Kamis, 06 Agustus 2020

SUMBER HUKUM ISLAM

BAB II

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTTAFĂQ (DISEPAKATI) DAN

MUKHTĂLĂF (TIDAK DISEPAKATI)

 

Kompetensi Inti (KI)

 

1.    Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

2.    Menunjukkan prilaku jujur, disiplin, bertanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

3.    Memahami, menerapkan, dan menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

4.    Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
BUKU FIKIH KELAS XII MA PEMINATAN IPA, IPS, BAHASA, DAN KEJURUAN

Kompetensi Dasar (KD)

1.2. Menghayati akan kebenaran sumber hukum Islam

2.2. Mengamalkan sikap teguh pendirian dan tanggungjawab sebagai implementasi tentang sumber hukum yang muttafaq (disepakati) serta sikap toleran dan saling menghargai sebagai implementasi dari pemahaman mengenai sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)

3.2. Menganalisis sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan mukhtalaf (tidak disepakati) 4.2. Menyajikan hasil analisis berupa peta konsep tentang hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan mukhtalaf (tidak disepakati)

 

Indikator Pencapaian Kompetensi

Peser Peserta didik mampu :

1.2.1 Menerima akan kebenaran sumber hukum Islam

1.2.2 Meyakini akan kebenaran sumber hukum Islam

2.2.1 Menjalankan sikap teguh pendirian dan tanggungjawab sebagai implementasi tentang sumber hukum yang muttafaq (disepakati)

2.2.2 Menjalankan sikap toleransi dan saling menghargai sebagai implementasi dari pemahaman mengenai sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)

3.2.1 Membedakan sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati)dengan sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)

3.2.2 Mengorganisir sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)

4.2.1 Menemukan makna tersirat tentang sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)

4.2.2 Mendiskusikan hasil analisis berupa peta konsep tentang hokum Islam yang muttafaq (disepakati) dan mukhtalaf (tidak disepakati)

 

Peta Konsep

 



Prawacana
UKU FIKIH KELAS XII MA PEMINATAN IPA, IPS, BAHASA, DAN KEJURUAN MA
Agama yang diridloi Allah Swt. adalah agama Islam, al-Qur’an sebagai pedoman hidup atau sumber hukum umat Islam pertama dan utama. Namun, al-Qur’an bersifat global dan membutuhkan penjelas yaitu al-Hadis. Oleh sebab itu kita sebagai umat Islam yang hidup pada masa sekarang diwajibkan untuk belajar mengupas isi kandungan al-Qur’an melalui para ulama dengan tujuan agar selamat dan bahagia dunia akhirat. Isi kandungan al-Qur’an berisi segala aspek hidup dan kehidupan manusia mulai dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai hari akhir nanti. Selain al-Qur’an ada sumber hukum lain yang telah disepakati oleh ulama yaitu al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

Mengingat al-Qur’an itu bersifat global, maka untuk memahami hukum Islam umat Islam membutuhkan sumber hukum yang lain, dengan syarat tidak bertentangan dengan al-Qur’ân dan al-H}adis. Sumber hukum Islam tersebut lebih dikenal dengan istilah sumber hukum Islam yang mukhtalaf ( yang tidak disepakati ) oleh ulama yaitu dapat berupa: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Sadzudz Dzari’ah, Syar’u Man Qablana, ‘Urf, atau Mazhab Shahabi. Untuk lebih jelasnya, maka marilah kita pelajari bab II berikut ini tentang sumber hukum Islam yang muttafâq dan mukhtâlâf

 

 

A.    Menganalisis Sumber Hukum Islam yang Muttafâq (Disepakati)

1.      Al-Qur’ân

a.      Pengertian al-Qur’an

Al-Qur’an menurut bahasa dari kata artinya bacaan atau yang dibaca. Sedangkan secara istilah para ulama ushul fikih mengemukakan beberapa definisi sebagai berikut:

Safi Hasan Abu Talib menyebutkan :

Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya dari Allah Swt. melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, ia merupakan dasar dan sumber hukum utama bagi syari’at.

Dalam hubungan ini Allah Swt. sendiri menegaskan dalam al-Qur’an :

 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al- Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf [12]:2)

Zakariyah al-Birri menyatakan bahwa yang disebutkan al-Qur’an adalah :

Al-Kitab yang disebut al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Rasulnya Muhammad Saw, dengan lafadz bahasa Arab, dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf.

Menurut al-Ghazali yang disebutkan dengan al-Qur’an adalah :

Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt.

Dari ketiga definisi pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun perbedaannya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an itu dinukil secara mutawatir.

Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh al-Ghazali hanya menyebutkan
bahwa al-Qur’an itu merupakan firman Allah Swt. Akan tetapi, al-Ghazali dalam uraiannya lebih lanjut menyebutkan bahwa al-Qur’an itu bukan perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagi orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah Swt.

Sebetulnya, masih terdapat sejumlah definisi lainnya yang dirumuskan oleh ulama ushul, tetapi kelihatanya mengandung maksud yang sama, meskipun secara redaksional berbeda. Dalam kaitannya, dengan sumber dalil. Al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya, di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebutkan al-Qur’an dengan al-Kitab.

Hal ini tentu, dapat dipahami bahwa di dalam al-Qur’an sendiri memang juga sering menggunakan kata al-Kitab untuk menyebut al-Qur’an, yaitu dalam alQur’an Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS.Al-Baqarah [2]:2)

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sekarang ini. Penukilan secara mutawatir ini dimana al-Qur’an begitu disampaikan kepada para sahabat, maka para sahabat langsung menghafal dan menyampaikannya pula kepada orang banyak, dalam penyampaiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan kebohongan. Dengan demikian, kebenaran dan keabsahan al-Qur’an terjamin dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah.

1)    Pokok isi kandungan al-Qur’an

Isi kandungan al-Qur’an meliputi :

(a)  Tauhid

(b)  Ibadah

(c)  Janji dan ancaman

(d)  Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat

(e)  Riwayat dan cerita (qishah umat terdahulu).

2)    Dasar kehujjahan al-Qur’an dan kedudukan sebagai sumber hukum Islam.

Sebagaimana kita ketahui al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib di amalkan semua perintahnya dan wajib ditinggalkan segala larangan-nya sebagaimana firman Allah Swt. :

 

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat .
(QS. An-Nisa’ [4]:105)

 

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS.Al-Maidah [5]:49)

Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam dan menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum Islam yang lain, ia merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum dan ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi al-Qur’an.

3)    Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hokum

Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidak kemampuan. Untuk itu al-Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu :

(a)  Tidak memberatkan

firman Allah Swt.:

 

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

(QS. Al-Baqarah [2]:286)

 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]:185 )

Contoh : Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) diantaranya sholat wajib.

(b)  Meminimalisir beban

Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar ini kita mendapat rukhsah (keringanan ) dalam beberapa jenis ibadah, seperti menjama’ dan mengqashar sholat apabila dalam perjalanan dengan syarat yang telah ditentukan.

(c)  Berangsur angsur dalam menetapkan hokum

Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap , hal ini bisa kita telusuri dalam hukum haramnya minum minuman keras, berjudi, serta perbuatan perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam al-Qur’an.

Firman Allah Swt. :

 

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS. Al-Baqarah [2]:219)

Dilanjutkan dengan firman Allah Swt. :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
(QS. AnNisa’[4]:43)

Selanjutnya turun ayat bahwa khomr itu diharamkan, firman Allah Swt. :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
. (QS. Al-Maidah [5]:90)

2.      Al-Hadis

a.      Pengertian al-Hadis

Hadis menurut bahasa mempunyai beberapa pengertian, yaitu baru  جديد dekat ,قريب dan berita خبر

Adapun pengertian al-Hadis menurut istilah ahli Hadis adalah :

Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perkatan, perbuatan, ketetapan (taqrir) dan sebagainya.

b.      Macam-macam hadis ada tiga yaitu:

1)      Hadis qauliyah (perkataan)

Yaitu hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi Saw. dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan Nabi Muhammad Saw. contohnya:

Bahwasannya sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan seorang hanya memperoleh dari apa yang dia niatkan (HR. Bukhari Muslim)

 

 

 

2)      Hadis fi’liyah (perbuatan)

Yaitu hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain. Contohnya:

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari Muslim)

3)      Hadis taqririyah (ketetapan)

Yaitu perbuatan dan ucapan para sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi Saw, tetapi beliau mendiamkan dan tidak menolaknya. Sikap diam Muhammad Nabi Saw. tersebut dipandang sebagai persetujuan. Contohnya:

berhubung binatang tersebut tidak terdapat di daerah kaumku, aku merasa jijik kepadanya. Khalid berkata: kemudian aku memotongnya dan memakannya sementara Rasulullah Saw. cuma memandang kepadaku (HR. Bukhari Muslim)

c.       Dasar kehujjahan al-Hadis dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam

1)    Dalil al-Qur’an

Banyak kita jumpai ayat al qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk di jadikan pedoman hidup sehari hari . Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah :

Firman Allah Swt:

 

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali-Imran (3):179)

Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ [4] : 136)

Ayat-ayat diatas Allah Swt. menyuruh kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah Swt, Rasul-Nya (Muhammad Saw.), al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian Allah Swt. Mengancam orang orang yang mengingkari dan menentang seruan-Nya .

Disamping itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin agar mentaati dan melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang di bawah oleh Rasulullah , baik berupa perintah, maupun larangan . Tuntunan taat dan patuh kepada rasulnya sama halnya tuntunan taat dan patuh kepada Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang berkenaan masalah ini. Firman Allah Swt.:

 

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ

Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (QS. Ali-Imran [3]:3)

Dalam firman Allah Swt. yang lain :

 

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia”. (QS. Ali Imran [3]:59)

Kemudian dalam ayat lain Allah juga berfirman :

 

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr [59]:7)

 

Berikut firman Allah Swt. :

 

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ

Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. Al-Maidah [5]:92)

Kemudian firman Allah Swt.:

 

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah sematamata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (QS. An-Nur [24] : 54)

Dari ayat-ayat al-Qur’an diatas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah Swt. dalam al-Qur’an selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah Swt. dan sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Nabi Muhammad Saw.

2)    Dalil al-Hadis

Mari kita pahami dalam salah satu pesan Rasulullah Saw. Berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping al-Qur’an

Aku tinggalkan dua pusaka untukmu kalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegang pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul
-Nya. ( HR. Malik )

Saat Rasulullah ingin mengutus Mu’adz Bin Jabal untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah Saw. :

(Rasul bertanya) bagaimana kamu kan menetapkan hukum apabila dihadapkan padamu sesutu yang memerlukan penetapan hukum ? Mu’adz menjawab : “ saya akan menetapkannya dengan kitab Allah “ lalu Rasul bertanya : “ seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah , Muadz menjawab; “ dengan sunnah Rasulullah” Rasul bertanya lagi, “ seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam sunnah Rasul ?” Mu’adz menjawab; “ saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu’adz seraya mengatakan :“ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki “( HR.Abu Daud dan Al-Tirtimidzi )

Hadis-hadis diatas menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Qur’an

d.      Fungsi al-Hadis terhadap al-Qur’an adalah:

Dalam al-Qur’an masih banyak ayat bersifat umum dan global yang memerlukan penjelasan. Dari penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah Saw. yang berupa al-Hadis. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan al- Qur’an yang tidak bisa dilaksanakan. Maka dari itu al-Hadis memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur’an antara lain:

1)    Bayanut taqrir

Menetapkan dan menguatkan atau menggarisbawahi suatu hukum yang ada dalam al-Qur’an, sehingga hukum hukum itu mempunyai dua sumber, yaitu ayat yang menetapkannya dan hadis yang menguatkannya.

Contoh: hadits tentang penetapan bulan dengan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Hadits tersebut menguatkan redaksi QS. Al Baqaroh ayat 185 :

Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah, apabila melihat bulan berbukalah. (HR. Muslim)

2)    Bayanut tafsir

Menjelaskan atau memberi keterangan menafsirkan dan merinci redaksi al-Qur’an yang bersifat global (umum).

Contoh Hadis yang menafsirkan QS. Al-Qadr ayat 1ُ- 5 sebagai berikut: (malam) lailatul qodr berada pada malam ganjil pada sepuluh akhir bulan Ramadhan.ُُ (HR. Bukhori)

3)    Bayanut tasyri’

Menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Contoh pada masalah zakat, al-Qur’an tidak secara jelas menyebutkan berapa yang harus dikeluarkan seorang muslim dalam mengeluarkan zakat fitrah. Nabi Muhammad Saw. menetapkan dalam Hadis:

Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada bulan Ramadhan 1 sho’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau perempuan muslim (HR. Bukhari Muslim.

 

 

TUGAS SISWA

PERTEMUAN I

BAB II

 

1.    1. Pada bulan suci Ramaḍan, hampir di seluruh masjid dan muṡalla terdengar suara lantunan al-Qur’an, tidak terkecuali di rumah-rumah orang Islam. Sungguh pengalaman yang sangat menakjubkan. Akan tetapi, setelah selesai Ramadhan, selesai pula tradisi tersebut. Mengapa, ya? Padahal Rasulullah saw. menegaskan bahwa: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al-Qur’ᾱn dan mengamalkannya.”

2.  2. Perlu disadari, bahwa membaca dan mempelajari al-Qur’ᾱn akan meminimalisir kegelisahan batin, bahkan gangguan jiwa yang erat kaitannya dengan penyakit jasmani. Memperbanyak membaca dan mempelajari al-Qur’ᾱn akan meningkatkan kewaspadaan diri dan termotivasi untuk selalu taat kepada Allah Swt. dan rasulNya. Dengan banyak mengkaji dan mengamalkan isi al-Qur’ᾱn, kehidupan akan menjadi aman, tenteram, damai, sejahtera, selamat dunia dan akhirat serta mendapat riḍā Allah swt. Betulkah demikian adanya?

3.    3. Mengapa ada sumber hokum al-Hadits? Jelaskan!

 

Jawaban:

Tulis Nama:

Kelas:

Kirim Jawaban anda!

Langsung melalui WA



__________________________________________________________________




PERTEMUAN II

BAB II

Jum’at, 14 Agustus 2020

 

 

1.      Ijma’

a.    Pengertian Ijma’

Secara bahasa ijma’  الاجماعberarti sepakat atau konsensus dari sejumlah orang terhadap sesuatu.

Adapun ijma’ dalam pengertian istilah ushul fikih dapat dikemukakan sebagai berikut:

1)    Menurut Ali Abdur Razak yang ijma’ adalah:

Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas
sesuatu perkara hukum syara’
.

2)    Sementara itu, Abdul Karim Zaidan, dalam kitab al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, menyatakan :

Ijma’ ialah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa tentang hukum syara’ setelah wafatnya Nabi Saw.

Memperhatikan definisi pengertian tersebut di atas, maka sesungguhnya ijma’ yang dimaksud dalam hubungannya dengan definisi yang dikemukakan adalah ijma’ yang didasarkan atas kesepakatan para mujtahid. Kesepakatan yang berasal dari selain mujtahid tidak dinamakan ijma’.

 

b.    Dasar kehujjahan ijma’ dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam

1)    Al-Qur’an

 

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

 

Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk tempat kembali. (QS. An-Nisa’ [5]:115)

2)    Al-Hadis

Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw. bersabda: “ Sesungguhnya Allah Swt. tidak akan mengumpulkan umatku atau Beliau bersabda: umat Muhammad Saw. di atas kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah, dan barang siapa yang menyempal maka dia menyempal menuju neraka. (HR. Imam At-Tirmidzi)

Dalil al-Qur’an dan al-Hadis di atas menjadi landasan para ulama dalam berpendapat bahwa ijma’ bisa dijadikan landasan hukum dalam menentukan hukum Islam.

 

c.    Rukun dan syarat ijma’

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah Saw. terhadap suatu hukum syar’I mengenai suatu peristiwa. Namun, tidak semua kesepakan para ulama setelah Rasulullah Saw. wafat dikategorikan sebagai ijma, kesepakatan ulama biar bisa dikatagorikan sebagai ijma harus memenuhi rukun dan syarat ijma’. Yang menjadi rukun dalam ijma’ harus satu, yaitu kesepakatan ulama’, apabila tidak ada kesepakatan maka itu bukan ijmak’.

Sementara syarat-syarat ijma’ menurut Wahba Zuhaili ada enam, yaitu:

1)    Haruslah orang yang melakukan ijma’ itu dalam jumlah banyak, dan tidak dikatakan ijma’ apabila hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan sebuah kesepakatan apabila dilakukan hanya satu orang ulama. Akan tetapi, pada saat terjadinya peristiwa tersebut tidak ada seorangpun mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja. Tidaklah bisa dikatagorikan sebagai ijma’ yang dibenarkan oleh syara’.

2)    Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Akan tetapi, peristiwa yang dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid dari satu daerah atau negara saja, misal mujtahid dari Mesir, atau Arab Saudi, atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu bukanlah sebagai ijma’, ijma harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid muslim ketika peristiwa itu terjadi

3)    Mujtahid yanag melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai daerah Islam. Tidak bisa dilakukan ijma’ apabila hanya dilakukan oleh ulama satu daerah terentu saja seperti ulama Hijaz atau ulama Mesir, atau ulama Iraq.

4)    Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh dari masing-masing mereka secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan, seperti mempraktikanya dalam peradilan walaupun pada permulaannya baru merupakan pernyataan perseorangan kemudian pernyataan itu disambut oleh orang banyak, maupun merupakan pernyataan bersama melalui suatu muktamar.

5)    Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat dan menjauhi halhal yang bid’ah: karena nash-nash tentang ijma’ mensyaratkan hal tersebut.

6)    Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid bersandar kepada sandaran hokum yang disyari’atkan baik dari nash maupun qiyas. Apabila rukun dan syarat-syarat ijma’ tersebut telah terpenuhi, hasil dari ijma’ itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu sebagai obyek ijma’ yang baru. Oleh sebab itu, hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma’ itu telah menjadikan hukum syara’ yang qath’i, hingga tidak dapat ditukar atau dihapus dengan ijtihad lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam kaidah fikih yang umum:

Sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain.

 

d.    Macam-macam ijma’

Menurut para sarjana hukum Islam, dilihat dari cara memperolehnya ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu:

1)    Ijma’ sharih adalah kebulatan yang dinyatakan oleh mujtahidin (para mujtahid)

2)    Ijma’ sukuti, yaitu kebulatan yang dianggap seorang mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahidin lainnya, tetapi mereka tidak menyatakan persetujuan atau bantahannya. Sementara dilihat dari dalalahnya (penunjuk) juga terbagi dua macam, yaitu:

a)    Ijma’ qat’i dalalah terhadap hukumnya; artinya, hukum yang ditunjuk sudah dapat dipastikan kebenarannya, atau bersifat qat’i sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi dan tidak perlu diijtihadkan kembali.

b)    Ijma’ zanni dalalah terhadap hukumnya; artinya, hukum yang dihasilkannya kebenarannya bersifat relatif atau masih bersifat dugaan. Karena itu, masih terbuka untuk dibahas lagi dan tertutup kemungkinan ijtihad lainnya, hasil ijtihadnya bukan merupakan pendapat seluruh ulama mujtahid.

 

2.      Qiyas

a.    Pengertian Qiyas

Secara bahasa qiyas diartikan denganُ mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Adapun secara istilah, dikalangan ulama ushul terdapat sejumlah definisi. Muhammad Abdul Gani al-Bajiqani :

Menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena diantara keduanya terdapat pertautan (persamaan) illat hukum.

Sementara itu, Syekh Muhammad al-Khudari Beik berpendapat bahwa definisi qiyas adalah :

Qiyas ialah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang (persoalan baru yang tidak disebutkan nash) karena adanya pertautan ‘illat keduanya.

Kemudian, Abdul Karim Zaidan menyebutkan definisi qiyas sebagai berikut :

Menghubungkan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh nash hukumnya dengan sesuatu yang telah dijelaskan di dalam nash, karena antara keduanya terdapat persamaan ‘illat hukum.

Keempat definisi yang telah dikemukakan tersebut mengandung maksud dan tujuan yang sama, hanya saja perbedaan terlihat pada redaksional yang digunakan oleh para ulama ushul. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa qiyas ialah menghubungkan atau memberlakukan ketentuan hukum, sesuatu persoalan yang sudah ada ketetapannya di dalam nash kepada persoalan baru karena keduanya mampunyai persamaan ‘ilˆlat. Oleh karena itu, apabila nash telah menjelaskan ketentuan hukum sesuatu persoalan dan di dalamnya ada ‘illat penetapan hukumnya, kemudian terdapat persoalan baru (peristiwa) yang ‘illatnya sama dengan apa yang dijelaskan oleh nash, maka keduanya berlaku ketentuan hukum yang sama. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum yang sama antara persoalan yang sudah pasti ketetapan hukumnya dapat dilakukan jika terdapat persamaan atau pertautan antara keduanya.

 

b.    Kehujjahan Qiyas dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam.

1)    Adapun dalil al-Qur’an antara lain firman Allah Swt. sebagai berikut:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. AnNisa’ [4]:59)

2)    Dalil Hadits

(Rasul bertanya) bagaimana kamu kan menetapkan hukum apabila dihadapkan padamu sesutu yang memerlukan penetapan hukum ? Mu’adz menjawab : “ saya akan menetapkannya dengan kitab Allah “ lalu Rasul bertanya : “ seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah , Muadz menjawab; “ dengan sunnah Rasulullah” Rasul bertanya lagi, “ seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam sunnah Rasul ?” Mu’adz menjawab; “ saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu’adz seraya mengatakan :“ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki “( HR.Abu Daud dan Al-Tirtimidzi )

 

c.    Rukun Qiyas

Ulama ushul telah sepakat, bahwa qiyas harus berpijak kepada empat rukun yaitu :

1)    Adanya pokok disebut dengan  ا َلأ ْصلyaitu persoalan yang telah disebutkan hukumnya di dalam nash.

2)    Adanya cabang disebut dengan  ا ْل َف ْرع yaitu suatu persoalan (peristiwa baru) yang tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia disamakan hukumnya dengan pokok melalui qiyas

3)    Adanya ketetapan hukum ا ْلح ْكم yaitu suatu hukum yang ada pada pokok dan ia akan diberlakukan sama pada cabang

4)    Adanya kesamaan sifat ا ْل ِع َّلةyaitu sifat atau keadaan yang dijumpai pada cabang dan juga ada pada pokok.

 

d.    Syarat hukum ashl adalah sebagai berikut :

1)    Hukum “ ashl “ hendaklah hukum Syari’at ‘Amaliyah yang ditetapkan oleh nash. Adapun hukum hasil Qiyas atau Ijma’ tidak dapat menjadi “ashl“ bagi qiyas

2)    Hukum “ashl“ hendaklah suatu hukum yang dapat dimengerti ‘Illatnya oleh akal, karena dasar dari qiyas adalah pengetahuan tentang ‘illat hokum “ashl“ dan adanya ‘illat itu pada “far’un”.

3)    Hukum “ashl“ itu bukanlah hukum yang berlaku khusus Sesuatu hokum dikatakan berlaku khusus, apabila :

a)    ‘illat tidak tergambar adanya pada selain ashl

b)    Ada dalil bahwa hukum itu hanya berlaku untuk Asal saja, seperti kawin lebih dari empat orang istri adalah khusus bagi Rasulullah SAW.

 

e.    Syarat-syarat far’un adalah :

1)    Pada “far’un” terdapat ‘illat yang ada pada “ashl”

2)    Jangan lebih dahulu ada “far’un” dari pada “ashl”. Contoh menqiyaskan wudhu kepada tayamum dalam hal wajib niat dengan ‘illat sama-sama ibadah. Pada wudhu lebih dahulu disyari’atkan dibanding tayamum. Karena itu mengqiyaskan wudhu kepada tayamum dalam hal wajib niat adalah tidak tepat.

3)    Hukum yang dialihkan kepada “far’un” harus sama dengan hukum “ashl”

4)    Pada “far’un” tidak ada sifat yang lebih kuat yang bertentangan dengan illat “ashl”.

 

f.     Syarat-syarat ‘illat adalah :

1)    Hendaklah ia merupakan suatu sifat atau keadaan yang dzahir. Yang dimaksud dengan dzahir ialah dapat ditangkap oleh panca indra yang lima.

2)    Hendaklah ia merupakan suatu sifat atau keadaan yang pasti, artinya ia mempunyai hakikat yang tertentu lagi dapat diukur dan dalam ukuran itu pula atau dengan perbedaan kecil ia ada pada “far’un”.

3)    Hendaklah ia merupakan suatu sifat atau keadaan yang munasabah. Artinya munasabah ialah keberadaannya dapat berfungsi untuk mewujudkan hikmah hukum, sehingga adanya mengakibatkan adanya hukum dan tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hokum

4)    Hendaklah ia bukan sifat atau keadaan yang hanya terdapat pada “ashl” saja, tetapi juga harus terdapat pula pada selain “ashl”.

 

g.    Macam-macam qiyas

1)    Qiyas Aula yaitu apabila illat mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan hukum (tersebut) daripada ashl. Contoh; mengqiyaskan memukul orang tua dengan mengatakan “ah” kepada keduanya adalah haram hukumnya karena sama-sama menyakiti. Firman Allah Swt. :

 

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ

 

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah". (QS. Al-Isra’ [17]:23)

2)    Qiyas Musawi yaitu apabila ‘illat mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un sama dengan ashl untuk mendapatkan hukum. Contoh ; mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya tentang haram hukumnya dengan ‘illat rusak dan habis Firman Allah Swt. :

 

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

 

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisa’ [4]:10)

3)    Qiyas dilalah yaitu apabila illat yang ada menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya.ُ

Contoh ; mengqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang yang sudah baligh dalam hal wajib membayar zakat dengan ‘illat samasama berkembang dan bertambah

4)    Qiyas syabah yaitu qiyas yang keadaan far’un padanya bolak balik antara dua ashl lalu ia dihubungkan dengan ashl yang lebih banyak persamaannya dengannya.

Contoh ;hamba sahaya yang cacat karena kejahatan orang lain, apakah dalam masalah wajib dhaman (ganti rugi), ia diqiyaskan dengan orang merdeka karena sama-sama anak Adam atau diqiyaskan dengan benda karena harta milik. Persamaannya dengan harta lebih banyak dari pada persamaannya dengan orang merdeka, karena ia dapat dijual, dipusakai, dihibahkan dan diwakafkan

5)    Qiyas adwan atau adna yaitu qiyas yang far’unnya lebih rendah kedudukannya dari pada ashl untuk mendapatkan hukum (yang sama). Contoh; mengqiyaskan perhiasan perak bagi laki-laki dengan perhiasan emas tentang haram hukumnya, dengan ‘illat berbangga-bangga.

 

 

TUGAS SISWA

PERTEMUAN II

BAB II

1. Saat ini wilayah komunitas muslim semakin luas dan jumlah kaum muslimin juga semakin besar yang diikuti banyaknya mujtahid yang muncul. Mungkinkan saat ini dapat terjadi ijmak di kalangan ulama atau mujtahid? Kemukakan pandangan kalian beserta alasannya!


2. Minum Vodka hukumnya haram berdasarkan qiyas terhadap haramnya khamar karena sama-sama memabukkan. Mengqiyaskan hukum mengonsumsi narkoba kepada minum Vodka dengan keputusan hukum "haram" karena sama sama mengghilangkan fungsi akal (mabuk) juga sah.  Apakah Kalian setuju dengan qiyas ini, Jelaskan?

 

Jawaban:

Tulis Nama:

Kelas:

Kirim Jawaban anda!

Melalui WAPRI


PERTEMUAN III

BAB II

Jum'at, 21 Agustus 2020


B. Menganalisis Sumber Hukum Islam yang Múkhtalaf (Tidak disepakati)

1.    Istishan

a.    Pengertian Istishan

Istihsan menurut bahasa mempunyai arti ”menganggap baik”. Ahli Ushul Yang dimaksud dengan Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar) atau dari ketentuan hukum kuliy (umum) kepada ketentuan hukum juz’i (khusus), karena ada dalil (alasan) yang lebih kuat menurut pandangan mujtahid. Dari pengertian tersebut berarti isthsan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1)    Menguatkan qiyas khafi atas qiyas jali. Contohnya wanita yang sedang haid boleh membaca al-Qur’an berdasarkan istihsan dan haram menurut qiyas.

Qiyas : wanita haid itu diqiyaskan kepada junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca al-Qur’an, maka orang haid juga haram membaca al-Qur’an.

Istihsan : haid berbeda dengan dengan junub, karena haid waktunya lama sedang junub waktunya sebentar, maka wanita haid tidak dapat melakukan ibadah dan tidak mendapat pahala, sedangkan laki-laki dapat beribadah setiap saat.

2)    Ketentuan hukum kuliy (umum) kepada ketentuan hukum juz’i (khusus), kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Contohnya: menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnose penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

b.    Dasar hukum Istihsan

Para ulama yang memakai istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam Al-Qur'an.

 

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ

 

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar [39]:18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah Swt. Bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah Swt. :

 

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ

 

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. (QS. Az-Zumar [39]:55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.

 

c.    Ulama yang menerima dan menolak Istihsan sebagai sumber hokum

1)    Jumhur Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa al-Istihsan adalah suatu dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh qiyas atau keumuman nash. Dan menurut Ulama Hanafiyah menggunakan al-Istihsan ini dengan alasan bahwa berdalil dengan al-Istihsan itu sebenarnya sama dengan berdalil dengan qiyas khafy atau berdalil dengan istislah, kesemuanya dapat diterima

2)    Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujjah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.

 

2.    Maslahah Mursalah

a.    Pengertian Maslahah Mursalah

Masalahah mursalah menurut bahasa mempunyai arti maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Sementara kata mursalah merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang artinya terlepas atau bebas. Dengan demikian, kedua kata tersebut disatukan yang mempunyai arti terlepas atau terbebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan. Menurut Abd Wahab Khalaf secara istilah maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengajuinya dan menolaknya.

 

b.    Ulama yang menerima dan menolak sebagai sumber hokum

1)    Jumhur ulama menolak maslahah mursalah sebagai sumber hokum

2)    Imam Malik membolehkan berpegang pada maslahah mursalah

3)    Apabila maslahah mursalah itu sesuai dengan dalil kulli atau dalil juz’i dari syara’, maka boleh berpegang kepadanya. menurut Ibnu Burhan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

 

c.    Syarat-syarat maslahah mursalah

Para ulama berpendapat maslahah mursalah sebagai sumber hukum hati-hati dalam menggunakannya, sehingga tidak memberikan peluang penetapan hokum berdasarkan hawa nafsu. Karena itu ulama memberikan syarat bagi orang yang yang berpegang pada maslahah mursalah, yaitu :

1)    Maslahah itu harus jelas dan pasti, bukan hanya berdasarkan anggapan atau perkiraan. Yang dimaksud, penetapan hukum itu benar-benar membawa manfaat atau menolak madharat.

2)    Maslahah itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi. Penetapan hukum itu memberi manfaat kepada manusia terbanyak atau menolak madharat dari mereka, bukan untuk kepentingan individu seseorang.

3)    Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma’.

 

3.    Istishab

a.    Pengertian Istishab

Istishab menurut bahasa mempunyai arti selalu menemani atau selalu menyertai. Menurut istilah istishab adalah menjadikan hukum yang telah tetap pada masa lampau terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui adanya dalil yang merubahnya.

b.    Macam-macam Istishab

Istishab ada empat macam :

1)    Istishab al-‘Adam yaitu tidak adanya suatu hukum yang ditiadakan oleh akal berdasarkan asalnya dan tidak pula ditetapkan oleh syara’. Contohnya : shalat yang keenam itu tidak ada, diwajibkan sholat lima waktu dalam sehari semalam. Akal mengetahui bahwa shalat yang keenam itu hukumnya tidak wajib, meskipun syara’ tidak menegaskannya, karena tidak ada dalil yang mewajibkannya. Jadi manusia tidak wajib melakukan sholat keenam dan berlaku sepanjang masa.

2)    Istishab umum atau nash sampai datang dalil yang merubahnya berupa mukhasish atau nasikh. Dalam hal ini yang dimaksud yaitu suatu hukum tetap berlaku menurut umumnya sampai ada yang merubahnya. Contohnya : dalam ayat al-Qur’an hukum mawaris seorang anak mendapat bagian dari orang tuanya, hukum tersebut berlaku umum untuk semua anak sampai datang dalil yang menghususkannya, yaitu hadits Nabi Saw. yang artinya “pembunuh tidak mendapat bagian waris”. Jadi setiap anak dapat warisan dari orang tuanya, namun apabila seorang anak setatusnya sebagai pembunuh dia tidak berhak mendapat warisan dari orang tuanya.

3)    Istishab hukum yang ditunjukkan oleh syara’ tetapnya dan kekalnya karena ada sebabnya. Contohnya: seorang wanita menjadi halal bagi seorang laki-laki sebab adanya akad nikah yang sah, dan hukum halal terus berlaku selama tidak ada hukum yang merubahnya, misalnya talak, fasakh dan sebagainya.

4)    Istishab keadaan ijma’ atas sesuatu hukum (untuk terus berlaku) pada tempat yang diperselisihkan (khilaf). Contohnya: sebagian ulama mengatakan, bahwa orang shalat dengan tayammum kemudian saat sedang shalat tiba-tiba dijumpainya air, maka shalatnya batal. Berdalilkan istishab terhadap sahnya shalat dengan tayamum sebelum melihat air. Hukum tersebut terus berlaku sampai ada dalil, bahwa melihat air membatalkan shalat. Sedangkan masalah ini diperselisihkan diantara ulama. Menurut sebagian ulama istishab seperti ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.

c.    Ulama yang menerima dan menolak Istishab sebagai sumber hokum

1)    Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.

2)    Ulama Hanafiyah istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya

3)    Ulama Mutakallimin (Ahli Kalam) berpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.

 

4.    Sadzudz dzari’ah.

a.    Pengertian Sadzudz Dzari’ah

Sadzudz dzari’ah terdiri dari dua suku kata sadz dan dzari’ah, sadz menurut Bahasa mempunyai arti menutup dan dzari’ah artinya jalan, maka sadzudz dzari’ah mempunyai arti menutup jalan menuju ma’siat. Adapun secara istilah sadzudz dzari’ah adalah menutup jalan atau mencegah hal-hal yang bisa membawa atau menimbulkan terjadinya kerusakan. Dengan kata lain segala sesuatu baik yang berbentuk fasilitas, sarana keadaan dan prilaku yang mungkin membawa kepada kemudharatan hendaklah diubah atau dilarang.

b.    Pengelompokan sadzudz dzari’ah

Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa segi:

1)    Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkan, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah menjadi empat, yaitu:

a)    Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum-minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa pada kerusakan keturunan.

b)    Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri pada dasarnya berhukum mubah, namun karena dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah; namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah Swt. menjadi terlarang melakukannya.

c)    Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru saja suaminya meninggal dunia dalam masa iddah. Berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya meninggal dan masih dalam masa iddah keadaannya menjadi lain.

d)    Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.

2)    Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah kepada empat jenis, yaitu:

a)    Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang di tanah sendiri dekat pintu rumah di waktu malam, dan setiap orang yang keluar rumah tersebut akan terjatuh ke dalam lubang. Sebenarnya menggali lubang itu boleh-boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti itu akan mendatangkan kerusakan.

b)    Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras. Menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, namun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras.

c)    Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam praktiknya sering dijadikan sarana untuk riba.

d)    Dzari’ah yang jarang sekali membawa kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilewati orang. Menurut kebiasaannya tidak ada orang yang lewat di tempat itu yang terjatuh ke dalam lubang. Namun tidak menutup kemungkinan ada yang nyasar lalu terjatuh ke dalam lubang tersebut.

3)    Ulama yang menerima dan menolak sadzudz dzari’ah sebagai sumber hukum.

a)    Menurut Imam Malik, sadzudz dzari’ah dapat menjadi sumber hukum, artinya perkara yang mubah itu dapat dilarang, kalau pada pembolehannya itu membuka jalan untuk mendorong kepada maksiat.

b)    Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, sadzudz dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum. Karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan mubah hukumnya .

 

5.    ‘Urf

a.    Pengertian ‘Urf

Urf menurut bahasa artinya adat kebiasaan. Adapun secara istilah syara’, Wahba Zuhaili menyebutkan ‘urf ialah apa yang dijadikan sandaran oleh manusia dan merea berpijak kepada ketentuan ‘urf tersebut, baik yang berhubungan dengan perbuatan yang mereka lakukan maupun terkait dengan ucapan yang dipakai secara khusus.

b.    Macam-macam ‘urf

Dalam praktiknya ulama ushul membagi ‘urf menjadi dua macam, yaitu ;

1)    Dilihat dari segi sifatnya, maka ‘urf itu dibedakan menjadi dua macam :

a)    ‘Urf amaliy, yaitu ‘urf yang didasarkan kepada praktik atau perbuatan yang berlaku dalam masyarakat secara terus-menerus. Contohnya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara tertentu.

b)    ‘Urf qauliy atau disebut juga ‘urf lafdzi yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan lafal atau ungkapan dan ucapan tertentu. Contohnya, kata atau ungkapan ُ“اللولد untuk menyatakan anak laki-laki

2)    Dilihat dari segi wujudnya, maka ‘urf dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:

a)    ‘Urf shahih (baik), yang telah diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh pertimbangan akal sehat membawa kebaikan dan kemaslahatan, menolak kerusakan, dan tidak menyalahi ketentuan nash alQur’an dan as-Sunnah. Sebagai contoh ada tradisi di masyarakat bahwa dalam masa pertunangan calon mempelai laki-laki memberi hadiah kepada pihak perempuan, dan hadiah ini bukan merupakan bagian dari maskawin.

b)    ‘Urf fasid, yaitu adat istiadat yang tidak baik, yang bertentangan dengan nash al-Qur’an dan as-Sunnah serta kaidah-kaidah agama, bertentangan dengan akal sehat, mendatangkan madharat dan menghilangkan kemaslahatan.

c.    Kehujjahan ‘urf

1)    Ulama ushul sepakat bahwa ‘urf yang shahih dapat dijadikan hujjah dan sarana dalam menetapkan hukum syara’.

2)    Urf fasid tidak dapat dijadikan hujjah.

 

6.    Syar’u Man Qablana.

a.    Pengertian Syar’u Man Qablana

Syar’u man qablana mempunyai arti Menurut bahasa berasal dari kata syar’u/syir’ah yang artinya sebuah aliran air/sebuah agama/ hukum syari’at dan qablana artinya sebelum islam.menurut istilah syar’u man Qablana adalah syari’at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw., yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara Nabi Muhammad Saw., seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.

b.    Macam-macam syar’u man qablana

Pembagian syar’u man qablana (syariat dari umat terdahulu) dan contohnya :

1)    Dinasakh syariat kita (syariat Islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.

2)    Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa

3)    Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita :

c.    Kehujjahan syar’u man qablana

Sebagian ulama seperti Imam Abu hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum hokum yang di sebutkan dalam alQur’an dan al-Sunnah meskipun objeknya tidak untuk Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad Saw. dari sini muncul kaidah:”syariat untuk umat sebelum kita juga berlaku untuk syariat kita”.

 

7.    Mazhab Shahabi

a.    Pengertian mazhab shahabi

Mazhab shahabi arti menurut bahasa ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam alQuran dan al-Sunnah Rasulullah.

Definisi sahabat menurut Ahli Hadits: Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah saw walau sesaat. Menurut Said bin Al-Masib: Sahabat adalah orang yang tinggal bersama Nabi Muhammad Saw. satu tahun, atau dua tahun bersamanya dan ikut serta dalam perang satu atau dua kali Selanjutnya menurut Al-Jahizh: Sahabat adalah orang yang kumpul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.

Sedangkan menurut Ibnu Jabir: Sahabat adalah setiap muslim yang bertemu Rasulullah saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan islam.Contoh: Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar.

b.    Macam-macam mazhab shahabi

1)    Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Contohnya: perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham.

2)    Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.

3)    Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.

c.    Kehujjahan mazhab shahabi.

1)    Mengatakan bahwa mazhab shahabi (qaulus shahabi) dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Bakar Ar-Razi, Abu Said sahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat. Alasannya: Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk.

2)    Bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’riyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya (baru) juga Abu Hasan alKharha dari golongan Hanafiyah. Alasan mereka antara lain adalah firman Allah Swt.:

 

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ

 

Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.ُ (QS. Al-Hasyr [59]: 2)

 

 

TUGAS SISWA

PERTEMUAN III

BAB II

 

1.      Berikan 1 contoh dalam kehidupan sehari-hari yang menggunakan Istihsan
sebagai sumber hukum Islam !

2.      Mengapa Maslahah Mursalah dapat dijadikan sumber hukum Islam, menurut pendapat ulama yang menerimanya ? Jelaskan !

3.      Berikan 2 contoh dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakatmu yang menggunakan ‘Urf shahih sebagai sumber hukum Islam !

 Jawaban:

            Tulis Nama:

            Kelas:

                                Kirim Jawaban anda!

                                Melalui WAPRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH