaitu al-Kitab, al-Sunnah, dan fatwa sahabat dengan mengambil apa yang telah disepakati oleh sahabat dan memilih pendapat diantara mereka jika terjadi ikhtilaf. Abu Hanifah juga menggunakan al-Qiyas dan alIstihsan sebagai sarana dalam istinbath hukum. Menurut Sofi Hasan Abu Thalib, sesungguhnya sistem istimbath yang dibangun oleh Abu Hanifah, yang kemudian sistem ini menjadi pokok-pokok pegangan madzhab Hanafi (ushul al-madzhab) adalah sebagai berikut : al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan, dan kemudian al-‘Urf. 

Sementara itu, Imam Malik menempuh pendekatan (manhaj) ushuliyah yang secara tegas menggunakan ‘amal ahli Madinah (tradisi/praktik) hidupan penduduk Madinah. Secara jelas, Imam Malik dalam sistem istimbath yang dibangun dan ini menjadi ushul al-madzhab nya sebagai berikut : al-Kitab, alSunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, ‘amal ahli Madinah, al-Maslahah Mursalah, alIstihsan, al-Sadzdudz Dzari’ah, al-‘Urf, dan al-Istishab. Selanjutnya, selain Abu Hanifah dan Imam Malik muncul pula Imam Syafi’i sebagai ulama besar yang hidup dalam suasana perkembangan ilmu yang kondusif dan penghargaan fikih yang sudah berkembang sejak zaman sahabat, tabi’in dan era kebangkitan ulama madzhab. Imam Syafi’i juga berhadapan dengan berbagai keragaman pola istimbath yang berkembang saat ini. 

Dengan demikian, Imam Syafi’i berada pada posisi yang menguntungkan dalam bidang ushul fikih, sehingga dalam merumuskan teori istimbath hukum, beliau memiliki dasar dan cara yang lebih sistematis. Secara teoritis, Imam Syafi’i merupakan orang pertama yang merumuskan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mujtahid dalam menetapkan hukum dari dalilnya. Metode yang sistematis ini yang kemudian disebut dengan ushul fikih. Secara sistematis prinsip-prinsip istimbath yang dibangun oleh Imam Syafi’i sebagai berikut: berpegang kepada al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Teori istnbath yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i menjadi rujukan bagi para ulama atau mujtahid sepeninggal beliau. 

Menurut para ahli baik dari kalangan Islam maupun para ahli di luar Islam (orientalis), mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang merumuskan ushul fikih secara sistematis, sehingga ushul fikih lahir sebagai cabang ilmu hukum Islam yang posisinya sangat sentral dalam pemikiran hokum Islam. Imam Syafi’i dipandang “The Founding Father of Islamic Law Theory” yaitu bapak ushul fikih. Diakui meskipun sudah ada upaya sebelumnya untuk merumuskan langkah-langkah dalam istimbath hukum yang dilakukan oleh para pendahulu Imam Syafi’i, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, akan tetap belum merupakan suatu metode yang sistematis. 

Dengan kata lain, ushul fikih yang lahir sebagai suatu teori hukum Islam merupakan hasil rumusan Imam Syafi’i. Rumusan itu lahir setelah melewati telaah dan kajian akademik (kajian secara mendalam) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap berbagai pemikiran fikih yang masih sporadis atau belum sistematis dan masih berserakan. Teori ushul fikih yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i secara sistematis itu dapat dilihat dalam karya monumental beliau, yaitu kitab ar-Risalah yang hingga sekarang tetap menjadi rujukan oleh para ahli hukum Islam dalam istimbath hukum. Setelah era Imam Syafi’i berlalu, pembicaraan tentang ushul fikih tetap berlanjut dan semakin meningkat. 

Kerangkah dasar yang telah diletakkan oleh Imam Syafi’i ini dikembangkan oleh para murid, pengikutnya dan orang-orang yang datang kemudian. Salah seorang murid Imam Syafi’i yang terkenal yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal (164 H-241 H) yang juga cukup besar andilnya dalam pemikiran ushul fikih Langkahlangkah istimbath hukum yang digariskannya suatu al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma, al-Qiyas, al-Istishab, al-Maslahah Mursalah, dan al-Sadzudz Dzaari’ah. Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas, terdapat pula sejumlah ulama yang juga cukup berjasa dalam pengembangan ushul fikih. Diantaranya, 

Daud Ibnu Sulaiman al-Zahiri. Tokoh ini lebih populer dikenal dengan sebutan Daud Zahiri, karena dalam istinbath hukum lebih menekankan kepada zahir nash al-Kitab dan as-Sunnah. Daud Zahiri adalah seorang mujtahid yang dilahirkan di Irak pada tahun 270 H. Dalam istinbat hukum ia berpijak kepada zahir nash dan menolak qiyas 

Pemikiran Daud Zahiri banyak mewarnai pemikiran hukum Islam. Salah seorang pengikut Daud Zahiri yang cukup terkenal adalah Ali Ibnu Ahmad Sa’id Ibnu Galib Ibnu Saleh Ibnu Sofyan Bin Yazid, yang lebih populer dipanggil dengan Ibnu Hazm. Karya ushul fikihnya yang sangat terkenal yang hingga sekarang tetap menjadi rujukan yaitu “Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”. Setelah masa ini bermunculan sejumlah kitab ushul fikih, seperti kitab Jam’u al-Jawami’ karya Ibnu al-Subky, kitab Irsyad al-Fuhul karya Imam al-Syaukani, dan kita alBurhan karya Imam al-Haramain serta kitab al-Mu’tamad karya Hasan al Basri


Tugas Fikih
Pertemuan 2

Ada salah satu kaidah Ushul Fiqh yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi pada masa pandemi ini. Kaidahnya itu berbunyi Dar-ul Mafasidi Muqoddamun Ala Jalbil Mashoolih, artinya adalah mendahulukan untuk menolak mafsadat lebih baik daripada mengambil maslahat.

1. Bagaimana pendapatmu tentang pemerintah menerapkan PSBB dan melarang adanya shalat berjamaah di masjid saat pandemi?

Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:

Kirim Jawaban anda!



MUTIARA HIKMAH