BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTTAFĂQ (DISEPAKATI) DAN
MUKHTĂLĂF (TIDAK DISEPAKATI)
Kompetensi
Inti (KI)
1.
Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya.
2.
Menunjukkan prilaku jujur,
disiplin, bertanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari
solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia
3.
Memahami, menerapkan, dan
menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4.
Mengolah, menalar, menyaji, dan
mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari
yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan
kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
BUKU FIKIH KELAS XII MA PEMINATAN
IPA, IPS, BAHASA, DAN KEJURUAN
Kompetensi Dasar (KD)
1.2. Menghayati akan kebenaran
sumber hukum Islam
2.2. Mengamalkan sikap teguh
pendirian dan tanggungjawab sebagai implementasi tentang sumber hukum yang
muttafaq (disepakati) serta sikap toleran dan saling menghargai sebagai
implementasi dari pemahaman mengenai sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)
3.2. Menganalisis sumber hukum
Islam yang muttafaq (disepakati) dan mukhtalaf (tidak disepakati) 4.2. Menyajikan
hasil analisis berupa peta konsep tentang hukum Islam yang muttafaq
(disepakati) dan mukhtalaf (tidak disepakati)
Indikator Pencapaian Kompetensi
Peser Peserta didik mampu :
1.2.1 Menerima akan kebenaran
sumber hukum Islam
1.2.2 Meyakini akan kebenaran
sumber hukum Islam
2.2.1 Menjalankan
sikap teguh pendirian dan tanggungjawab sebagai implementasi tentang sumber
hukum yang muttafaq (disepakati)
2.2.2 Menjalankan
sikap toleransi dan saling menghargai sebagai implementasi dari pemahaman
mengenai sumber hukum Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)
3.2.1 Membedakan
sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati)dengan sumber hukum Islam yang
mukhtalaf (tidak disepakati)
3.2.2 Mengorganisir
sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan sumber hukum Islam yang
mukhtalaf (tidak disepakati)
4.2.1 Menemukan makna
tersirat tentang sumber hukum Islam yang muttafaq (disepakati) dan sumber hukum
Islam yang mukhtalaf (tidak disepakati)
4.2.2 Mendiskusikan
hasil analisis berupa peta konsep tentang hokum Islam yang muttafaq
(disepakati) dan mukhtalaf (tidak disepakati)
Peta Konsep
Prawacana
UKU FIKIH KELAS XII MA PEMINATAN IPA, IPS,
BAHASA, DAN KEJURUAN MA
Agama yang diridloi Allah Swt. adalah agama
Islam, al-Qur’an sebagai pedoman hidup atau sumber hukum umat Islam pertama dan
utama. Namun, al-Qur’an bersifat global dan membutuhkan penjelas yaitu
al-Hadis. Oleh sebab itu kita sebagai umat Islam yang hidup pada masa sekarang diwajibkan
untuk belajar mengupas isi kandungan al-Qur’an melalui para ulama dengan tujuan
agar selamat dan bahagia dunia akhirat. Isi kandungan al-Qur’an berisi segala
aspek hidup dan kehidupan manusia mulai dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai
hari akhir nanti. Selain al-Qur’an ada sumber hukum lain yang telah disepakati
oleh ulama yaitu al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Mengingat
al-Qur’an itu bersifat global, maka untuk memahami hukum Islam umat Islam
membutuhkan sumber hukum yang lain, dengan syarat tidak bertentangan dengan
al-Qur’ân dan al-H}adis. Sumber hukum Islam tersebut lebih dikenal dengan istilah
sumber hukum Islam yang mukhtalaf ( yang tidak disepakati ) oleh ulama yaitu dapat
berupa: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Sadzudz Dzari’ah, Syar’u Man Qablana,
‘Urf, atau Mazhab Shahabi. Untuk lebih jelasnya, maka marilah kita pelajari bab
II berikut ini tentang sumber hukum Islam yang muttafâq dan mukhtâlâf
A.
Menganalisis Sumber Hukum Islam
yang Muttafâq (Disepakati)
1.
Al-Qur’ân
a.
Pengertian al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa dari kata artinya bacaan atau yang dibaca.
Sedangkan secara istilah para ulama ushul fikih mengemukakan beberapa definisi
sebagai berikut:
Safi Hasan Abu Talib menyebutkan :
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya
dari Allah Swt. melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, ia merupakan
dasar dan sumber hukum utama bagi syari’at.
Dalam hubungan ini Allah Swt. sendiri menegaskan dalam al-Qur’an :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al- Qur’an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf [12]:2)
Zakariyah al-Birri menyatakan bahwa yang disebutkan al-Qur’an
adalah :
Al-Kitab yang disebut al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt. yang
diturunkan kepada Rasulnya Muhammad Saw, dengan lafadz bahasa Arab, dinukil
secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf.
Menurut al-Ghazali yang disebutkan dengan al-Qur’an adalah :
Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt.
Dari ketiga definisi pengertian
tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan menggunakan bahasa Arab.
Adapun perbedaannya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Qur’an itu dinukil
secara mutawatir.
Adapun definisi ketiga, yang
dikemukakan oleh al-Ghazali hanya menyebutkan
bahwa al-Qur’an itu merupakan firman Allah Swt. Akan tetapi, al-Ghazali dalam uraiannya
lebih lanjut menyebutkan bahwa al-Qur’an itu bukan perkataan Rasulullah, beliau
hanya berfungsi sebagi orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah
Swt.
Sebetulnya, masih terdapat sejumlah
definisi lainnya yang dirumuskan oleh ulama ushul, tetapi kelihatanya
mengandung maksud yang sama, meskipun secara redaksional berbeda. Dalam
kaitannya, dengan sumber dalil. Al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut
dengan al-Kitab. Umumnya, di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam
sistematika dalil yang mereka susun menyebutkan al-Qur’an dengan al-Kitab.
Hal ini tentu, dapat dipahami bahwa
di dalam al-Qur’an sendiri memang juga sering menggunakan kata al-Kitab untuk
menyebut al-Qur’an, yaitu dalam alQur’an Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS.Al-Baqarah [2]:2)
Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw, dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya
disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sekarang ini.
Penukilan secara mutawatir ini dimana al-Qur’an begitu disampaikan kepada para
sahabat, maka para sahabat langsung menghafal dan menyampaikannya pula kepada
orang banyak, dalam penyampaiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan
kebohongan. Dengan demikian, kebenaran dan keabsahan al-Qur’an terjamin dan
terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah.
1)
Pokok isi kandungan al-Qur’an
Isi kandungan al-Qur’an meliputi :
(a) Tauhid
(b) Ibadah
(c) Janji
dan ancaman
(d) Jalan
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
(e) Riwayat
dan cerita (qishah umat terdahulu).
2)
Dasar kehujjahan al-Qur’an dan
kedudukan sebagai sumber hukum Islam.
Sebagaimana kita ketahui al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib di amalkan semua perintahnya
dan wajib ditinggalkan segala larangan-nya sebagaimana firman Allah Swt. :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat . (QS. An-Nisa’ [4]:105)
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ
آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلُ وَأَنَّ
أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS.Al-Maidah [5]:49)
Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam dan menempati kedudukan
pertama dari sumber-sumber hukum Islam yang lain, ia merupakan aturan dasar
yang paling tinggi. Semua sumber hukum dan ketentuan norma yang ada tidak boleh
bertentangan dengan isi al-Qur’an.
3)
Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hokum
Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hukum sesuai dengan
perkembangan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu
berawal dari kelemahan dan ketidak kemampuan. Untuk itu al-Qur’an berpedoman kepada
tiga hal, yaitu :
(a) Tidak
memberatkan
firman Allah Swt.:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.
(QS. Al-Baqarah [2]:286)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur. (QS.
Al-Baqarah [2]:185 )
Contoh : Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) diantaranya
sholat wajib.
(b) Meminimalisir
beban
Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama.
Dengan dasar ini kita mendapat rukhsah (keringanan ) dalam beberapa
jenis ibadah, seperti menjama’ dan mengqashar sholat apabila dalam perjalanan
dengan syarat yang telah ditentukan.
(c) Berangsur
angsur dalam menetapkan hokum
Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap , hal ini
bisa kita telusuri dalam hukum haramnya minum minuman keras, berjudi, serta perbuatan
perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam al-Qur’an.
Firman Allah Swt. :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS.
Al-Baqarah [2]:219)
Dilanjutkan dengan firman Allah Swt. :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu
tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun. (QS.
AnNisa’[4]:43)
Selanjutnya turun ayat bahwa khomr itu diharamkan, firman Allah
Swt. :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5]:90)
2.
Al-Hadis
a. Pengertian
al-Hadis
Hadis menurut bahasa mempunyai beberapa pengertian, yaitu baru جديد dekat ,قريب dan berita خبر
Adapun pengertian al-Hadis menurut istilah ahli Hadis adalah :
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa
perkatan, perbuatan, ketetapan (taqrir) dan sebagainya.
b. Macam-macam
hadis ada tiga yaitu:
1) Hadis
qauliyah (perkataan)
Yaitu hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi Saw. dalam
berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para sahabat
dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan Nabi Muhammad Saw.
contohnya:
Bahwasannya sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan seorang
hanya memperoleh dari apa yang dia niatkan (HR. Bukhari Muslim)
2) Hadis
fi’liyah (perbuatan)
Yaitu hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat, kemudian
disampaikan kepada orang lain. Contohnya:
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari Muslim)
3) Hadis
taqririyah (ketetapan)
Yaitu perbuatan dan ucapan para sahabat yang dilakukan di hadapan
atau sepengetahuan Nabi Saw, tetapi beliau mendiamkan dan tidak menolaknya. Sikap
diam Muhammad Nabi Saw. tersebut dipandang sebagai persetujuan. Contohnya:
berhubung binatang tersebut tidak terdapat di daerah kaumku, aku merasa
jijik kepadanya. Khalid berkata: kemudian aku memotongnya dan memakannya sementara
Rasulullah Saw. cuma memandang kepadaku (HR. Bukhari Muslim)
c.
Dasar kehujjahan al-Hadis dan
kedudukannya sebagai sumber hukum Islam
1)
Dalil al-Qur’an
Banyak kita jumpai ayat al qur’an yang menjelaskan tentang
kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya
untuk di jadikan pedoman hidup sehari hari . Diantara ayat-ayat yang dimaksud
adalah :
Firman Allah Swt:
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ
عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ
يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ
أَجْرٌ عَظِيمٌ
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari
yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu
hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di
antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya;
dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali-Imran (3):179)
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ
قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ [4] : 136)
Ayat-ayat diatas Allah Swt. menyuruh kaum muslimin agar mereka
tetap beriman kepada Allah Swt, Rasul-Nya (Muhammad Saw.), al-Qur’an, dan kitab
yang diturunkan sebelumnya. Kemudian Allah Swt. Mengancam orang orang yang
mengingkari dan menentang seruan-Nya .
Disamping itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin agar mentaati
dan melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang di bawah
oleh Rasulullah , baik berupa perintah, maupun larangan . Tuntunan taat dan
patuh kepada rasulnya sama halnya tuntunan taat dan patuh kepada Allah Swt.
Banyak ayat al-Qur’an yang berkenaan masalah ini. Firman Allah Swt.:
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan
kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (QS. Ali-Imran [3]:3)
Dalam firman Allah Swt. yang lain :
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ
تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan)
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
"Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia”. (QS. Ali Imran [3]:59)
Kemudian dalam ayat lain Allah juga berfirman :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai’i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk
Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr [59]:7)
Berikut firman Allah Swt. :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ
تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan
berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban
Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. Al-Maidah [5]:92)
Kemudian firman Allah Swt.:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ
تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan
jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah sematamata apa yang dibebankan
kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan
tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang".
(QS. An-Nur [24] : 54)
Dari ayat-ayat al-Qur’an diatas tergambar bahwa setiap ada
perintah taat kepada Allah Swt. dalam al-Qur’an selalu diikuti dengan perintah
taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (ancaman) karena
durhaka kepada Allah Swt. dan sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman
karena durhaka kepada Nabi Muhammad Saw.
2)
Dalil al-Hadis
Mari kita pahami dalam salah satu pesan Rasulullah Saw. Berkenaan dengan
kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping al-Qur’an
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu kalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegang pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya.
( HR. Malik )
Saat Rasulullah ingin mengutus Mu’adz Bin Jabal untuk menjadi pemimpin
di negeri Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah Saw. :
(Rasul bertanya) bagaimana kamu kan menetapkan hukum apabila dihadapkan
padamu sesutu yang memerlukan penetapan hukum ? Mu’adz menjawab : “ saya akan
menetapkannya dengan kitab Allah “ lalu Rasul bertanya : “ seandainya kamu
tidak mendapatkannya dalam kitab Allah , Muadz menjawab; “ dengan sunnah
Rasulullah” Rasul bertanya lagi, “ seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam
kitab Allah dan juga tidak dalam sunnah Rasul ?” Mu’adz menjawab; “ saya akan
berijtihad dengan pendapat saya sendiri”. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan
Mu’adz seraya mengatakan :“ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan
utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki “( HR.Abu Daud dan Al-Tirtimidzi )
Hadis-hadis diatas menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits
atau menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana
wajibnya berpegang teguh kepada al-Qur’an
d.
Fungsi al-Hadis terhadap al-Qur’an
adalah:
Dalam al-Qur’an masih banyak ayat bersifat umum dan global yang memerlukan
penjelasan. Dari penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah Saw. yang berupa
al-Hadis. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan al- Qur’an yang tidak
bisa dilaksanakan. Maka dari itu al-Hadis memiliki beberapa fungsi terhadap
al-Qur’an antara lain:
1)
Bayanut taqrir
Menetapkan dan menguatkan atau menggarisbawahi suatu hukum yang
ada dalam al-Qur’an, sehingga hukum hukum itu mempunyai dua sumber, yaitu ayat
yang menetapkannya dan hadis yang menguatkannya.
Contoh: hadits tentang penetapan bulan dengan kewajiban puasa di
bulan Ramadhan. Hadits tersebut menguatkan redaksi QS. Al Baqaroh ayat 185 :
Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah, apabila melihat bulan
berbukalah.
(HR. Muslim)
2)
Bayanut tafsir
Menjelaskan atau memberi keterangan menafsirkan dan merinci
redaksi al-Qur’an yang bersifat global (umum).
Contoh Hadis yang menafsirkan QS. Al-Qadr ayat 1ُ- 5 sebagai
berikut: (malam) lailatul qodr berada pada malam ganjil pada sepuluh akhir bulan
Ramadhan.ُُ (HR. Bukhori)
3)
Bayanut tasyri’
Menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Contoh pada
masalah zakat, al-Qur’an tidak secara jelas menyebutkan berapa yang harus
dikeluarkan seorang muslim dalam mengeluarkan zakat fitrah. Nabi Muhammad Saw.
menetapkan dalam Hadis:
Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada bulan
Ramadhan 1 sho’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau sahaya,
laki-laki atau perempuan muslim (HR. Bukhari Muslim.
TUGAS SISWA
PERTEMUAN I
BAB II
1. 1. Pada bulan suci Ramaḍan, hampir di seluruh masjid dan muṡalla
terdengar suara lantunan al-Qur’an, tidak terkecuali di rumah-rumah orang
Islam. Sungguh pengalaman yang sangat menakjubkan. Akan tetapi, setelah selesai
Ramadhan, selesai pula tradisi tersebut. Mengapa, ya? Padahal Rasulullah saw. menegaskan
bahwa: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al-Qur’ᾱn dan
mengamalkannya.”
2. 2. Perlu disadari, bahwa membaca dan mempelajari al-Qur’ᾱn akan
meminimalisir kegelisahan batin, bahkan gangguan jiwa yang erat kaitannya
dengan penyakit jasmani. Memperbanyak membaca dan mempelajari al-Qur’ᾱn akan
meningkatkan kewaspadaan diri dan termotivasi untuk selalu taat kepada Allah
Swt. dan rasulNya. Dengan banyak mengkaji dan mengamalkan isi al-Qur’ᾱn,
kehidupan akan menjadi aman, tenteram, damai, sejahtera, selamat dunia dan akhirat
serta mendapat riḍā Allah swt. Betulkah demikian adanya?
3. 3. Mengapa
ada sumber hokum al-Hadits? Jelaskan!
Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
__________________________________________________________________
PERTEMUAN II
BAB II
Jum’at, 14 Agustus 2020
1.
Ijma’
a.
Pengertian Ijma’
Secara
bahasa ijma’ الاجماعberarti
sepakat atau konsensus dari sejumlah orang terhadap sesuatu.
Adapun
ijma’ dalam pengertian istilah ushul fikih dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)
Menurut Ali Abdur Razak yang ijma’ adalah:
Ijma’
ialah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas
sesuatu perkara hukum syara’.
2)
Sementara itu, Abdul Karim Zaidan, dalam kitab al-Wajiz
fi ushul al-Fiqh, menyatakan :
Ijma’
ialah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa tentang hukum
syara’ setelah wafatnya Nabi Saw.
Memperhatikan
definisi pengertian tersebut di atas, maka sesungguhnya ijma’ yang dimaksud
dalam hubungannya dengan definisi yang dikemukakan adalah ijma’ yang didasarkan
atas kesepakatan para mujtahid. Kesepakatan yang berasal dari selain mujtahid
tidak dinamakan ijma’.
b.
Dasar kehujjahan ijma’ dan kedudukannya sebagai
sumber hukum Islam
1)
Al-Qur’an
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburukburuk tempat kembali. (QS. An-Nisa’ [5]:115)
2)
Al-Hadis
Dari
Ibnu Umar, Rasulullah Saw. bersabda: “ Sesungguhnya Allah Swt. tidak akan
mengumpulkan umatku atau Beliau bersabda: umat Muhammad Saw. di atas kesesatan,
dan tangan Allah bersama jamaah, dan barang siapa yang menyempal maka dia
menyempal menuju neraka.
(HR. Imam At-Tirmidzi)
Dalil
al-Qur’an dan al-Hadis di atas menjadi landasan para ulama dalam berpendapat
bahwa ijma’ bisa dijadikan landasan hukum dalam menentukan hukum Islam.
c.
Rukun dan syarat ijma’
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa ijma’
adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal
Rasulullah Saw. terhadap suatu hukum syar’I mengenai suatu peristiwa. Namun,
tidak semua kesepakan para ulama setelah Rasulullah Saw. wafat dikategorikan
sebagai ijma, kesepakatan ulama biar bisa dikatagorikan sebagai ijma harus
memenuhi rukun dan syarat ijma’. Yang menjadi rukun dalam ijma’ harus satu,
yaitu kesepakatan ulama’, apabila tidak ada kesepakatan maka itu bukan ijmak’.
Sementara
syarat-syarat ijma’ menurut Wahba Zuhaili ada enam, yaitu:
1)
Haruslah orang yang melakukan ijma’ itu dalam
jumlah banyak, dan tidak dikatakan ijma’ apabila hanya satu orang mujtahid,
tidak dikatakan sebuah kesepakatan apabila dilakukan hanya satu orang ulama.
Akan tetapi, pada saat terjadinya peristiwa tersebut tidak ada seorangpun
mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja. Tidaklah bisa
dikatagorikan sebagai ijma’ yang dibenarkan oleh syara’.
2)
Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang
telah mereka putuskan dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan
mereka. Akan tetapi, peristiwa yang dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid
dari satu daerah atau negara saja, misal mujtahid dari Mesir, atau Arab Saudi,
atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu bukanlah sebagai ijma’, ijma harus merupakan
kesepakatan seluruh mujtahid muslim ketika peristiwa itu terjadi
3)
Mujtahid yanag melakukan kesepakatan mestilah
terdiri dari berbagai daerah Islam. Tidak bisa dilakukan ijma’ apabila hanya
dilakukan oleh ulama satu daerah terentu saja seperti ulama Hijaz atau ulama
Mesir, atau ulama Iraq.
4)
Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh dari
masing-masing mereka secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan
maupun perbuatan, seperti mempraktikanya dalam peradilan walaupun pada permulaannya
baru merupakan pernyataan perseorangan kemudian pernyataan itu disambut oleh
orang banyak, maupun merupakan pernyataan bersama melalui suatu muktamar.
5)
Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid
yang bersifat dan menjauhi halhal yang bid’ah: karena nash-nash tentang ijma’ mensyaratkan
hal tersebut.
6)
Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid
bersandar kepada sandaran hokum yang disyari’atkan baik dari nash maupun qiyas.
Apabila rukun dan syarat-syarat ijma’ tersebut telah terpenuhi, hasil dari
ijma’ itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para mujtahid
berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu sebagai
obyek ijma’ yang baru. Oleh sebab itu, hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa
ijma’ itu telah menjadikan hukum syara’ yang qath’i, hingga tidak dapat ditukar
atau dihapus dengan ijtihad lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam kaidah fikih
yang umum:
Sebuah
ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain.
d.
Macam-macam ijma’
Menurut para sarjana hukum Islam, dilihat dari
cara memperolehnya ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Ijma’ sharih adalah kebulatan yang dinyatakan oleh
mujtahidin (para mujtahid)
2)
Ijma’ sukuti, yaitu kebulatan yang dianggap seorang mujtahid
mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahidin lainnya, tetapi mereka
tidak menyatakan persetujuan atau bantahannya. Sementara dilihat dari
dalalahnya (penunjuk) juga terbagi dua macam, yaitu:
a) Ijma’ qat’i dalalah terhadap hukumnya; artinya, hukum yang
ditunjuk sudah dapat dipastikan kebenarannya, atau bersifat qat’i sehingga
tidak perlu diperdebatkan lagi dan tidak perlu diijtihadkan kembali.
b) Ijma’ zanni dalalah terhadap hukumnya; artinya, hukum yang
dihasilkannya kebenarannya bersifat relatif atau masih bersifat dugaan. Karena
itu, masih terbuka untuk dibahas lagi dan tertutup kemungkinan ijtihad lainnya,
hasil ijtihadnya bukan merupakan pendapat seluruh ulama mujtahid.
2.
Qiyas
a.
Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas diartikan denganُ mengukur
sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Adapun secara istilah, dikalangan ulama ushul
terdapat sejumlah definisi. Muhammad Abdul Gani al-Bajiqani :
Menghubungkan
sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan
sesuatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena diantara keduanya
terdapat pertautan (persamaan) illat hukum.
Sementara itu, Syekh Muhammad al-Khudari Beik
berpendapat bahwa definisi qiyas adalah :
Qiyas
ialah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang
(persoalan baru yang tidak disebutkan nash) karena adanya pertautan ‘illat keduanya.
Kemudian,
Abdul Karim Zaidan menyebutkan definisi qiyas sebagai berikut :
Menghubungkan
sesuatu yang tidak dijelaskan oleh nash hukumnya dengan sesuatu yang telah
dijelaskan di dalam nash, karena antara keduanya terdapat persamaan ‘illat
hukum.
Keempat definisi yang telah dikemukakan
tersebut mengandung maksud dan tujuan yang sama, hanya saja perbedaan terlihat
pada redaksional yang digunakan oleh para ulama ushul. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa qiyas ialah menghubungkan atau memberlakukan ketentuan hukum,
sesuatu persoalan yang sudah ada ketetapannya di dalam nash kepada persoalan
baru karena keduanya mampunyai persamaan ‘ilˆlat. Oleh karena itu, apabila nash
telah menjelaskan ketentuan hukum sesuatu persoalan dan di dalamnya ada ‘illat
penetapan hukumnya, kemudian terdapat persoalan baru (peristiwa) yang ‘illatnya
sama dengan apa yang dijelaskan oleh nash, maka keduanya berlaku ketentuan
hukum yang sama. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum yang sama antara
persoalan yang sudah pasti ketetapan hukumnya dapat dilakukan jika terdapat
persamaan atau pertautan antara keduanya.
b.
Kehujjahan Qiyas dan kedudukannya sebagai
sumber hukum Islam.
1)
Adapun dalil al-Qur’an antara lain firman Allah
Swt. sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. AnNisa’ [4]:59)
2)
Dalil Hadits
(Rasul
bertanya) bagaimana kamu kan menetapkan hukum apabila dihadapkan padamu sesutu
yang memerlukan penetapan hukum ? Mu’adz menjawab : “ saya akan menetapkannya
dengan kitab Allah “ lalu Rasul bertanya : “ seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah , Muadz menjawab; “ dengan sunnah Rasulullah”
Rasul bertanya lagi, “ seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah dan juga
tidak dalam sunnah Rasul ?” Mu’adz menjawab; “ saya akan berijtihad dengan
pendapat saya sendiri”. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu’adz seraya
mengatakan :“ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang
Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki “( HR.Abu Daud dan Al-Tirtimidzi
)
c.
Rukun Qiyas
Ulama
ushul telah sepakat, bahwa qiyas harus berpijak kepada empat rukun yaitu :
1)
Adanya pokok disebut dengan ا َلأ ْصلyaitu
persoalan yang telah disebutkan hukumnya di dalam nash.
2)
Adanya cabang disebut dengan ا ْل َف ْرع yaitu suatu persoalan (peristiwa baru) yang tidak
ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia disamakan hukumnya dengan pokok
melalui qiyas
3)
Adanya ketetapan hukum ا ْلح ْكم yaitu suatu
hukum yang ada pada pokok dan ia akan diberlakukan sama pada cabang
4)
Adanya kesamaan sifat ا ْل ِع َّلةyaitu sifat atau keadaan yang dijumpai pada
cabang dan juga ada pada pokok.
d.
Syarat hukum ashl adalah sebagai berikut :
1)
Hukum “ ashl “ hendaklah hukum Syari’at
‘Amaliyah yang ditetapkan oleh nash. Adapun hukum hasil Qiyas atau Ijma’ tidak
dapat menjadi “ashl“ bagi qiyas
2)
Hukum “ashl“ hendaklah suatu hukum yang
dapat dimengerti ‘Illatnya oleh akal, karena dasar dari qiyas adalah
pengetahuan tentang ‘illat hokum “ashl“ dan adanya ‘illat itu pada “far’un”.
3)
Hukum “ashl“ itu bukanlah hukum yang berlaku
khusus Sesuatu hokum dikatakan berlaku khusus, apabila :
a)
‘illat tidak tergambar adanya pada selain ashl
b)
Ada dalil bahwa hukum itu hanya berlaku untuk
Asal saja, seperti kawin lebih dari empat orang istri adalah khusus bagi Rasulullah
SAW.
e.
Syarat-syarat far’un adalah :
1)
Pada “far’un” terdapat ‘illat yang ada pada
“ashl”
2)
Jangan lebih dahulu ada “far’un” dari pada
“ashl”. Contoh menqiyaskan wudhu kepada tayamum dalam hal wajib niat dengan ‘illat
sama-sama ibadah. Pada wudhu lebih dahulu disyari’atkan dibanding tayamum. Karena
itu mengqiyaskan wudhu kepada tayamum dalam hal wajib niat adalah tidak tepat.
3)
Hukum yang dialihkan kepada “far’un” harus sama
dengan hukum “ashl”
4)
Pada “far’un” tidak ada sifat yang lebih kuat
yang bertentangan dengan illat “ashl”.
f.
Syarat-syarat ‘illat adalah :
1)
Hendaklah ia merupakan suatu sifat atau keadaan
yang dzahir. Yang dimaksud dengan dzahir ialah dapat ditangkap oleh panca indra
yang lima.
2)
Hendaklah ia merupakan suatu sifat atau keadaan
yang pasti, artinya ia mempunyai hakikat yang tertentu lagi dapat diukur dan
dalam ukuran itu pula atau dengan perbedaan kecil ia ada pada “far’un”.
3)
Hendaklah ia merupakan suatu sifat atau keadaan
yang munasabah. Artinya munasabah ialah keberadaannya dapat berfungsi untuk mewujudkan
hikmah hukum, sehingga adanya mengakibatkan adanya hukum dan tidak adanya mengakibatkan
tidak adanya hokum
4)
Hendaklah ia bukan sifat atau keadaan yang
hanya terdapat pada “ashl” saja, tetapi juga harus terdapat pula pada selain
“ashl”.
g.
Macam-macam qiyas
1)
Qiyas Aula yaitu apabila illat mewajibkan adanya hukum
dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan hukum (tersebut) daripada ashl.
Contoh; mengqiyaskan memukul orang tua dengan mengatakan “ah” kepada keduanya
adalah haram hukumnya karena sama-sama menyakiti. Firman Allah Swt. :
فَلا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah".
(QS. Al-Isra’
[17]:23)
2)
Qiyas Musawi
yaitu apabila ‘illat mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un
sama dengan ashl untuk mendapatkan hukum. Contoh ; mengqiyaskan
membakar harta anak yatim dengan memakannya tentang haram hukumnya dengan
‘illat rusak dan habis Firman Allah Swt. :
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS.
An-Nisa’ [4]:10)
3)
Qiyas dilalah
yaitu apabila illat yang ada menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak
mewajibkannya.ُ
Contoh ; mengqiyaskan harta anak
kecil dengan harta orang yang sudah baligh dalam hal wajib membayar zakat dengan
‘illat samasama berkembang dan bertambah
4)
Qiyas syabah
yaitu qiyas yang keadaan far’un padanya bolak balik antara dua ashl
lalu ia dihubungkan dengan ashl yang lebih banyak persamaannya dengannya.
Contoh ;hamba sahaya yang cacat
karena kejahatan orang lain, apakah dalam masalah wajib dhaman (ganti rugi), ia diqiyaskan
dengan orang merdeka
karena sama-sama anak Adam atau diqiyaskan dengan benda karena harta
milik. Persamaannya dengan harta lebih banyak dari pada persamaannya
dengan orang merdeka, karena ia dapat dijual, dipusakai, dihibahkan
dan diwakafkan
5) Qiyas adwan atau adna yaitu qiyas yang far’unnya lebih rendah kedudukannya dari pada ashl untuk mendapatkan hukum (yang sama). Contoh; mengqiyaskan perhiasan perak bagi laki-laki dengan perhiasan emas tentang haram hukumnya, dengan ‘illat berbangga-bangga.
TUGAS
SISWA
PERTEMUAN
II
BAB
II
1. Saat ini wilayah komunitas muslim semakin luas dan jumlah kaum muslimin juga semakin besar yang diikuti banyaknya mujtahid yang muncul. Mungkinkan saat ini dapat terjadi ijmak di kalangan ulama atau mujtahid? Kemukakan pandangan kalian beserta alasannya!
2. Minum Vodka hukumnya haram berdasarkan qiyas terhadap haramnya khamar karena sama-sama memabukkan. Mengqiyaskan hukum mengonsumsi narkoba kepada minum Vodka dengan keputusan hukum "haram" karena sama sama mengghilangkan fungsi akal (mabuk) juga sah. Apakah Kalian setuju dengan qiyas ini, Jelaskan?
Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
Melalui WAPRI
PERTEMUAN
III
BAB
II
Jum'at, 21 Agustus 2020
B. Menganalisis Sumber Hukum Islam yang Múkhtalaf (Tidak disepakati)
1.
Istishan
a.
Pengertian Istishan
Istihsan
menurut bahasa mempunyai arti ”menganggap baik”. Ahli Ushul Yang dimaksud
dengan Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki
oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy
(samar-samar) atau dari ketentuan hukum kuliy (umum) kepada ketentuan hukum
juz’i (khusus), karena ada dalil (alasan) yang lebih kuat menurut pandangan mujtahid.
Dari pengertian tersebut berarti isthsan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1)
Menguatkan
qiyas khafi atas qiyas jali. Contohnya wanita yang sedang haid boleh membaca
al-Qur’an berdasarkan istihsan dan haram menurut qiyas.
Qiyas : wanita haid itu diqiyaskan
kepada junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca
al-Qur’an, maka orang haid juga haram membaca al-Qur’an.
Istihsan : haid berbeda dengan
dengan junub, karena haid waktunya lama sedang junub waktunya sebentar, maka
wanita haid tidak dapat melakukan ibadah dan tidak mendapat pahala, sedangkan
laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2)
Ketentuan
hukum kuliy (umum) kepada ketentuan hukum juz’i (khusus), kebolehan dokter
melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Contohnya: menurut kaidah umum
seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnose penyakitnya. Maka, untuk
kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan
melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
b.
Dasar hukum Istihsan
Para ulama yang
memakai istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan
kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
seperti Firman Allah Swt dalam Al-Qur'an.
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ
اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ
Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(QS. Az-Zumar [39]:18)
Ayat ini
menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah Swt. Bagi hamba-Nya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah Swt. :
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan
tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. (QS. Az-Zumar [39]:55)
Menurut mereka,
dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.
c.
Ulama yang menerima dan menolak Istihsan sebagai sumber hokum
1)
Jumhur
Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa al-Istihsan adalah suatu dalil syar’i
yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang
ditetapkan oleh qiyas atau keumuman nash. Dan menurut Ulama Hanafiyah
menggunakan al-Istihsan ini dengan alasan bahwa berdalil dengan al-Istihsan itu
sebenarnya sama dengan berdalil dengan qiyas khafy atau berdalil dengan
istislah, kesemuanya dapat diterima
2)
Ulama
Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam
Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan
istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan
bahwa berhujjah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru,
sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah
terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak
masalah istihsan ini.
2.
Maslahah Mursalah
a.
Pengertian Maslahah Mursalah
Masalahah
mursalah menurut bahasa mempunyai arti maslahah dapat berarti kebaikan,
kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Sementara kata
mursalah merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang artinya
terlepas atau bebas. Dengan demikian, kedua kata tersebut disatukan yang
mempunyai arti terlepas atau terbebas dari keterangan yang menunjukkan boleh
atau tidak bolehnya dilakukan. Menurut Abd Wahab Khalaf secara istilah maslahah
mursalah adalah maslahah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengajuinya
dan menolaknya.
b.
Ulama yang menerima dan menolak sebagai sumber hokum
1)
Jumhur
ulama menolak maslahah mursalah sebagai sumber hokum
2)
Imam
Malik membolehkan berpegang pada maslahah mursalah
3)
Apabila
maslahah mursalah itu sesuai dengan dalil kulli atau dalil juz’i dari syara’,
maka boleh berpegang kepadanya. menurut Ibnu Burhan ini adalah pendapat Imam
Syafi’i.
c.
Syarat-syarat maslahah mursalah
Para ulama
berpendapat maslahah mursalah sebagai sumber hukum hati-hati dalam menggunakannya,
sehingga tidak memberikan peluang penetapan hokum berdasarkan hawa nafsu.
Karena itu ulama memberikan syarat bagi orang yang yang berpegang pada maslahah
mursalah, yaitu :
1) Maslahah itu harus jelas dan pasti, bukan hanya berdasarkan
anggapan atau perkiraan. Yang dimaksud, penetapan hukum itu benar-benar membawa
manfaat atau menolak madharat.
2) Maslahah itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
Penetapan hukum itu memberi manfaat kepada manusia terbanyak atau menolak
madharat dari mereka, bukan untuk kepentingan individu seseorang.
3) Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah ini tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma’.
3.
Istishab
a. Pengertian Istishab
Istishab
menurut bahasa mempunyai arti selalu menemani atau selalu menyertai. Menurut
istilah istishab adalah menjadikan hukum yang telah tetap pada masa lampau
terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui adanya dalil yang merubahnya.
b. Macam-macam Istishab
Istishab ada empat macam :
1) Istishab al-‘Adam yaitu tidak adanya suatu hukum yang ditiadakan
oleh akal berdasarkan asalnya dan tidak pula ditetapkan oleh syara’. Contohnya
: shalat yang keenam itu tidak ada, diwajibkan sholat lima waktu dalam sehari
semalam. Akal mengetahui bahwa shalat yang keenam itu hukumnya tidak wajib, meskipun
syara’ tidak menegaskannya, karena tidak ada dalil yang mewajibkannya. Jadi
manusia tidak wajib melakukan sholat keenam dan berlaku sepanjang masa.
2) Istishab umum atau nash sampai datang dalil yang merubahnya berupa mukhasish
atau nasikh. Dalam hal ini yang dimaksud yaitu suatu hukum tetap berlaku
menurut umumnya sampai ada yang merubahnya. Contohnya : dalam ayat al-Qur’an
hukum mawaris seorang anak mendapat bagian dari orang tuanya, hukum tersebut
berlaku umum untuk semua anak sampai datang dalil yang menghususkannya, yaitu
hadits Nabi Saw. yang artinya “pembunuh tidak mendapat bagian waris”. Jadi
setiap anak dapat warisan dari orang tuanya, namun apabila seorang anak
setatusnya sebagai pembunuh dia tidak berhak mendapat warisan dari orang
tuanya.
3) Istishab hukum yang ditunjukkan oleh syara’ tetapnya dan kekalnya
karena ada sebabnya. Contohnya: seorang wanita menjadi halal bagi seorang
laki-laki sebab adanya akad nikah yang sah, dan hukum halal terus berlaku
selama tidak ada hukum yang merubahnya, misalnya talak, fasakh dan sebagainya.
4) Istishab keadaan ijma’ atas sesuatu hukum (untuk terus berlaku)
pada tempat yang diperselisihkan (khilaf). Contohnya: sebagian ulama
mengatakan, bahwa orang shalat dengan tayammum kemudian saat sedang shalat
tiba-tiba dijumpainya air, maka shalatnya batal. Berdalilkan istishab terhadap
sahnya shalat dengan tayamum sebelum melihat air. Hukum tersebut terus berlaku sampai
ada dalil, bahwa melihat air membatalkan shalat. Sedangkan masalah ini
diperselisihkan diantara ulama. Menurut sebagian ulama istishab seperti ini tidak
dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.
c. Ulama yang menerima dan menolak Istishab
sebagai sumber hokum
1) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah bahwa
istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah
ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.
2) Ulama Hanafiyah istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya
hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan
yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk
menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya
3) Ulama Mutakallimin (Ahli Kalam) berpendapat bahwa istishab tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki
adanya dalil.
4.
Sadzudz dzari’ah.
a. Pengertian Sadzudz Dzari’ah
Sadzudz
dzari’ah terdiri dari dua suku kata sadz dan dzari’ah, sadz menurut Bahasa mempunyai
arti menutup dan dzari’ah artinya jalan, maka sadzudz dzari’ah mempunyai arti
menutup jalan menuju ma’siat. Adapun secara istilah sadzudz dzari’ah adalah
menutup jalan atau mencegah hal-hal yang bisa membawa atau menimbulkan
terjadinya kerusakan. Dengan kata lain segala sesuatu baik yang berbentuk
fasilitas, sarana keadaan dan prilaku yang mungkin membawa kepada kemudharatan
hendaklah diubah atau dilarang.
b. Pengelompokan sadzudz dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan
melihat kepada beberapa segi:
1)
Dengan
memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkan, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah
menjadi empat, yaitu:
a)
Dzari’ah
yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum-minuman yang
memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang
membawa pada kerusakan keturunan.
b)
Dzari’ah
yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk
yang merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja
seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri pada dasarnya berhukum
mubah, namun karena dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak
boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah;
namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci
Allah Swt. menjadi terlarang melakukannya.
c)
Dzari’ah
yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya
sampai juga kepada kerusakan yang mana itu lebih besar dari kebaikannya,
seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru saja suaminya meninggal dunia
dalam masa iddah. Berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya
berhias itu justru baru saja suaminya meninggal dan masih dalam masa iddah
keadaannya menjadi lain.
d)
Dzari’ah
yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan,
sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini
melihat wajah perempuan saat dipinang.
2)
Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi
membagi dzari’ah kepada empat jenis, yaitu:
a)
Dzari’ah
yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah
itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang
di tanah sendiri dekat pintu rumah di waktu malam, dan setiap orang yang keluar
rumah tersebut akan terjatuh ke dalam lubang. Sebenarnya menggali lubang itu
boleh-boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti
itu akan mendatangkan kerusakan.
b)
Dzari’ah
yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu
dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya
perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan
minuman keras. Menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur
yang dijual itu dijadikan minuman keras, namun menurut kebiasaan, pabrik
minuman keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras.
c)
Dzari’ah
yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti
bila dzari’ah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang
tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam praktiknya
sering dijadikan sarana untuk riba.
d)
Dzari’ah
yang jarang sekali membawa kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini
seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu menimbulkan kerusakan.
Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilewati orang. Menurut
kebiasaannya tidak ada orang yang lewat di tempat itu yang terjatuh ke dalam
lubang. Namun tidak menutup kemungkinan ada yang nyasar lalu terjatuh ke dalam
lubang tersebut.
3)
Ulama yang menerima dan menolak sadzudz dzari’ah sebagai sumber
hukum.
a)
Menurut
Imam Malik, sadzudz dzari’ah dapat menjadi sumber hukum, artinya perkara yang
mubah itu dapat dilarang, kalau pada pembolehannya itu membuka jalan untuk
mendorong kepada maksiat.
b)
Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, sadzudz dzari’ah tidak dapat dijadikan
sumber hukum. Karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan mubah hukumnya .
5.
‘Urf
a.
Pengertian ‘Urf
Urf menurut bahasa artinya adat
kebiasaan. Adapun secara istilah syara’, Wahba Zuhaili menyebutkan ‘urf ialah
apa yang dijadikan sandaran oleh manusia dan merea berpijak kepada ketentuan
‘urf tersebut, baik yang berhubungan dengan perbuatan yang mereka lakukan
maupun terkait dengan ucapan yang dipakai secara khusus.
b.
Macam-macam ‘urf
Dalam praktiknya ulama ushul membagi
‘urf menjadi dua macam, yaitu ;
1)
Dilihat
dari segi sifatnya, maka ‘urf itu dibedakan menjadi dua macam :
a)
‘Urf
amaliy, yaitu ‘urf yang didasarkan kepada praktik atau perbuatan yang berlaku
dalam masyarakat secara terus-menerus. Contohnya, berbagai transaksi yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara tertentu.
b)
‘Urf
qauliy atau disebut juga ‘urf lafdzi yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
lafal atau ungkapan dan ucapan tertentu. Contohnya, kata atau ungkapan ُ“اللولد untuk menyatakan anak laki-laki
2)
Dilihat dari segi wujudnya, maka ‘urf dapat dibedakan kepada dua macam,
yaitu:
a)
‘Urf
shahih (baik), yang telah diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh
pertimbangan akal sehat membawa kebaikan dan kemaslahatan, menolak kerusakan,
dan tidak menyalahi ketentuan nash alQur’an dan as-Sunnah. Sebagai contoh ada
tradisi di masyarakat bahwa dalam masa pertunangan calon mempelai laki-laki
memberi hadiah kepada pihak perempuan, dan hadiah ini bukan merupakan bagian
dari maskawin.
b)
‘Urf
fasid, yaitu adat istiadat yang tidak baik, yang bertentangan dengan nash
al-Qur’an dan as-Sunnah serta kaidah-kaidah agama, bertentangan dengan akal
sehat, mendatangkan madharat dan menghilangkan kemaslahatan.
c.
Kehujjahan ‘urf
1)
Ulama
ushul sepakat bahwa ‘urf yang shahih dapat dijadikan hujjah dan sarana dalam
menetapkan hukum syara’.
2)
Urf
fasid tidak dapat dijadikan hujjah.
6.
Syar’u Man Qablana.
a.
Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana mempunyai arti
Menurut bahasa berasal dari kata syar’u/syir’ah yang artinya sebuah aliran air/sebuah
agama/ hukum syari’at dan qablana artinya sebelum islam.menurut istilah syar’u
man Qablana adalah syari’at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum umat Nabi
Muhammad Saw., yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui
perantara Nabi Muhammad Saw., seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan
lain-lain.
b.
Macam-macam syar’u man qablana
Pembagian syar’u man qablana
(syariat dari umat terdahulu) dan contohnya :
1)
Dinasakh
syariat kita (syariat Islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan
semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis
tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2)
Dianggap
syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa
3)
Tidak
ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat
kita :
c.
Kehujjahan syar’u man qablana
Sebagian ulama seperti Imam Abu
hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
hukum hokum yang di sebutkan dalam alQur’an dan al-Sunnah meskipun objeknya
tidak untuk Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka
berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad Saw. dari sini muncul kaidah:”syariat untuk
umat sebelum kita juga berlaku untuk syariat kita”.
7.
Mazhab Shahabi
a.
Pengertian mazhab shahabi
Mazhab shahabi
arti menurut bahasa ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus
dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam alQuran dan al-Sunnah
Rasulullah.
Definisi
sahabat menurut Ahli Hadits: Sahabat adalah setiap muslim yang melihat
Rasulullah saw walau sesaat. Menurut Said bin Al-Masib: Sahabat adalah orang
yang tinggal bersama Nabi Muhammad Saw. satu tahun, atau dua tahun bersamanya
dan ikut serta dalam perang satu atau dua kali Selanjutnya menurut Al-Jahizh:
Sahabat adalah orang yang kumpul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama
serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Sedangkan
menurut Ibnu Jabir: Sahabat adalah setiap muslim yang bertemu Rasulullah saw,
beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan islam.Contoh: Umar ibn Khattab,
‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar.
b.
Macam-macam mazhab shahabi
1)
Perkataan
sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para
ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena
kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam
hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah
hadits mauquf. Contohnya: perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah
sepuluh dirham.
2)
Perkataan
sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat
adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3)
Perkataan
sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui
ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat
bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
c.
Kehujjahan mazhab shahabi.
1)
Mengatakan
bahwa mazhab shahabi (qaulus shahabi) dapat menjadi hujjah. Pendapat ini
berasal dari Imam Maliki, Abu Bakar Ar-Razi, Abu Said sahabat Imam Abu Hanifah,
begitu juga Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin
Hanbal dalam satu riwayat. Alasannya: Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa
saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk.
2)
Bahwa
mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah dasar
hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’riyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i
dalam qaul jadidnya (baru) juga Abu Hasan alKharha dari golongan Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah firman Allah Swt.:
فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الأبْصَارِ
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.ُ (QS. Al-Hasyr [59]: 2)
TUGAS
SISWA
PERTEMUAN
III
BAB
II
1.
Berikan
1 contoh dalam kehidupan sehari-hari yang menggunakan Istihsan
sebagai sumber hukum Islam !
2.
Mengapa
Maslahah Mursalah dapat dijadikan sumber hukum Islam, menurut pendapat ulama yang menerimanya ? Jelaskan !
3.
Berikan
2 contoh dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakatmu yang
menggunakan ‘Urf shahih sebagai sumber hukum Islam !
Jawaban:
Tulis Nama:
Kelas:
Kirim Jawaban anda!
Melalui WAPRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar