Minggu, 14 Juni 2020

PEMERINTAHAN ISLAM


KHILAFAH
(PEMERINTAHAN DALAM ISLAM)


KOMPETENSI DASAR :
1.1. Menghayati  konsep khilafah dalam Islam
2.1. Memiliki perilaku jujur, disiplin, dan tanggungjawab  sebagai implementasi dari materi khilafah
3.1. Mendeskripsikan ketentuan Islam tentang pemerintahan (khilafah)
4.1. Menunjukkan contoh penerapan dasar-dasar khilafah
TUJUAN PEMBELAJARAN:
1.        Melalui diskusi siswa dapat merumuskan arti khilafah (pemerintahan) dengan tepat
2.        Melalui     penggalian      informasi        siswa   dapat   menjelaskan   tujuan khilafah (pemerintahan)
3.        Dengan tanya jawab siswa dapat memberi contoh penerapan 5 dasar khilafah dalam pelaksanaan kepemerintahan
4.        Setelah pembelajaran siswa dapat menjelaskan hikmah khilafah sesuai dengan konsep Islam dan pemerintahan pada umumnya dengan percaya diri
5.        Secara berpasangan dan kerja sama siswa dapat menjelaskan 5 dasar khilafah dan dasar  kepemerintahan yang diterapkan di Indonesia.

  

Pada bagian ini akan dipelajari tentang konsep Khilafah dalam Islam. Khilafah adalah bentuk pemerintahan Islam yang telah dicontohkan pada masa Nabi Muhamad SAW dan dilanjutkan oleh para khulafaurrasyidin. Penerapan khilafah pada masa itu telah membawa Islam tersebar luas hingga mencapai kejayaannya.
Dalam bab ini akan diuraikan tentang khilafah, sejarah timbulnya khilafah, dasar khilafah, tujuan khilafah, cara pemilihan khalifah, dan sikap kekhalifahan terhadap non Muslim. Terkait dengan masalah khilafah, juga akan dibahas mengenai Majlis syuro dan ahlul Halli wal Aqdi yang besar peranannya dalam membentuk suatu khilafah.

Siyasah Syar’iyah

Sebelum membahas lebih lanjut tentang Khilafah, lebih dulu perlu diketahui tentang Siyasah Sar’iyah yang merupakan kerangka dari Khilafah. Ada yang menyebut Siyasah Syar’iyah dengan Siyasah Dusturiyah. Siyasah Syar’iyah atau Siyasah Dusturiyah dapat diartikan sebagai Politik Islam. Pembahasan siyasah syar’iyah menyangkut permasalahan kekuasaan, fungsi dan tugas penguasa dalam pemerintahan Islam, serta hubungannya dengan kedaulatan rakyat.
Perkembangan siyasah syar’iyah telah dimulai sejak Rasulullah hijrah di Madinah. Suatu wilayah yang dahulu bernama Yatsrib kemudian  diganti menjadi Madinah. Penggantian nama ini saja sudah menunjukkan adanya langkah politis yang dilakukan Rasulullah.
Perkataan Arab “Madinah” berarti kota. Kata Madinah berasal dari akar kata “Din” yang berarti “patuh”. Dari akar kata ini juga kata “agama” berasal. “Din” merupakan suatu kata yang mengacu pada ide tentang kepatuhan terhadap aturan tertentu. Dengan demikian penggunaan kata “Madinah” oleh Rasulullah untuk mengganti nama Yatsrib menjadi semacam deklarasi atau proklamasi bahwa di tempat baru itu akan diwujudkan suatu kehidupan masyarakat yang teratur. Suatu kehidupan sosial yang ditegakkan atas dasar kebaikan bersama dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakatnya. Dengan demikian, Madinah tidak sekedar berarti kota tetapi memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu kawasan tempat menetap dan bermasyarakat bagi mereka yang memiliki peradaban dan budaya (tamadun), yang mencakup negara (daulah) dan pemerintahan (hukumah).
Upaya Rasulullah untuk membangun masyarakat yang berperadaban itu benar-benar dapat dibuktikan melalui naskah Piagam Madinah yang merupakan konstitusi negara modern pertama di dunia. Konstitusi Amerika (1787 M) yang selama ini dipandang sebagai konstitusi pertama dunia sebetulnya jauh tertinggal dibanding Piagam Madinah yang telah ada pada tahun 623 M. Inilah sejarah politik Islam pertama yang dipelopori Rasulullah SAW. 
Menurut Abdul Wahab khalaf (1888-1956 M), seorang ahli fikih asal Mesir, prinsipprinsip yang diletakkan Islam dalam perumusan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat, persamaan kedudukan setiap orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama.
Pembahasan siyasah syar’iyah atau siyasah dusturiyah meliputi 4 bidang yaitu :
1.      Bidang siyasah tasyri’iyyah, termasuk di dalamnya persoalan ahlul halli wal aqdi, persoalan perwakilan rakyat, hubungan uslim dengan non mslim, persoalan undangundang dasar, undang-undang, peraturan pelaksanaan dan sebagainya.
2.      Bidang siyasah tanfidliyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah/ khalifah, bai’at, kementrerian, dan lain-lain.
3.      Bidang siyasah qadlaiyah, yaitu masalah peradilan dan kejaksaan.
4.      bidang siyasah idariyah, yaitu masalah administrasi dan kepegawaian.
5.      Sumber yang digunakan dalam siyasah dusturiyah adalah :
6.      al Qur’an, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat, dalil kully dan semangat ajaran al-Qur’an.
7.      al-Hadits, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan imamah, dankebijakankebijakan Rasulullah SAW dalam menerapkan hukum di Negeri Arab.
8.      Kebijakan-kebijakan Khulafaurrasyidin di dalam mengendalikan pemerintahan.
9.      Hasil ijtihad para ulama.
10.  adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam al-Qur’an maupun hadits, baik kebiasaan yang tertulis maupun yang tidak tertulis (konvensi).
Dengan demikian dalam penerapan siyasah dusturiyah ini bukan bentuk namun nilai-nilai yang menjiwai dalam bentuk tersebut tidak bertentangan dengan a-qur’an maupun hadits.
Konsep trias politica yang digagas oleh Montesquieu (1689-1755 M) tampaknya mirip dengan konsep Siyasah Sar’iyah yang dipraktikkan Rasulullah saat memimpin Madinah pada abad 6 masehi, jauh sebelum Montesquieu dan para pemikir barat lainnya merumuskan teori trias politica. Sebuah konsep bernegara yang banyak diterapkan di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, ini membagi kekuasaan menjadi tiga unsur yaitu lembaga kekuasaan eksekutif, lembaga kekuasaan legislatif, dan  lembaga yudikatif. Dalam konteks Indonesia, system ini kita kenal lembaga kekuasaan eksekutif yang dipimpin seorang Presiden, lembaga legislatif merupakan lembaga perwakilan rakyat bernama Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan lembaga yudikatif yang berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di tangan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial. 
Mohammad Arkoun, seorang pemikir Islam terdepan masakini, menyebut apa yang telah dilakukan Rasulullah di Madinah sebagai “Eksperimen Madinah”. Menurut Arkoun, eksperimen ini telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang dan kehidupan berkonstitusi. Bukti sejarah terpenting dari system sosial-politik eksperimen Madinah ini adalah dokumen bernama Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).

Khilafah

Pengertian Khilafah

Khilafah berasal dari bahasa arab khalafa, yakhlifu, khilafatan yang artinya menggantikan.  Dalam konteks sejarah Islam, khilafah adalah proses menggantikan kepemimpinan  Rasulullah SAW, dalam menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan dunia. Pada masa sekarang istilah khilafah sama artinya dengan suksesi yang juga berarti proses pergantian kepemimpinan.
Sedangkan menurut istilah khilafah berarti pemerintahan yang diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah bersifat umum, meliputi kepemimpinan yang mengurusi bidang keagamaan dan kenegaraan sebagai pengganti Rasulullah. Khilafah disebut juga dengan Imamah atau Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah disebut Khalifah, pemegang kekuasaan Imamah disebut Imam, dan pemegang kekuasaan Imarah disebut Amir.
Kalau dibahas lebih lanjut tentang istilah Khilafah, Imamah, dan Imarah terdapat berbagai versi dan sudut pandang. Istilah khilafah yang semula muncul pertama kali pada masa Abu Bakar sebetulnya lebih karena posisi beliau yang merupakan pengganti (khalifah) Rasulullah shingga masyarakat menyebutnya dengan panggilan “khalifah al-Rasul” yang berfungsi melanjutkan tugas Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik dan keagamaan, bukan sebagai Rasul. Pada masa Umar bin Khatab, gelar Khalifah malah digantinya denga Amir (Amir al-Mu’minin). Sedangkan pada masa pemerintahan Abbasiyah, gelar Khalifah tidak sekedar bermakna pengganti Rasul tetapi pengganti Allah di muka bumi (Khalifatullah fil ardh). Adalah Al-Manshur, khalifah Abbasiyah ke 2, yang mula-mula menyebut diri sebagai khalifatullah fil ardh ini. Sedangkan gelar Amir pada masa itu digunakan untuk jabatan seorang kepala daerah atau gubernur. Adapun gelar  Imam dalam system imamah lebih sering digunakan oleh kaum Syi’ah untuk menyebut jabatan seorang kepala negara. Sama artinya dengan gelar Khalifah yang sering digunakan oleh kaum Sunni. Perbedaannya, bagi kaum Syi’ah gelar Imam dan Imamah itu temasuk dalam prinsip ajaran agama. Seorang imam dipandang sebagai orang yang ma’sum (terjaga dari dosa).
Bagi kaum Sunni, seperti pendapat al-Mawardi dan Abdul Qadir Audah bahwa khilafah dan imamah secara umum memiliki arti yang sama yaitu system kepemimpinan Islam untuk menggantikan tugas-tugas Rasulullah SAW dalam menjaga agama serta mengatur urusan duniawi umat Islam. Allah berfirman dalam QS. An Nur: 55

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…”
Sejarah timbulnya istilah khilafah bermula sejak terpilihnya Abu Bakar as-Shidiq (573-634 M) sebagai pemimpin umat Islam yang menggantikan Nabi SAW setelah beliau wafat. Kemudian berturut-turut terpilih Umar bin khatab(581-644 M), Usman bin Affan (576-656 M) dan Ali bin Abi Thalib (603-661M).
Selanjutnya bersambung pada generasi Dinasti Umayyah di Damascus (41-133H/661750 M):14 khalifah, Dinasti Abbasiyah di Baqdad (132-656H/750-1258 M): 37 khalifah, Dinasti Umayyah di Spanyol (139-423H/756-1031 M):18 khalifah, Dinasti Fatimiyah di
Mesir(297-567H/909-1171 M):14 khalifah, Dinasti Turki Usmani (kerajaan Ottoman) di Istanbul(1300-1922 M):39 khalifah, Kerajaan Safawi di Persia(1501-1786 M):18 syah/ raja, Kerajaan Mogul di India (1526-1858 M):15 raja dan Dinasti-dinasti kecil lainnya.
Dinasti-dinasti di atas memakai gelar khalifah. Tetapi berbeda pelaksanaannya dengan khulafa ar-rasyidin. Jika khulafa ar-rasyidin dipilih secara musyawarah, maka dinasti-dinasti tersebut menerapkan tradisi pengangkatan raja secara turun temurun.
Sistem pemerintahan khilafah berakhir di Turki sejak Mustafa Kemal Ataturk (18811938 M). Beliau menghapus sistem pemerintahan ini pada tanggal 3 maret 1924. Umat Islam pernah berusaha menghidupkan kembali khilafah melalui muktamar khilafah di Cairo (1926 M) dan Kongres Khilafah di Mekkah (1928 M). Di India pun pernah timbul gerakan khilafah. Oganisasi-organisasi Islam di Indonesia pun pernah membentuk komite khilafah (1926 M) yang berpusat di Surabaya untuk tujuan yang sama.
Namun perjuangan umat Islam Indonesia tidak hanya melalui upaya mewujudkan khilafah secara legal formal. Melainkan ada hal yang lebih penting yaitu upaya menegakkan nilai-nilai luhur Islam di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Peristiwa penghapusan tujuh kata yang berbunyi …dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang semula tercantum pada pada alinea keempat  Piagam Jakarta ( kelak menjadi Mukaddimah UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945 bukanlah kekalahan umat Islam untuk menegakkan Khilafah. Tetapi itu justru menunjukkan kualitas sikap para pemimpin Islam seperti KH. Wahid Hasyim yang mampu mengutamakan kepentingan umum seluruh bangsa Indonesia daripada kelompok agamanya sendiri. Apalagi secara substantif, isi pembukaan UUD 1945 itu tidak berbeda dengan ketika masih bernama Piagam Jakarta. Pembukaan UUD 1945 sangat terbuka untuk dimaknai sesuai keyakinan kita sebagai umat Islam. Karena naskah ini memang lahir dari pemikiran para tokoh Muslim di samping tokoh-tokoh lainnya.

Tujuan Khilafah

Secara umum Khilafah mempunyai tujuan untuk memelihara agama Islam dan mengatur terselenggaranya urusan umat manusia agar tercapai kesejahteraan dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Allah SWT. Adapun tujuan khilafah secara spesifik adalah:
1.      Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.
2.      Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin dengan aparat yang bersih dan berwibawa
3.      Untuk menjaga stabilitas negara dan kehormatan agama.
4.      Untuk membentuk suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan berkeadilan, serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
Khilafah sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan  di dunia, tidak bisa dilepaskan dengan peran Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin yang memiliki misi besar untuk mengarahkan semua sisi kehidupan dengan berbagaipanduan yang sangat detil dan konprehensif. Bahkan konsep tauhid yang tampak sebagai urusan akidah, sebetulnya juga tidak bisa dilepaskan dengan politik. Konsep tauhid yang mengajarkan umat Islam untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah, sesungguhnya sekaligus mengajarkan tentang kesetaraan manusia. Dengan demikian Islam menolak secara tegas adanya perbudakan sesama manusia dengan berbagai macamnya. Oleh karena itu Rasulullah selalu mengakhiri setiap surat yang dikirim kepada Ahli Kitab ayat mulia dari surah Ali-Imran sebagai berikut :
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: «Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah». Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: «Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).» (QS. Ali-Imran:64)
    

Dasar-dasar Khilafah

Menurut Sulaiman Rasjid, apabila diperhatikan dengan seksama, dapat diketahui dengan jelas bahwa khilafah atau pemerintahan yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
         Kejujuran, keikhlasan, dan tanggung jawab.
Pemerintahan harus dijalankan dengan tulus demi tanggung jawab mengemban amanat rakyat dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan warna kulit. Hal ini dapat dilakukan karena seorang pemimpin berpedoman pada firman Allah yang di antaranya terdapat dalam surah Al-Hujurat, 13 sebagai berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat:13)
         Keadilan.
Firman Allah dalam surah An-Nahl, 90 :
Hendaknya keadilan ditegakkan terhadap seluruh rakyat dalam segala urusannya.
Allah berfirman :
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl:90)
Tauhid (mengesakan Allah)
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah, 163
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:163)
Tauhid merupakan sikap tunduk dan patuh secara total hanya kepada Allah. Tak ada sesuatupun yang layak dipatuhi selain Allah.  Konsekuensi dari sikap bertauhid ini akan membuat tiap-tiap orang, termasuk para pemimpin, merasa merdeka dan menghargai kemerdekaan orang lain, terhindar dari kesewenang-wenangan,  dan pada akhirnya dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang egaliter serta terhindar dari otoritarianisme.
     Kedaulatan rakyat.
Masalah kedaulatan rakyat ini dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada ulil amri (para wakil rakyat atau pemegang pemerintahan). Firman Allah  dalam surah An Nisa, 58-59 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُم
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa:59)
Sulaiman Rasjid dengan mngutip pendapat ahli tafsir Imama Muhammad Fakhruddin Razi mengatakan bahwa yang dimaksud Ulil Amri pada ayat tersebut adalah para ulama, ilmuwan, dan para pemimpin yang ditaati rakyat. Mereka inilah representasi dari kedaulatan rakyat.
Sedangkan untuk mengelola kedaulatan rakyat adalah melalui usaha menampung berbagai aspirasi mereka untuk kemudian dimusyawarahkan agar dapat dicapai kata mufakat demi kemaslahatan bersama. Perintah untuk melakukan musyawarah ini misalnya dapat dilihat pada  QS. Asy-Syura(42): 38 sebagai berikut :
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
 “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka….;” (QS. Asy-Syura:38)

Hukum Membentuk Khilafah

Berdasarkan pendapat yang diikuti mayoritas umat Islam (mu’tabar), hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah dengan beberapa alasan sebagai berikut :
         Ijma’ sahabat.
Ketika Rasulullah wafat, saat itu juga terdengar di kalangan para sahabat yang membicarakan masalah pengganti beliau. Bahkan pembicaraan itu sempat mengarah ke perselisihan di antara kaum Anshar dan Muhajirin.  Dalam suasana demikian maka disepakati untuk dilaksanakan musyawarah antara perwakilan dari kedua kaum tersebut. Sementara sebagian lainnya tetap mengurus jenazah Rasulullah. Adapun hasil musyawarah akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah/pengganti Rasulullah.
         Demi menyempurnakan kewajiban.
Khilafah harus didirikan demi menjamin kelancaran atau kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya dalam hal pemenuhan kewajiban sebagai umat beragama, menjaga keamanan dan ketertiban, menjamin kesejahteraan bersama, menegakkan keadilan, dan lain sebagainya. Semua urusan ini tidak bisa sepenuhnya dibebaskan untuk diurus oleh perseorangan tetapi perlu ada pihak yang berwenang mengelolanya. Sudah barang tentu hal ini  atas mandat dari rakyat.
         Memenuhi janji Allah.
Allah berjanji akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai penguasa di muka bumi. Setelah sebelumnya mereka mengalami ketakutan, kegelisahan, dan penderitaan akibat kezaliman. Tetapi mereka tetap berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Inilah yang memungkinkan terbukanya peluang untuk memenuhi janji Allah yang akan menjadikan kita sebagai penguasa di muka bumi. Mengemban amanat kekhilafahan atau pemerintahan demi kehidupan yang sejahtera, aman, sentausa dan tetap dalam ketundukan terhadap Allah semata.
Allah SWT. Berfirman dalam surah An-nur, 55 sebagai berikut :
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-nur : 55)

Hikmah Khilafah

Khilafah yang ditegakkan dengan tujuan yang jelas dan dasar-dasar yang berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan bersama pada akhirnya akan membuat masyarakatnya hidup tenang, nyaman, dan aman di satu pihak. Di pihak lain justru akan membuat Khilafah semakin kuat dan stabil karena adanya kepercayaan dari masyarakat luas.
Upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan disertai pemenuhan aspirasi rakyat dapat melahirkan kesadaran bersama untuk mencapai persatuan dan kesatuan dengan tetap menjaga keragaman, baik suku, agama, dan ras,  sebagai anugerah Allah.

Khalifah

Pengertian Khalifah

Khalifah berarti pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara dan pimpinan agama. Dalam sejarah kita mengenal para pengganti kepemimpinan Rasulullah pada masa periode awal yang terkenal dengan sebutan Khulafa’ al-Rasyidin (para pemimpin yang bijaksana). Mereka adalah Abu Bakar As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah para Khalifah generasi pertama setelah kepemimpinan Rasulullah SAW. yang menggantikan Nabi sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan agama tetapi tidak menggantikan Muhammad SAW sebagai nabi karena posisi kenabian tidak dapat diganti oleh siapapun dan Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir dari sekalian para Nabi.
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۦنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا
 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab:40)
   Jabatan khalifah berikutnya setelah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dipangku oleh para pemuka dari Bani Umayyah seperti khalifah Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Pada masa Abbasiyah diantaranya yang paling terkenal adalah pemerintahan di bawah kekhalifahan Harun Al Rasyid dan lain-lain.

Syarat-syarat Khalifah

Untuk menjadi khalifah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
         Berpengetahuan luas.
 Seorang khalifah harus memiliki pengetahuan luas dalam arti yang sebenarnya. Tidak cukup hanya memiliki latar belakang pendidikan akademik tinggi, karena ia akan melaksanakan atau menerapkan hukum Allah dan berbagai peraturan-Nya terhadap kaum Muslim dan Non Muslim atau terhadap masyarakat yang majmuk latar belakang sosial, budaya, dan agamanya.
         Adil dalam arti luas.
 Seorang khalifah mampu menjalankan segala kewajiban dan menjauhi larangan serta menjaga kehormatan dirinya. Khalifah juga wajib mengawasi segala hukum dan peraturan yang dijalankan oleh para wakil dan bawahannya
         Kompeten (Kifayah)
 Seorang khalifah harus memiliki kompetensi berupa tanggung jawab, teguh, kuat, dan cakap menjalankan pemerintahan, memajukan negara, dan agama. Sanggup menjaga keamanan semuanya dari ancaman musuh.
         Sehat jasmani-rohani.
 Seorang khalifah harus memiliki pancaindera dan anggota tubuh lainnya yang bebas dari gangguan yang bisa mengurangi kemampuan berpikir dan kekuatan jasmani atau tenaganya.
       
 Adapun sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa para imam itu dari bangsa Quraisy atau urusan khalifah itu adalah hak bangsa Quraisy ditafsirkan oleh para ulama sebagai hal yang masuk akal setelah memperhatikan karakter bangsa Quraisy yang  pemberani, kuat, teguh pendirian, rasa persatuan yang kuat, dan cakap menjalankan pemerintahan. Jadi yang dijadikan syarat oleh Rasulullah sebetulnya bukan semata-mata karena sukunya tetapi lebih kepada keutamaan sifat-sifatnya tersebut.  Demikian seperti yang dijelaskan Sulaiman Rasjid terkait syarat kompetensi bagi seorang khalifah, dari buku sejarah Itmamul-Wafa karangan Muhammad Al-Hudari dan dari kitab Mukaddimah karya Ibnu Khaldun.
Sedangkan terkait syarat harus berpengetahuan luas dan kesehatan dapat dilihat dalam firman Allah sebagai berikut :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ٱللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوٓا۟ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ ٱلْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِٱلْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ ٱلْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُۥ بَسْطَةً فِى ٱلْعِلْمِ وَٱلْجِسْمِ ۖ وَٱللَّهُ يُؤْتِى مُلْكَهُۥ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ


 “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:247)   

Cara Pengangkatan Khalifah

Berdasarkan catatan sejarah Khulafah al-Rasyidin, terdapat beberapa contoh pengangkatan khalifah yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
         Dipilih langsung oleh umat Islam,
     Misalnya pada saat pemilihan khalifah pertama, yakni khalifah Abu Bakar Shidiq di balai sidang Bani Sa’idah. Pertemuan itu mula-mula diadakan oleh kaum Anshar, baru kemudian dihadiri tiga tokoh utama yang mewakili kaum Muhajirin yaitu Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khatab, dan Abu Ubaidah.
         Diusulkan oleh khalifah yang sedang menjabat,
 Misalnya pengangkatan khalifah kedua, yakni khalifah Umar bin Khatab yang diusulkan oleh Abu Bakar Shidiq. Meskipun sebenarnya Abu Bakar telah sering bermusyawarah dengan para sahabat lainnya mengenai langkahnya itu. Di antaranya dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Thulhah bin Ubaidillah, Selanjutnya atas usul Thulhah, Abu Bakar mengundang orang banyak untuk dimintai pendapatnya dan ternyata mereka menjawab dengan serentak, “Sami’na wa atha’na” (kami dengar dan kami patuhi) yang maksudnya sebagai pernyataan dukungan terhadap langkah yang dilakukan Abu Bakar.
         Dipilih melalui perwakilan (Ahlul Halli Wai ‘aqdi).
 Misalnya pemilihan khalifah Usman bin Affan dari antara enam orang yang sebelumnya dipersilahkan Umar bin Khatab untuk membicarakan masalah pmilihan calon penggantinya. Enam orang tersebut adalah : Ali Bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, dan Thulhah bin Ubaidillah. Di antara enam tokoh ini akhirnya tersisa dua yaitu Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan karena yang lainnya mengundurkan diri. Selanjutnya mereka menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk memimpin jalannya pemilihan dan memberinya tempo guna melakukan pertimbangan sebaik-baiknya. Saat inilah Abdurrahman bin Auf meminta lagi pendapat kepada lebih banyak tokoh dan penduduk Madinah.  Pada akhirnya pilihan jatuh terhadap Utsman bin Affan.
         Dipilih oleh perwakilan sebagian besar umat Islam,
 Misalnya terjadi pada saat pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan oleh penduduk ibukota Madinah, didukung oleh tiga pasukan dari Mesir, Basrah, dan Kufah.  Tetapi di tengah perjalanan, sebagian pasukan dari mesir tidak jadi melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Sedangkan pasukan Basrah dan Kufah tetap terus melaju ke tempat pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Dalam pasukan Basrah dan Kufah terdapat kalangan sahabat Nabi, baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar.  Mereka turut mengangkat baiat terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib meskipun acara baiat yang dilakukan penduduk Madinah telah selesai.
Keempat sifat pemilihan dan pengangkatan khalifah itu menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai aspirasi dan kehendak rakyat. Berbagai ragam aspirasi rakyat harus dipertimbangan dengan matang melalui jalan musyawarah untuk menemukan mufakat agar keputusan yang diambil relatif dapat memuaskan semua pihak.
Di Indonesia sifat pengangkatan pemimpin (presiden) pernah dilakukan dalam 2 bentuk yaitu:
         Pemilihan tidak langsung; yakni pemilihan melalui perwakilan Ahlul Halli Wal’aqdi (DPR/MPR) yang berhak menentukan dan memutuskan segala hal yang menyangkut kehidupan rakyat, termasuk umat Islam.
         Pemilihan secara langsung; yakni suatu pemilihan yang dilakukan langsung oleh seluruh rakyat. Setiap warga negara dan warga masyarakat berhak memilih langsung dan memberikan dukungannya sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Pemilihan langsung ini pertama kali dilakukan pada tahun 2004 setelah berpuluh-puluh tahun lamanya dilakukan melalui lembaga perwakilan sejak 18 Agustus 1945. Yakni pemilihan Soekarno menjadi Presiden pertama Indonesia melalui musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
         Kedua bentuk pemilihan tersebut relatif bersesuaian dengan bentuk pemilihan khalifah seperti contoh dalam sejarah pemilihan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Setidaknya dari segi sifatnya yang langsung dan tak langsung 

Sigah Mubaya’ah (kalimat baiat atau pengangkatan Khalifah)

Setelah terpilih seorang pemimpin, baik melalui pemilihan langsung maupun tak langsung atau melalui lembaga perwakilan, selanjutnya ia dilantik atau dibaiat dengan misalnya mengucapkan kalimat sebagai berikut : “Kami angkat engkau menjadi khalifah untuk menjalankan agama Allah dan Rasul-Nya, dan kami akan taat kepada perintahmu selama engkau menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya”
Kalau mengutip kalimat baiat atau sumpah janji yang biasa diucapkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah sebagai berikut :
         Sumpah Presiden :  “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
         Janji Presiden : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Setelah khalifah terpilih diambil sumpahnya, selanjutnya ia dipersilahkan menyampaikan pidato perdananya seperti yang dilakukan khalifah Abu Bakar Shidiq sebagai berikut :
Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pemimpin atas kalian padahal aku bukanlah yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku. Jika aku bertindak keliru, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementar dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku, hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya insya Allah. Sebaliknya barang siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka kahinaan. Tidaklah suatu kekejian tersebar di suatu kaum kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika aku tidak mematuhi keduanya maka kalian tidak ada kewajiban taat terhadapku
Pidato jabatan khalifah itu sangat singkat. Tetapi mencerminkan dasar-dasar yang sangat baru dalam sejarah kepemimpinan suatu bangsa. Ketika pada saat itu para kaisar imperium Romawi dan Persia saling beradu kekuasaan dan wewenang yang absolut, maka khalifah Abu Bakar justru menampilkan karakteristik kepemimpinannya yang egaliter. Sekaligus ini merupakan bukti kontinyuitas pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Berangkat dari sikap seperti itulah sayogyanya seorang khalifah memulai menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama dan pemimpin bangsa dan negara. Sehingga dengan demikian kepemimpinannya layak untuk diikuti rakyat.

Kewajiban dan Hak Rakyat

Kewajiban Rakyat

Setelah rakyat memilih dan mengambil sumpah khalifah, maka rakyat mempunyai kewajiban, di antaranya sebagai berikut:
Patuh dan taat kepada perintah khalifah, sepanjang khalifah tersebut berpegang teguh kepada hukum- hukum Allah SWT. dan Rasul-Nya, QS. An-Nisa: 59.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Mencintai tanah air dan mempertahankannya dari ancaman dan gangguan musuh, dengan segala kekuatan dan potensi yang ada, QS. Al-Baqarah(2): 193.
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَلَا عُدْوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Memelihara persatuan dan kesatuan, QS. Ali ‹Imran(3): 103.

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Hak Rakyat

Islam melindungi menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu, baik yang menyangkut kebutuhan immaterial maupun material dan hak yang menyangkut keselamatan dan kesehatan jasmani, harta benda maupun kehormatannya. Siapa saja yang memberi hak-hak hidupan seorang saja dinilai seakan-akan telah melakukan perbaikan hidup seluruh umat manusia, demikianlah makna dari QS.Al Maidah(5); 32.
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
 “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi” (QS. Al-Ma’idah:32)
Islam juga melarang untuk melakukan prasangka buruk QS. Al Hujurat(49); 12
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
 “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Hujurat:12).
Demikianlah Al-Qur’an telah menggariskan panduan etik yang sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan hak-haknya. Hak hidup merupakan hak paling mendasar yang wajib dijaga. Apabila ini tak mampu dilakukan terhadap satu orang saja, ibarat telah mengabaikan hak hidup seluruh manusia. Bahkan perbuatan menggunjing digambarkan sebagai kekejian luar biasa yang melebihi pembunuhan fiisik seseorang. Sebab menggunjing justru dapat mengakibatkan matinya eksistensi seseorang atau dengan kata lain, menggunjing  sebetulnya merupakan pembunuhan karakter yang implikasinya bisa menyasar ke berbagai hak lain dari seseorang yang meliputi :
1.      Hak kemerdekaan pribadinya.
2.      Hak kemerdekaan bertempat tinggal.
3.      Hak kemerdekaan memiliki harta benda.
4.      Hak kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
5.      Hak kemerdekaan beragama.
6.      Hak kemerdekaan belajar atau memperoleh pendidikan
7.      Hak hidup dan jaminan keamanan.

Majlis Syura dalam Islam

Hal terpenting terkait majlis syura ini adalah pelaksanaan musyawarah seperti yang diperintah Allah melalui firmannya sebagai berikut :
وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
...dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran:159)

Pengertian Majlis Syuro

Majlis Syura menurut bahasa artinya tempat musyawarah, sedangkan menurut istilah ialah lembaga permusyawaratan rakyat. Atau dengan pengertian lembaga permusyawaratan atau badan yang ditugasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui musyawarah. Dengan demikian majlis syura ialah suatu lembaga negara yang bertugas memusyawarahkan kepentingan rakyat. Di negara kita dikenal  dengan lembaga Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada masa Rasulullah, belum ada lembaga perwakilan seperti yang ada di negaranegara sekarang. Tetapi praktiknya telah beliau kerjakan. Saat itu musyawarah dilakukan di mesjid atau di tempat lain yang mereka kehendaki, Berbeda dengan zaman sekarang, manusia semakin banyak jumlahnya, memiliki keinginan politik yang beragam, sehingga memerlukan suatu lembaga resmi, tempat yang resmi dan tata tertib musyawarah atau sidang yang detil agar dapat memenuhi tuntutan zaman yang semakin kompleks.

Pengertian Ahlul Halli Wal ‘Aqdi

Secara Bahasa, ahlul halli wal aqdi artinya orang yang berhak melepaskan (halli) dan mengikat (aqdi). Dikatakan “melepaskan” karena merekalah yang menentukan untuk melepaskan atau tidak memilih orang-orang yang tidak disepakati. Dikatakan “mengikat” karena kesepakatan mereka bisa mengikat orang-orang yang memenuhi syarat dipilih untuk menduduki jabatan tertentu.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikatakan Al-Mawardi,  arti ahlul halli wal aqdi adalah sekelompok orang yang melakukan musyawarah untuk memutuskan masalah yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Dengan demikian,  ahlul halli wal aqdi dapat dikatakan sebagai wakil masyarakat yang bertugas untuk mencari solusi atas berbagai persoalan mereka demi kemaslahatan hidupnya.  Mengingat akan tugas yang demikian, maka kelompok ini setidaknya terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di masyarakat, terutama karena pengetahuannya yang mendalam dan kepeduliannya yang besar terhadap kepentingan masyarakat.
Ahlul Halli Wal’aqdi ialah anggota Majlis Syura sebagai wakil rakyat. Ahlul Halli Wal’aqdi di negara kita adalah para anggota legislatif. Baik di tingkat pusat di DPR/MPR maupun di tingkat daerah yaitu DPRD.  Meskipun ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa antara anggota legislatif dengan ahlul halli wal aqdi ini tidak sepenuhnya sama. Para ulama diantaranya Imam Fahruddin Ar Razi menyatakan bahwa anggota Ahlul Halli Wal’aqdi adalah para alim ulama dan kaum cendikiawan yang dipilih langsung oleh mereka. Dengan demikian, Ahlul Halli Wal’aqdi harus mencakup dua aspek penting, yaitu: mereka harus terdiri dari para ilmuwan dan alim ulama serta mendapat kepercayaan dari rakyat.

Syarat-syarat menjadi Anggota Majlis  Syura

   Anggota Majlis Syura merupakan orang-orang yang memiliki hak untuk mengangkat khalifah atas mandat dari rakyat. Al-Mawardi menyebut mereka sebagai ahlul-ikhtiyar (orang yang mempunyai keahlian melakukan daya-upaya). Oleh sebab itu, untuk dapat menjadi anggota Majlis Syura haruslah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya
 Memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang berhak menjadi khalifah dan persyaratan-persyaratannya, serta untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.
 Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan ia mampu memilih khalifah yang paling maslahat, mampu, dan tahu tentang kebijakan-kabijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.

Hak dan Kewajiban Anggota Majlis Syura

Anggota Majlis Syura, sebagaimana layaknya seorang wakil rakyat memiliki hak dan kewajiban. Menurut Djazuli berdasarkan kajiannya atas berbagai pendapat ulama, di antaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha dan Abul A’la Al-Maududi,     adalah sebagai berikut:
1.      Hak-hak anggota majlis syura :
2.      Memilih dan membaiat khalifah terpilih
3.      Mengarahkan kehidupan masyarakat pada kemaslahatan
4.      Membuat undang-undang dalam berbagai hal yang tidak diatur secara tegas dalam Alquran dan hadis
5.      Memberi pertimbangan kepada khalifah dalam menentukan kebijakannya
6.      Mengawasi jalannya pemerintahan
7.      Kewajiban anggota majlis syura :
8.      Memberikan kekuasaan kepada khalifah
9.      Mempertahankan negara dan undang-undang sesuai syariat Islam
10.  Melaksanakan syariat Islam (sesuai Alquran, hadis, ijma’, qiyas, dan lain-lain)
11.  Mengatur dan menertibkan kehidupan masyarakat
12.  Menegakkan keadilan

Syarat Pengangkatan Pemimpin oleh majlis Syura

Masalah kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah yang  harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Rasulullah bersabda bahwa pada hakikatnya setiap individu adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Maka tugas membangun pemerintahan yang baik bukan hanya dilakukan penguasa, tetapi rakyat juga ikut menentukan arah pemerintahan tersebut.
Menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam persoalan pengangkatan pemimpin adalah firman Allah sebagai berikut:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa:58)
Berdasarkan ayat tersebut, ada 5 syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai berikut :
           Pemberian jabatan (amanah) kepada orang terbaik (ahlinya)
Memilih seorang pemimpin harus diperhatikan apakah dia  dapat dipercaya dan memahami akan tugas dan fungsinya. Jika memilih seseorang disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan saudara, kesamaan golongan, dan kepentingan  politis seperti bagi-bagi “kue kekuasaan”,  suap, hubungan kesukuan dan lain sebagainya, maka hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Allah, Rasulullah, dan masyarakat luas.
           Membangun hukum yang adil
Berlaku adil merupakan perintah Allah, keadilan mencakup semua aspek kehidupan baik sosial, politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Keadilan harus ditegakkan di dalam setiap aspek kehidupan, dari mulai penegakan hukum, pembagian harta seperti ghanimah, zakat, fa’i dan kekayaan negara lainnya yang harus di salurkan dengan tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu Allah SWT memberikan balasan yang cukup besar bagi pemimpin yang adil, Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari kiamat nanti dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya dan salah satu golongan dari ketujuh golongan itu adalah pemimpin yang adil.
           Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat (legitimasi)
Keberhasilan suatu kepemimpinan bukan hanya tugas para penguasa, masyarakat pun ikut berperan aktif dalam mewujudkan hal tersebut. Islam sangat menyadari seorang pemimpin tidak akan mampu melakukan apapun tanpa adanya dukungan dari masyarakatnya.  Oleh karena itu dalam Islam masyarakat harus memberikan ketaatan dan kepercayaannya kepada pemerintah sehingga menghadirkan pemerintahan yang legitimate. Allah berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa:59)
Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang merepresentasikan kedaulatan rakyat. Mandat kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh rakyat. Kedaulatan hakiki memang milik Tuhan namun dalam konteks kehidupannya, manusia telah diberi hak oleh Allah sebagai khalifah di muka bumiyang dapat ditemukan tautannya dengan Allah dan Rasul-Nya sehingga layak untuk Tentu saja kekhalifahan yang dimaksud adalah kekhalifahan ditaati, sebagaimana tercermin dalam bunyi ayat 59 surah An-Nisa’ di atas.
         Ketaatan tidak boleh dalam kemaksiatan
Terkadang ada polemik di masyarakat tentang apakah masih ada kewajiban untuk mematuhi pemimpin yang mendurhakai Allah atau tidak. Pemimpin yang telah dipilih dan menurut Undang-undang dinilai telah memenuhi syarat kepemimpinan untuk melaksanakan amanat rakyat. Apabila pemimpin melakukan penyimpangan dan tidak mengindahkan nasihat dan peringatan serta tetap melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka tidak boleh menyetujui perbuatannya, apalagi mentaatinya. Namun sebagai warga negara, tetap harus mengakui eksistensi pemerintahannya.
         Konstitusi yang berlandaskan alquran dan as-sunah
Salah satu cara untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan baik menurut alQur’an adalah mengembalikan segala urusan berdasarkan Alquran dan Hadis. Allah berfirman :  
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ” (QS. An-Nisa’:59)
Artinya al-Qur’an dan sunnah harus menjadi rujukan utama dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi didalam negara, di samping berbagai rujukan lainnya yang secara substantif tidak bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Menurut pendapat Ibnu Thaimiyyah, tugas utama negara ada dua, Pertama, menegakkan syariat, dan kedua, menciptakan sarana untuk menggapai tujuan tersebut.
Negara harus menjadi sarana yang baik bagi  makhluk Allah SWT untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya dimuka bumi. Ada beberapa alasan penting yang membuat negara dan pemerintahan memiliki kedudukan yang penting dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Yaitu:
1.      Al-Qur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanannya membutuhkan   institusi negara dan pemerintahan.
2.      Al-Quran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek akidah, syariah, dan akhlak yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum muslimin. Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip tersebut tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara.
3.      Adanya ucapan dan perbuatan nabi yang dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan pemerintahan. Nabi mengangkat gubernur, hakim, panglima perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan pajak (fiskal), mengatur pembelanjaan dan keuangan negara (moneter), menegakkan hudud, mengirim duta, dan melakukan perjanjian dengan negara lain.
Selain itu, hal ikhwal kepemimpinan (khilafah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan para ahli fikih di dalam kitab-kitab mereka sepanjang sejarah. Fakta tesebut menunjukkan bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama karena agama merupakan fitrah.  Oleh karena itu nilai-nilai dan tujuan agama (Islam) harus diterapkan dalam setiap kebijakan negara termasuk penerapan konstitusi. Sebagai negara beragama, Indonesia memiliki konstitusi (UUD 1945) yang dijiwai oleh nilai-nilai agama, termasuk Islam.

Sikap Pemerintahan Islam Terhadap Non Muslim

Non Muslim yang menjadi warga negara pemerintahan Islam akan mendapatkan perlakuan sama dengan kaum Muslim.   Hak mereka sebagai warga negara dijamin penuh oleh negara Islam.  Namun, mereka juga harus menunaikan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh konstitusi dan undang-undang negara. Adapun sikap pemerintahan Islam terhadap non Muslim dapat dijelaskan melalui empat kategori sebagai berikut :
         Dzimmi
 Non Muslim (kafir) dzimmi adalah kelompok yang mendapat jaminan Allah dalam hak dan hukum negara. Kelompok ini mendapat perlakuan hukum dan hak yang sama dengan kaum Muslim. Baik hak politik, sosial, ekonomi, ketentaraan, pendidikan, bebas melaksanakan ibadah sesuai ajaran agamanya, dan hak-hak lain sebagaimana layaknya warga negara.
         Musta’man
 Non Muslim Musta’man adalah kelompok agama lain yang meminta perlindungan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan hartanya. Terhadap kelompok ini tidak diberlakukan hak dan hokum negara. Adapun diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala macam bentuk ancaman selama mereka masih dalam perlindungan pemerintahan Islam.
         Mu’ahadah
 Non Muslim Mu’ahadah adalah kelompok agama lain yang melakukan perjanjian damai dan menjalin hubungan persahabatan antar negara. Baik disertai dengan perjanjian akan bantu-membantu, saling membela, ataupun tidak.
         Harbi
 Non Muslim Harbi adalah kelompok agama lain yang bersikap memusuhi, mengganggu keamanan dan ketenteraman, bersikap zalim, suka menghasut atau melakukan provokasi, membuat fitnah dan kekacauan,  tidak mengamalkan agamanya,  Terhadap kelompok ini pemerintah dibenarkan untuk melawan, mengambil tindakan tegas dan memeranginya. Hal ini dilakukan demi mencegah dan menghentikan sikap mereka yang bersifat destruktif.






RANGKUMAN

Khilafah berarti struktur pemerintah yang pelaksanaannya diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah juga dapat disebut dengan Imamah atau Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah disebut Khalifah, pemegang kekuasaan Imamah disebut Imam, dan pemegang kekuasaan Imarah disebut Amir.  Sejarah khilafah dimulai dari khalifah Abu Bakar Assidiq. Dasar-dasar khilafah ada 4 yaitu 1. dasar kejujuran, keikhlasan, tanggungjawa, 2. Dasar keadilan, 3. Dasar tauhid, 4. Dasar kedaulatan rakyat. Dalam penerapan kehalifahan maka dibentuk Majlis Syura menurut bahasa artinya tempat musyawarah, sedangkan menurut istilah ialah lembaga permusyawaratan rakyat dalam Majlis syuro ada Ahlul Halli Wal’aqdi harus mencakup tiga aspek penting, yaitu; mereka harus terdiri dari para ilmuwan, alim ulama, dan mendapat kepercayaan dari rakyat. Khalifah dapat dipilih rakyat secara langsung dan tidak langsung. Kekhalifahan Islam melindungi seluruh warga negaranya tanpa kecuali, termasuk Non Muslim. Kecuali mereka, siapapun saja,  yang destruktif tidak akan mendapat perlindungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH