Mata Pelajaran Fikih Kelas XII
Semester I Tahun Pelajaran 2020/2021
MA MUHAMMADIYAH 01 TEGALOMBO
Guru Pengampu: Nur Fuad, S.Pd.I
Jumat, 24 Juli 2020
BAB I
KONSEP USHUL FIKIH
A. Pengertian Fikih dan Ushul Fikih
1. Pengertian Fikih
Kata “fikih” ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata kerja dasar Bahasa Arab فقه - يفقه - فقهاyang memiliki beberapa arti, yaitu; “memahami secara mendalam, mengerti, dan ahli”. Paham di sini maksudnya adalah paham dan mengerti maksud yang dibicarakan. Adapun “fikih” ditinjau dari segi istilah, dikutip sebagaimana pendapat Abdul Wahab Khalaf:
“Fikih adalah kumpulan (ketetapan) hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya yang jelas dan terperinci”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa fikih itu berkaitan dengan berbagai ketentuan hukum syara’, baik yang telah ditetapkan langsung oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun berbagaI ketetapan maupun hukum syara’ yang ditetapkan oleh para ahli fikih atau mujtahid dari masa ke masa.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum syara’ adalah
ketentuan hukum yang terkait dengan perbuatan manusia dari berbagai aspek
kehidupan. Dengan kata lain, hukum syara’ adalah sejumlah ketentuan hukum
yang mengatur semua perbuatan manusia yang meliputi nilai dan ukurannya,
namun ia tidak mencakup persoalan yang berhubungan dengan aqidah. Dalam
pada itu, hukum syara’ haruslah didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci yang dijadikan pijakan dan merupakan sumber pembentukan hukum syara’.
2. Pengertian Ushul Fikih
Frasa “ushul fikih” ditinjau secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu “ushul” dan “fikih”. Kata ushul ُالأصول adalah bentuk jamak dari kata al-ashl الأصل yang berarti sesuatu yang menjadi dasar atau landasan bagi lainnya. Adapun kata al-fiqh الفقه sebagaimana yang diuraikan tersebut, berarti paham atau mengerti secara mendalam.
Adapun secara istilah, ushul fikih sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad al-Syaukani : “Fungsi ushul fikih adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dapat digunakan sebagai alat untuk menggali (istimbath) hukum-hukum furu’ dari dalil-dalilnya yang rinci dan jelas”
Selanjutnya definisi ushul fikih menurut Qutub Mustafa Sanu’ dalam kitab Mu’jam Mustalahat adalah :
“Ushul fikih adalah kaidah-kaidah kulliyyah yang digunakan oleh seorang mujtahid untuk memahami nash al-kitab dan al-sunnah.”
Definisi di atas menyimpulkan bahwa ushul fikih merupakan sarana atau
alat yang dapat digunakan untuk memahami nash al-Qur’an dan as-Sunnah agar dapat menghasilkan hukum-hukum syara’. Dengan kata lain, ushul fikih
merupakan metodologi atau teori yang tidak hanya digunakan untuk memahami hukum-hukum syara’ saja, melainkan juga dapat berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah.
B. Obyek Pembahasan Fikih dan Ushul Fikih
1. Obyek Pembahasan Ilmu Fikih
Ilmu fikih merupakan cabang (furu’) dari ilmu ushul fikih. Yang menjadi obyek pembahasan dari ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dan nilai-nilai hokum yang berkaitan erat dengan perbuatan tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa perbuatan seorang mukallaf itu berkaitan erat dengan taklif syar’i yang menjadi beban seorang mukallaf dalam berbagai aspek kehidupannya.
Berbagai aspek kehidupan mukallaf meliputi aspek; Ibadah, mu’amalah dan
jinayah. Aspek ibadah menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan
Allah Swt. dan juga menyangkut segala persoalan yang berkaitan erat dengan
urusan mendekatkan diri kepada Allah Swt. seperti sholat, puasa, zakat dan haji serta berbagai bentuk amal kebaikan yang lainnya.
Dari sini pula muncul istilah ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang memiliki syarat dan rukun yang ditentukan oleh syari’at dan pelaksanaannya dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang sifat, bentuk, kaifiat dan waktunya tidak dijelaskan secara rinci, namun al-Qur’an dan al-Hadits hanya memberikan dorongan atau motivasi yang tinggi agar manusia berkeinginan yang tinggi mengerjakan kebajikan dan amal shaleh dalam berbagai hal dan kesempatan semata hanya mengharapkan ridlo Allah Swt. seperti saling tolongmenolong dalam berbuat kebaikan, mencari ilmu, meringankan beban sesame yang terkena musibah, dan lain sebagainya. Ibadah ini merupakan kewajiban manusia sebagai hamba Allah Swt. dan sekaligus merupakan bentuk pengabdian diri manusia sebagai hamba Allah Swt. yang beriman dan bertaqwa.
Pembahasan berikutnya adalah meliputi aspek mu’amalah yang terkait dengan interaksi sesama manusia. Seperti hal-hal yang terkait dengan harta, jualbeli, sewa menyewa, pinjam meminjam, titipan syirkah, siyasah dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam ilmu fikih dibahas juga permasalahan ‘uqubah yang berkaitan dengan tindak pidana dan kejahatan serta sanksi-sanksinya, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, penganiayaan, dan lain sebagainya.
2. Obyek Pembahasan Ushul Fikih
Obyek pembahasan ilmu ushul fikih adalah syari’at yang bersifat kulli atau yang menyangkut dalil-dalil hukum. Baik dalil-dalil hukum ini menyangkut dalildalil hukum nash yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis ataupun dalil-dalil yang ijtihadiyah.
Dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits kajiannya berkaitan dengan berbagai bentuk karakteristik lafazd nash, yaitu :
a. Lafadz nash dari segi bentuknya
b. Lafadz nash dari segi cakupan maknanya
c. Lafadz nash dari dilalahnya
d. Lafadz nash dari segi jelas dan tidak jelasnya serta macam-macam tingkatannya
e. Lafadz nash dari segi penggunaannya
Hukum syara’ dalam kaitannya dengan makna hukum, pembagian hukum dan obyek serta subyek hukum. Dalil-dalil ijtihadiyah ini merupakan dalil-dalil yang dirumuskan berdasarkan ijtihad ulama’. Dalil-dalil tersebut seperti:
a. Al-Ijmak
b. Al-Qiyas
c. Al-Istihsan
d. Al-Maslahah Mursalah
e. Al-Istishab
f. Sadzudz Dzari’ah
g. Al-‘Urf
h. Syar’u Man Qablana
i. Mazhab Sahabi
Tugas Pertemuan I
Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang konsep fikih dan ushul fikih, Berikan contoh produk atau yang dihasilkan dari:
1. Fikih
2. Ushul Fikih
Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
Pertemuan 2
Jumat, 24 Maret 2020
C. Tujuan Mempelajari Fikih Dan Ushul Fikih
1. Tujuan mempelajari Fikih
Tujuan mempelajari fikih adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah terkait dengan penerapan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan ataupun perkataan seseorang. Dan fikih merupakan rujukan bagi para hakim dalam menetapkan dan memutuskan serta menerapkan hokum yang berkenaan dengan perbuatan dan perkataan seseorang. Begitu pula fikih. Sebagai rujukan bagi setiap orang untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan dan perkataan seseorang.
Kemudian dengan mempelajari fikih manusia akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Kesemuanya itu merupakan kebutuhan manusia agar tercipta kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan manusia baik di dunia maupun nanti di akhirat
2. Tujuan mempelajari ushul fikih
Mengingat posisi ushul fikih ini sangat vital dalam hukum Islam, maka mengetahui tujuan mempelajari ushul fikih ini sangat penting. Para ulama telah menyimpulkan bahwa mempelajari ushul fikih sesungguhnya akan membawa seorang muslim sampai pada pemahaman tentang seluk-beluk dan proses penetapan hukum dan dalil-dalil yang melandasinya. Disamping itu, mempelajari ushul fikih untuk menjadikan kita paham secara mendalam tentang berbagai ketentuan hukum seperti ibadah, mu’amalah dan ‘uqubah.
Ketiga aspek ini merupakan bidang garapan atau telaah dari ushul fikih yang proses penetapan dan penerapannya sangat penting untuk dipelajari manusia. Kita tidak akan mungkin paham secara baik jika tidak mempelajari ushul fikih. Oleh karena itu tujuan mempelajari ushul fikih itu sendiri sesungguhnya agar kita mampu menyelami hukum-hukum Allah Swt dengan baik dan benar agar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata setiap hari.
Secara lebih perinci, Wahba Zuhaili menyebutkan bahwa tujuan dan
manfaat mempelajari ushul fikih itu sebagai berikut :
a. Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan oleh para fuqaha’ atau mujtahid dalam istimbath hukum syara’.
b. Untuk memperoleh kemampuan dalam melakukan istinbath hukum dari dalil-dalilnya, terutama bagi mujtahid. Seorang mujtahid dituntut mampu menggali dan menghasilkan berbagai ketetapan hukum syara’ dengan jalan istimbath.
c. Bagi mujtahid khususnya, akan membantu mereka dalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil nash. Dengan mempelajari ushul fikih para peneliti (mujtahid) akan mampu mentarjih dan mentakhrij pendapat para ulama terdahulu, atau menetapkan hukum-hukum yang terkait dengan kepentingan manusia baik secara individu maupun kolektif. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa nash al-Qur’an dan al-Hadis terbatas sementara berbagai peristiwa baru dan kasus-kasus hukum tidak pernah berhenti dan terus terjadi. Untuk menjawab berbagai persoalan ini jalan yang harus ditempuh adalah dengan melakukan ijtihad, dan ijtihad hanya dapat dilakukan apabila mengetahui kaidah-kaidah ushul, dan mampu mengetahui ‘illat hukum. dengan menguasai ushul fikih secara mendalam akan bisa menghindarkan diri dari prilaku taqlid buta. Dan, yang lebih penting lagi adalah mampu menghasilkan berbagai ketetapan hukum syara’ yang sesuai dengan perkembangan zaman sekarang.
d. Mempelajari ushul fikih adalah merupakan jalan untuk memelihara agama dan sendi-sendi hukum syari’at beserta dalil-dalilnya. Oleh karena itulah, para ulama ushul fikih mengatakan bahwa manfaat mempelajari ushu fikih adalah mengetahui hukum-hukum Allah Swt. sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
e. Mampu menerapkan kaidah-kaidah ushul fikih dalam menghadapi dan menjawab kasus-kasus baru yang tidak ditemukan dalilnya dalam nash secara tekstual
D. Menganalisis Pertumbuhan dan Perkembangan Fikih dan Ushul Fikih
1. Pertumbuhan Dan Perkembangan Fikih
Hukum fikih tumbuh bersamaan dengan perkembangan Islam. Karena agama Islam adalah kumpulan dari beberapa unsur yaitu aqidah, akhlak dan hukum suatu perbuatan. Jika kita ingin mengetahui pertumbuhan dan perkembangan fikih, maka kita dapat melihatnya secara periodesasi dan tahapan-tahapannya.
Ulama telah membagi kepada berapa periodisasi dari pertumbuhan danperkembangan fikih.Sebagaimana dijelaskan oleh Jadul Haq Ali Jadul Haq bahwa pertumbuhan dan perkembangan fikih itu dapat dibagi menjadi lima periode. Pertama, periode Nabi dan masa kedatangan Islam; kedua, periode sahabat dan tâbî’in; ketiga, periode kodifikasi (tadwin) fikih dan kematangannya; keempat, periode berhentinya ijtihad; dan kelima, merupakan periode kebangkitan
2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fikih
Sebetulnya, apabila berbicara fikih maka pada dasarnya akan terkait dengan ushul fikih. Menurut Amir Syarifuddin, bahwa ushul fikih itu bersamaan munculnya dengan ilmu fikih, walaupun dalam penyusunannya fikih dilakukan lebih dahulu dari ushul fikih. Penyusunan fikih itu sebenarnya sudah dimulai langsung setelah wafatnya Rasulullah Saw. yaitu pada periode sahabat dan pada waktu itu pemikiran tentang ushul fikih juga telah ada. Untuk menyebut beberapa orang sahabat , misalnya Umar Bin Khatab, Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib dalam mengemukakan pendapat mereka tentang hukum telah menggunakan logika (aturan) dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas tidak mengemukakan demikian.
Sebagai contoh, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, bahwa ketika Ali Bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk kepada peminum khamr, Ali berkata, apabila ia minum khamr akan mabuk dan kalau ia mabuk maka ia akan menuduh orang berbuat zina, maka kepadanya dijatuhkan hukuman tuduhan berbuat zina (qadz|af) yaitu dicambuk delapan puluh kali. Apa yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib ini dipahami bahwa beliau telah menggunakan kaidah apa yang dikenal dengan sadzudz dzaari’ah.
Pada masa tabi’in kegiatan istinbath semakin meluas karena bersamaan dengan itu banyak persoalan hukum muncul. Pada masa ini tampil sejumlah tokoh dari kalangan tabi’in yang banyak mengeluarkan fatwa, diantaranya Sa’id Ibnu al-Musayib dan beberapa orang lain di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Irak. Mereka adalah orang-orang yang memahami al-Qur’an, al-Hadits dan fatwa sahabat.
Diantara mereka ada yang menggunakan pendekatan maslahah mursalah dan ada pula yang mengunakan al-qiyas jika mereka tidak menemukan jawaban atas persoalan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Kemudian Ibrahim al-Nakha’I dan ulama Irak dalam praktik istimbath hukum mengarah kepada penggunaan pendekatan ‘illat dalam memahami nash dan menerapkannya terhadap persoalan atau kasus baru yang muncul.
Secara praktis, baik pada masa sahabat maupun pada masa tabî’in kegiatan istimbat hukum dengan menggunakan pendekatan ushuliyah telah ada, hanya saja, belum dirumuskan sebagai teori. Setelah berlalunya era tabi’in, maka mulai muncul era kebangkitan ulama dengan pola-pola tersendiri dalam istinbat hukum. Perbedaan-perbedaan pola istinbath ini yang kemudian melahirkan madzhab ushul fikih yang beragam dalam pemikiran hukum Islam. Era ini terjadi ketika memasuki awal abad kedua Hijriyah.
Pada era inilah muncul sejumlah ulama besar yang sangat berjasa dalam melahirkan ilmu ushul fikih dan masing-masing ulama besar tersebut memiliki metode atau manhaj tersendiri yang berbeda dengan lainnya dalam istimbath hukum. Imam Abu Hanifah, misalnya meletakkan dasar-dasar istimbathnya dengan urutan dalil, yaitu al-Kitab, al-Sunnah, dan fatwa sahabat dengan mengambil apa yang telah disepakati oleh sahabat dan memilih pendapat diantara mereka jika terjadi ikhtilaf. Abu Hanifah juga menggunakan al-Qiyas dan alIstihsan sebagai sarana dalam istinbath hukum. Menurut Sofi Hasan Abu Thalib, sesungguhnya sistem istimbath yang dibangun oleh Abu Hanifah, yang kemudian sistem ini menjadi pokok-pokok pegangan madzhab Hanafi (ushul al-madzhab) adalah sebagai berikut : al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan, dan kemudian al-‘Urf.
Sementara itu, Imam Malik menempuh pendekatan (manhaj) ushuliyah yang secara tegas menggunakan ‘amal ahli Madinah (tradisi/praktik) hidupan penduduk Madinah. Secara jelas, Imam Malik dalam sistem istimbath yang dibangun dan ini menjadi ushul al-madzhab nya sebagai berikut : al-Kitab, alSunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, ‘amal ahli Madinah, al-Maslahah Mursalah, alIstihsan, al-Sadzdudz Dzari’ah, al-‘Urf, dan al-Istishab. Selanjutnya, selain Abu Hanifah dan Imam Malik muncul pula Imam Syafi’i sebagai ulama besar yang hidup dalam suasana perkembangan ilmu yang kondusif dan penghargaan fikih yang sudah berkembang sejak zaman sahabat, tabi’in dan era kebangkitan ulama madzhab. Imam Syafi’i juga berhadapan dengan berbagai keragaman pola istimbath yang berkembang saat ini.
Dengan demikian, Imam Syafi’i berada pada posisi yang menguntungkan dalam bidang ushul fikih, sehingga dalam merumuskan teori istimbath hukum, beliau memiliki dasar dan cara yang lebih sistematis. Secara teoritis, Imam Syafi’i merupakan orang pertama yang merumuskan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mujtahid dalam menetapkan hukum dari dalilnya. Metode yang sistematis ini yang kemudian disebut dengan ushul fikih. Secara sistematis prinsip-prinsip istimbath yang dibangun oleh Imam Syafi’i sebagai berikut: berpegang kepada al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Teori istnbath yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i menjadi rujukan bagi para ulama atau mujtahid sepeninggal beliau.
Menurut para ahli baik dari kalangan Islam maupun para ahli di luar Islam (orientalis), mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang merumuskan ushul fikih secara sistematis, sehingga ushul fikih lahir sebagai cabang ilmu hukum Islam yang posisinya sangat sentral dalam pemikiran hokum Islam. Imam Syafi’i dipandang “The Founding Father of Islamic Law Theory” yaitu bapak ushul fikih. Diakui meskipun sudah ada upaya sebelumnya untuk merumuskan langkah-langkah dalam istimbath hukum yang dilakukan oleh para pendahulu Imam Syafi’i, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, akan tetap belum merupakan suatu metode yang sistematis.
Dengan kata lain, ushul fikih yang lahir sebagai suatu teori hukum Islam merupakan hasil rumusan Imam Syafi’i. Rumusan itu lahir setelah melewati telaah dan kajian akademik (kajian secara mendalam) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap berbagai pemikiran fikih yang masih sporadis atau belum sistematis dan masih berserakan. Teori ushul fikih yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’i secara sistematis itu dapat dilihat dalam karya monumental beliau, yaitu kitab ar-Risalah yang hingga sekarang tetap menjadi rujukan oleh para ahli hukum Islam dalam istimbath hukum. Setelah era Imam Syafi’i berlalu, pembicaraan tentang ushul fikih tetap berlanjut dan semakin meningkat.
Kerangkah dasar yang telah diletakkan oleh Imam Syafi’i ini dikembangkan oleh para murid, pengikutnya dan orang-orang yang datang kemudian. Salah seorang murid Imam Syafi’i yang terkenal yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal (164 H-241 H) yang juga cukup besar andilnya dalam pemikiran ushul fikih Langkahlangkah istimbath hukum yang digariskannya suatu al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma, al-Qiyas, al-Istishab, al-Maslahah Mursalah, dan al-Sadzudz Dzaari’ah. Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas, terdapat pula sejumlah ulama yang juga cukup berjasa dalam pengembangan ushul fikih. Diantaranya,
Daud Ibnu Sulaiman al-Zahiri. Tokoh ini lebih populer dikenal dengan sebutan Daud Zahiri, karena dalam istinbath hukum lebih menekankan kepada zahir nash al-Kitab dan as-Sunnah. Daud Zahiri adalah seorang mujtahid yang dilahirkan di Irak pada tahun 270 H. Dalam istinbat hukum ia berpijak kepada zahir nash dan menolak qiyas
Pemikiran Daud Zahiri banyak mewarnai pemikiran hukum Islam. Salah seorang pengikut Daud Zahiri yang cukup terkenal adalah Ali Ibnu Ahmad Sa’id Ibnu Galib Ibnu Saleh Ibnu Sofyan Bin Yazid, yang lebih populer dipanggil dengan Ibnu Hazm. Karya ushul fikihnya yang sangat terkenal yang hingga sekarang tetap menjadi rujukan yaitu “Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”. Setelah masa ini bermunculan sejumlah kitab ushul fikih, seperti kitab Jam’u al-Jawami’ karya Ibnu al-Subky, kitab Irsyad al-Fuhul karya Imam al-Syaukani, dan kita alBurhan karya Imam al-Haramain serta kitab al-Mu’tamad karya Hasan al Basri
Tugas Fikih
Pertemuan 2
Ada salah satu kaidah Ushul Fiqh yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi pada masa pandemi ini. Kaidahnya itu berbunyi Dar-ul Mafasidi Muqoddamun Ala Jalbil Mashoolih, artinya adalah mendahulukan untuk menolak mafsadat lebih baik daripada mengambil maslahat.
1. Bagaimana pendapatmu tentang pemerintah menerapkan PSBB dan melarang adanya shalat berjamaah di masjid saat pandemi?
Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar