KHILAFAH
(PEMERINTAHAN DALAM ISLAM)
KOMPETENSI DASAR :
1.1. Menghayati
konsep khilafah dalam Islam
2.1. Memiliki perilaku jujur,
disiplin, dan tanggungjawab sebagai
implementasi dari materi khilafah
3.1. Mendeskripsikan ketentuan Islam tentang
pemerintahan (khilafah)
4.1. Menunjukkan contoh penerapan dasar-dasar
khilafah
TUJUAN PEMBELAJARAN:
1.
Melalui diskusi siswa dapat
merumuskan arti khilafah (pemerintahan) dengan tepat
2.
Melalui penggalian informasi
siswa dapat menjelaskan tujuan khilafah
(pemerintahan)
3.
Dengan tanya jawab siswa
dapat memberi contoh penerapan 5 dasar khilafah dalam pelaksanaan kepemerintahan
4.
Setelah pembelajaran siswa
dapat menjelaskan hikmah khilafah sesuai dengan konsep Islam dan pemerintahan
pada umumnya dengan percaya diri
5.
Secara berpasangan dan
kerja sama siswa dapat menjelaskan 5 dasar khilafah dan dasar kepemerintahan yang diterapkan di Indonesia.
Pada bagian ini akan dipelajari
tentang konsep Khilafah dalam Islam. Khilafah adalah bentuk pemerintahan Islam
yang telah dicontohkan pada masa Nabi Muhamad SAW dan dilanjutkan oleh para khulafaurrasyidin.
Penerapan khilafah pada masa itu telah membawa Islam tersebar luas hingga
mencapai kejayaannya.
Dalam bab ini akan diuraikan
tentang khilafah, sejarah timbulnya khilafah, dasar khilafah, tujuan khilafah,
cara pemilihan khalifah, dan sikap kekhalifahan terhadap non Muslim. Terkait
dengan masalah khilafah, juga akan dibahas mengenai Majlis syuro dan ahlul
Halli wal Aqdi yang besar peranannya dalam membentuk suatu khilafah.
Siyasah Syar’iyah
Sebelum membahas lebih lanjut
tentang Khilafah, lebih dulu perlu diketahui tentang Siyasah Sar’iyah yang
merupakan kerangka dari Khilafah. Ada yang menyebut Siyasah Syar’iyah dengan
Siyasah Dusturiyah. Siyasah Syar’iyah atau Siyasah Dusturiyah dapat diartikan
sebagai Politik Islam. Pembahasan siyasah syar’iyah menyangkut permasalahan
kekuasaan, fungsi dan tugas penguasa dalam pemerintahan Islam, serta
hubungannya dengan kedaulatan rakyat.
Perkembangan siyasah syar’iyah
telah dimulai sejak Rasulullah hijrah di Madinah. Suatu wilayah yang dahulu bernama
Yatsrib kemudian diganti menjadi
Madinah. Penggantian nama ini saja sudah menunjukkan adanya langkah politis
yang dilakukan Rasulullah.
Perkataan Arab “Madinah” berarti
kota. Kata Madinah berasal dari akar kata “Din” yang berarti “patuh”. Dari akar
kata ini juga kata “agama” berasal. “Din” merupakan suatu kata yang mengacu
pada ide tentang kepatuhan terhadap aturan tertentu. Dengan demikian penggunaan
kata “Madinah” oleh Rasulullah untuk mengganti nama Yatsrib menjadi semacam
deklarasi atau proklamasi bahwa di tempat baru itu akan diwujudkan suatu
kehidupan masyarakat yang teratur. Suatu kehidupan sosial yang ditegakkan atas
dasar kebaikan bersama dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban
masyarakatnya. Dengan demikian, Madinah tidak sekedar berarti kota tetapi
memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu kawasan tempat menetap dan
bermasyarakat bagi mereka yang memiliki peradaban dan budaya (tamadun), yang
mencakup negara (daulah) dan pemerintahan (hukumah).
Upaya Rasulullah untuk membangun
masyarakat yang berperadaban itu benar-benar dapat dibuktikan melalui naskah
Piagam Madinah yang merupakan konstitusi negara modern pertama di dunia.
Konstitusi Amerika (1787 M) yang selama ini dipandang sebagai konstitusi
pertama dunia sebetulnya jauh tertinggal dibanding Piagam Madinah yang telah
ada pada tahun 623 M. Inilah sejarah politik Islam pertama yang dipelopori
Rasulullah SAW.
Menurut Abdul Wahab khalaf
(1888-1956 M), seorang ahli fikih asal Mesir, prinsipprinsip yang diletakkan
Islam dalam perumusan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi
manusia setiap anggota masyarakat, persamaan kedudukan setiap orang di mata
hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan
agama.
Pembahasan siyasah syar’iyah atau siyasah dusturiyah
meliputi 4 bidang yaitu :
1. Bidang siyasah tasyri’iyyah, termasuk di dalamnya persoalan
ahlul halli wal aqdi, persoalan perwakilan rakyat, hubungan uslim dengan non
mslim, persoalan undangundang dasar, undang-undang, peraturan pelaksanaan dan
sebagainya.
2. Bidang siyasah tanfidliyah, termasuk di dalamnya persoalan
imamah/ khalifah, bai’at, kementrerian, dan lain-lain.
3. Bidang siyasah qadlaiyah, yaitu masalah peradilan dan kejaksaan.
4. bidang siyasah idariyah, yaitu masalah administrasi dan
kepegawaian.
5. Sumber yang digunakan dalam siyasah dusturiyah adalah :
6. al Qur’an, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
kehidupan masyarakat, dalil kully dan semangat ajaran al-Qur’an.
7. al-Hadits, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan
imamah, dankebijakankebijakan Rasulullah SAW dalam menerapkan hukum di Negeri
Arab.
8. Kebijakan-kebijakan Khulafaurrasyidin di dalam mengendalikan
pemerintahan.
9. Hasil ijtihad para ulama.
10. adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dalam al-Qur’an maupun hadits, baik kebiasaan yang tertulis
maupun yang tidak tertulis (konvensi).
Dengan demikian dalam penerapan
siyasah dusturiyah ini bukan bentuk namun nilai-nilai yang menjiwai dalam
bentuk tersebut tidak bertentangan dengan a-qur’an maupun hadits.
Konsep trias politica yang digagas oleh Montesquieu (1689-1755 M)
tampaknya mirip dengan konsep Siyasah Sar’iyah yang dipraktikkan Rasulullah
saat memimpin Madinah pada abad 6 masehi, jauh sebelum Montesquieu dan para
pemikir barat lainnya merumuskan teori trias
politica. Sebuah konsep bernegara yang banyak diterapkan di berbagai negara
di dunia, termasuk Indonesia, ini membagi kekuasaan menjadi tiga unsur yaitu
lembaga kekuasaan eksekutif, lembaga kekuasaan legislatif, dan lembaga yudikatif. Dalam konteks Indonesia,
system ini kita kenal lembaga kekuasaan eksekutif yang dipimpin seorang
Presiden, lembaga legislatif merupakan lembaga perwakilan rakyat bernama Majlis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan lembaga
yudikatif yang berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di tangan
Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Mahkamah
Konstitusi, serta Komisi Yudisial.
Mohammad Arkoun, seorang pemikir
Islam terdepan masakini, menyebut apa yang telah dilakukan Rasulullah di
Madinah sebagai “Eksperimen Madinah”. Menurut Arkoun, eksperimen ini telah
menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal
pendelegasian wewenang dan kehidupan berkonstitusi. Bukti sejarah terpenting
dari system sosial-politik eksperimen Madinah ini adalah dokumen bernama Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Khilafah
Pengertian Khilafah
Khilafah
berasal dari bahasa arab khalafa,
yakhlifu, khilafatan yang artinya menggantikan. Dalam konteks sejarah
Islam, khilafah adalah proses
menggantikan kepemimpinan Rasulullah
SAW, dalam menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan dunia. Pada masa
sekarang istilah khilafah sama
artinya dengan suksesi yang juga berarti proses pergantian kepemimpinan.
Sedangkan menurut istilah khilafah berarti pemerintahan yang
diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah bersifat umum, meliputi kepemimpinan
yang mengurusi bidang keagamaan dan kenegaraan sebagai pengganti Rasulullah. Khilafah disebut juga dengan Imamah atau Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah disebut Khalifah, pemegang kekuasaan Imamah
disebut Imam, dan pemegang
kekuasaan Imarah disebut Amir.
Kalau dibahas lebih lanjut tentang
istilah Khilafah, Imamah, dan Imarah terdapat berbagai versi dan sudut pandang. Istilah khilafah
yang semula muncul pertama kali pada masa Abu Bakar sebetulnya lebih karena
posisi beliau yang merupakan pengganti (khalifah) Rasulullah shingga masyarakat
menyebutnya dengan panggilan “khalifah
al-Rasul” yang berfungsi melanjutkan tugas Rasulullah dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin politik dan keagamaan, bukan sebagai Rasul. Pada masa Umar bin
Khatab, gelar Khalifah malah digantinya denga Amir (Amir al-Mu’minin). Sedangkan pada masa pemerintahan
Abbasiyah, gelar Khalifah tidak sekedar bermakna pengganti Rasul tetapi
pengganti Allah di muka bumi (Khalifatullah
fil ardh). Adalah Al-Manshur, khalifah Abbasiyah ke 2, yang mula-mula
menyebut diri sebagai khalifatullah fil
ardh ini. Sedangkan gelar Amir pada
masa itu digunakan untuk jabatan seorang kepala daerah atau gubernur. Adapun
gelar Imam dalam system imamah
lebih sering digunakan oleh kaum Syi’ah untuk menyebut jabatan seorang kepala
negara. Sama artinya dengan gelar Khalifah yang sering digunakan oleh kaum
Sunni. Perbedaannya, bagi kaum Syi’ah gelar Imam
dan Imamah itu temasuk dalam
prinsip ajaran agama. Seorang imam dipandang sebagai orang yang ma’sum (terjaga
dari dosa).
Bagi kaum Sunni, seperti
pendapat al-Mawardi dan Abdul Qadir Audah bahwa khilafah dan imamah secara umum
memiliki arti yang sama yaitu system kepemimpinan Islam untuk menggantikan
tugas-tugas Rasulullah SAW dalam menjaga agama serta mengatur urusan duniawi
umat Islam. Allah berfirman dalam QS. An Nur: 55
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ
وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ
ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa…”
Sejarah timbulnya istilah khilafah
bermula sejak terpilihnya Abu Bakar as-Shidiq (573-634 M) sebagai pemimpin umat
Islam yang menggantikan Nabi SAW setelah beliau wafat. Kemudian berturut-turut
terpilih Umar bin khatab(581-644 M), Usman bin Affan (576-656 M) dan Ali bin
Abi Thalib (603-661M).
Selanjutnya bersambung pada
generasi Dinasti Umayyah di Damascus (41-133H/661750 M):14 khalifah, Dinasti
Abbasiyah di Baqdad (132-656H/750-1258 M): 37 khalifah, Dinasti Umayyah di
Spanyol (139-423H/756-1031 M):18 khalifah, Dinasti Fatimiyah di
Mesir(297-567H/909-1171 M):14 khalifah, Dinasti Turki
Usmani (kerajaan Ottoman) di Istanbul(1300-1922 M):39 khalifah, Kerajaan Safawi
di Persia(1501-1786 M):18 syah/ raja, Kerajaan Mogul di India (1526-1858 M):15
raja dan Dinasti-dinasti kecil lainnya.
Dinasti-dinasti di atas memakai
gelar khalifah. Tetapi berbeda pelaksanaannya dengan khulafa ar-rasyidin. Jika khulafa
ar-rasyidin dipilih secara musyawarah, maka dinasti-dinasti tersebut
menerapkan tradisi pengangkatan raja secara turun temurun.
Sistem pemerintahan khilafah berakhir di Turki sejak
Mustafa Kemal Ataturk (18811938 M). Beliau menghapus sistem pemerintahan ini
pada tanggal 3 maret 1924. Umat Islam pernah berusaha menghidupkan kembali
khilafah melalui muktamar khilafah di Cairo (1926 M) dan Kongres Khilafah di
Mekkah (1928 M). Di India pun pernah timbul gerakan khilafah.
Oganisasi-organisasi Islam di Indonesia pun pernah membentuk komite khilafah
(1926 M) yang berpusat di Surabaya untuk tujuan yang sama.
Namun perjuangan umat Islam
Indonesia tidak hanya melalui upaya mewujudkan khilafah secara legal formal.
Melainkan ada hal yang lebih penting yaitu upaya menegakkan nilai-nilai luhur
Islam di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Peristiwa penghapusan
tujuh kata yang berbunyi …dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang semula
tercantum pada pada alinea keempat Piagam Jakarta ( kelak menjadi Mukaddimah UUD
1945) pada tanggal 18 Agustus 1945 bukanlah kekalahan umat Islam untuk
menegakkan Khilafah. Tetapi itu justru menunjukkan kualitas sikap para pemimpin
Islam seperti KH. Wahid Hasyim yang mampu mengutamakan kepentingan umum seluruh
bangsa Indonesia daripada kelompok agamanya sendiri. Apalagi secara substantif,
isi pembukaan UUD 1945 itu tidak berbeda dengan ketika masih bernama Piagam
Jakarta. Pembukaan UUD 1945 sangat terbuka untuk dimaknai sesuai keyakinan kita
sebagai umat Islam. Karena naskah ini memang lahir dari pemikiran para tokoh
Muslim di samping tokoh-tokoh lainnya.
Tujuan Khilafah
Secara umum Khilafah mempunyai tujuan untuk memelihara agama Islam dan
mengatur terselenggaranya urusan umat manusia agar tercapai kesejahteraan dunia
dan akhirat sesuai dengan ajaran Allah SWT. Adapun tujuan khilafah secara spesifik adalah:
1. Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah wafatnya Rasulullah
SAW.
2. Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin dengan aparat yang
bersih dan berwibawa
3. Untuk menjaga stabilitas negara dan kehormatan agama.
4. Untuk membentuk suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan
berkeadilan, serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
Khilafah sebagai salah satu cara
untuk menata kehidupan di dunia, tidak
bisa dilepaskan dengan peran Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin yang
memiliki misi besar untuk mengarahkan semua sisi kehidupan dengan
berbagaipanduan yang sangat detil dan konprehensif. Bahkan konsep tauhid yang
tampak sebagai urusan akidah, sebetulnya juga tidak bisa dilepaskan dengan
politik. Konsep tauhid yang mengajarkan umat Islam untuk tunduk dan patuh hanya
kepada Allah, sesungguhnya sekaligus mengajarkan tentang kesetaraan manusia.
Dengan demikian Islam menolak secara tegas adanya perbudakan sesama manusia
dengan berbagai macamnya. Oleh karena itu Rasulullah selalu mengakhiri setiap surat
yang dikirim kepada Ahli Kitab ayat mulia dari surah Ali-Imran sebagai berikut
:
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ
كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا
نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ
ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: «Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah». Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: «Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).» (QS.
Ali-Imran:64)
Dasar-dasar Khilafah
Menurut Sulaiman Rasjid, apabila
diperhatikan dengan seksama, dapat diketahui dengan jelas bahwa khilafah atau
pemerintahan yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin berdasarkan hal-hal
sebagai berikut :
•
Kejujuran, keikhlasan, dan tanggung jawab.
Pemerintahan harus dijalankan
dengan tulus demi tanggung jawab mengemban amanat rakyat dengan tidak
membeda-bedakan bangsa dan warna kulit. Hal ini dapat dilakukan karena seorang
pemimpin berpedoman pada firman Allah yang di antaranya terdapat dalam surah Al-Hujurat,
13 sebagai berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم
مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal” (QS. Al-Hujurat:13)
•
Keadilan.
Firman Allah dalam surah An-Nahl, 90 :
Hendaknya keadilan ditegakkan terhadap seluruh rakyat
dalam segala urusannya.
Allah berfirman :
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ
وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ
وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl:90)
Tauhid (mengesakan
Allah)
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah, 163
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:163)
Tauhid merupakan sikap tunduk dan
patuh secara total hanya kepada Allah. Tak ada sesuatupun yang layak dipatuhi
selain Allah. Konsekuensi dari sikap
bertauhid ini akan membuat tiap-tiap orang, termasuk para pemimpin, merasa
merdeka dan menghargai kemerdekaan orang lain, terhindar dari
kesewenang-wenangan, dan pada akhirnya
dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang egaliter serta terhindar dari
otoritarianisme.
• Kedaulatan rakyat.
Masalah kedaulatan rakyat ini dapat
dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada ulil amri (para
wakil rakyat atau pemegang pemerintahan). Firman Allah dalam surah An Nisa, 58-59 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa:59)
Sulaiman Rasjid dengan mngutip
pendapat ahli tafsir Imama Muhammad Fakhruddin Razi mengatakan bahwa yang
dimaksud Ulil Amri pada ayat tersebut adalah para ulama, ilmuwan, dan para
pemimpin yang ditaati rakyat. Mereka inilah representasi dari kedaulatan
rakyat.
Sedangkan untuk mengelola
kedaulatan rakyat adalah melalui usaha menampung berbagai aspirasi mereka untuk
kemudian dimusyawarahkan agar dapat dicapai kata mufakat demi kemaslahatan
bersama. Perintah untuk melakukan musyawarah ini misalnya dapat dilihat
pada QS. Asy-Syura(42): 38 sebagai
berikut :
وَأَمْرُهُمْ
شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“…sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka….;” (QS. Asy-Syura:38)
Hukum Membentuk Khilafah
Berdasarkan pendapat yang diikuti
mayoritas umat Islam (mu’tabar), hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu
kifayah dengan beberapa alasan sebagai berikut :
•
Ijma’ sahabat.
Ketika Rasulullah wafat, saat itu
juga terdengar di kalangan para sahabat yang membicarakan masalah pengganti
beliau. Bahkan pembicaraan itu sempat mengarah ke perselisihan di antara kaum
Anshar dan Muhajirin. Dalam suasana
demikian maka disepakati untuk dilaksanakan musyawarah antara perwakilan dari
kedua kaum tersebut. Sementara sebagian lainnya tetap mengurus jenazah
Rasulullah. Adapun hasil musyawarah akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai
khalifah/pengganti Rasulullah.
•
Demi menyempurnakan kewajiban.
Khilafah harus didirikan demi
menjamin kelancaran atau kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban sebagai warga
negara. Misalnya dalam hal pemenuhan kewajiban sebagai umat beragama, menjaga
keamanan dan ketertiban, menjamin kesejahteraan bersama, menegakkan keadilan,
dan lain sebagainya. Semua urusan ini tidak bisa sepenuhnya dibebaskan untuk
diurus oleh perseorangan tetapi perlu ada pihak yang berwenang mengelolanya.
Sudah barang tentu hal ini atas mandat
dari rakyat.
•
Memenuhi janji Allah.
Allah berjanji akan menjadikan
orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai penguasa di muka bumi.
Setelah sebelumnya mereka mengalami ketakutan, kegelisahan, dan penderitaan
akibat kezaliman. Tetapi mereka tetap berjuang menegakkan kebenaran dan
keadilan. Inilah yang memungkinkan terbukanya peluang untuk memenuhi janji
Allah yang akan menjadikan kita sebagai penguasa di muka bumi. Mengemban amanat
kekhilafahan atau pemerintahan demi kehidupan yang sejahtera, aman, sentausa
dan tetap dalam ketundukan terhadap Allah semata.
Allah SWT. Berfirman dalam surah An-nur,
55 sebagai berikut :
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ
وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ
ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا
يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلْفَٰسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS. An-nur : 55)
Hikmah Khilafah
Khilafah yang ditegakkan dengan
tujuan yang jelas dan dasar-dasar yang berpihak pada kepentingan dan
kesejahteraan bersama pada akhirnya akan membuat masyarakatnya hidup tenang,
nyaman, dan aman di satu pihak. Di pihak lain justru akan membuat Khilafah
semakin kuat dan stabil karena adanya kepercayaan dari masyarakat luas.
Upaya pengendalian yang
dilakukan pemerintah dengan disertai pemenuhan aspirasi rakyat dapat melahirkan
kesadaran bersama untuk mencapai persatuan dan kesatuan dengan tetap menjaga
keragaman, baik suku, agama, dan ras,
sebagai anugerah Allah.
Khalifah
Pengertian
Khalifah
Khalifah
berarti pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara dan pimpinan agama.
Dalam sejarah kita mengenal para pengganti kepemimpinan Rasulullah pada masa
periode awal yang terkenal dengan sebutan Khulafa’
al-Rasyidin (para pemimpin yang bijaksana). Mereka adalah Abu Bakar
As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka
adalah para Khalifah generasi pertama setelah kepemimpinan Rasulullah SAW. yang
menggantikan Nabi sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan agama tetapi tidak
menggantikan Muhammad SAW sebagai nabi karena posisi kenabian tidak dapat
diganti oleh siapapun dan Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir dari sekalian
para Nabi.
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن
رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۦنَ ۗ وَكَانَ
ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Ahzab:40)
Jabatan khalifah berikutnya setelah Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali dipangku oleh para pemuka dari Bani Umayyah seperti
khalifah Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Pada masa
Abbasiyah diantaranya yang paling terkenal adalah pemerintahan di bawah
kekhalifahan Harun Al Rasyid dan lain-lain.
Syarat-syarat
Khalifah
Untuk
menjadi khalifah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
•
Berpengetahuan luas.
Seorang khalifah harus memiliki pengetahuan
luas dalam arti yang sebenarnya. Tidak cukup hanya memiliki latar belakang
pendidikan akademik tinggi, karena ia akan melaksanakan atau menerapkan hukum
Allah dan berbagai peraturan-Nya terhadap kaum Muslim dan Non Muslim atau
terhadap masyarakat yang majmuk latar belakang sosial, budaya, dan agamanya.
•
Adil dalam arti luas.
Seorang khalifah mampu menjalankan segala
kewajiban dan menjauhi larangan serta menjaga kehormatan dirinya. Khalifah juga
wajib mengawasi segala hukum dan peraturan yang dijalankan oleh para wakil dan
bawahannya
•
Kompeten (Kifayah)
Seorang khalifah harus memiliki kompetensi
berupa tanggung jawab, teguh, kuat, dan cakap menjalankan pemerintahan,
memajukan negara, dan agama. Sanggup menjaga keamanan semuanya dari ancaman
musuh.
•
Sehat jasmani-rohani.
Seorang khalifah harus memiliki pancaindera
dan anggota tubuh lainnya yang bebas dari gangguan yang bisa mengurangi
kemampuan berpikir dan kekuatan jasmani atau tenaganya.
Adapun sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa
para imam itu dari bangsa Quraisy atau urusan khalifah itu adalah hak bangsa
Quraisy ditafsirkan oleh para ulama sebagai hal yang masuk akal setelah
memperhatikan karakter bangsa Quraisy yang
pemberani, kuat, teguh pendirian, rasa persatuan yang kuat, dan cakap
menjalankan pemerintahan. Jadi yang dijadikan syarat oleh Rasulullah sebetulnya
bukan semata-mata karena sukunya tetapi lebih kepada keutamaan sifat-sifatnya
tersebut. Demikian seperti yang
dijelaskan Sulaiman Rasjid terkait syarat kompetensi bagi seorang khalifah,
dari buku sejarah Itmamul-Wafa
karangan Muhammad Al-Hudari dan dari kitab Mukaddimah
karya Ibnu Khaldun.
Sedangkan terkait syarat harus
berpengetahuan luas dan kesehatan dapat dilihat dalam firman Allah sebagai
berikut :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ٱللَّهَ قَدْ
بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوٓا۟ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ ٱلْمُلْكُ
عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِٱلْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ
ٱلْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُۥ بَسْطَةً فِى
ٱلْعِلْمِ وَٱلْجِسْمِ ۖ وَٱللَّهُ يُؤْتِى مُلْكَهُۥ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ
وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah
memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.”
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha
Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:247)
Cara
Pengangkatan Khalifah
Berdasarkan catatan sejarah Khulafah al-Rasyidin, terdapat beberapa
contoh pengangkatan khalifah yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
•
Dipilih langsung oleh umat Islam,
Misalnya pada saat pemilihan khalifah
pertama, yakni khalifah Abu Bakar Shidiq di balai sidang Bani Sa’idah.
Pertemuan itu mula-mula diadakan oleh kaum Anshar, baru kemudian dihadiri tiga
tokoh utama yang mewakili kaum Muhajirin yaitu Abu Bakar Shidiq, Umar bin
Khatab, dan Abu Ubaidah.
•
Diusulkan oleh khalifah yang sedang menjabat,
Misalnya pengangkatan khalifah kedua, yakni
khalifah Umar bin Khatab yang diusulkan oleh Abu Bakar Shidiq. Meskipun
sebenarnya Abu Bakar telah sering bermusyawarah dengan para sahabat lainnya
mengenai langkahnya itu. Di antaranya dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin
Affan, Thulhah bin Ubaidillah, Selanjutnya atas usul Thulhah, Abu Bakar
mengundang orang banyak untuk dimintai pendapatnya dan ternyata mereka menjawab
dengan serentak, “Sami’na wa atha’na”
(kami dengar dan kami patuhi) yang maksudnya sebagai pernyataan dukungan
terhadap langkah yang dilakukan Abu Bakar.
•
Dipilih melalui perwakilan (Ahlul
Halli Wai ‘aqdi).
Misalnya pemilihan khalifah Usman bin Affan
dari antara enam orang yang sebelumnya dipersilahkan Umar bin Khatab untuk membicarakan
masalah pmilihan calon penggantinya. Enam orang tersebut adalah : Ali Bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman
bin Auf, dan Thulhah bin Ubaidillah. Di antara enam tokoh ini akhirnya tersisa
dua yaitu Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan karena yang lainnya
mengundurkan diri. Selanjutnya mereka menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk
memimpin jalannya pemilihan dan memberinya tempo guna melakukan pertimbangan
sebaik-baiknya. Saat inilah Abdurrahman bin Auf meminta lagi pendapat kepada
lebih banyak tokoh dan penduduk Madinah.
Pada akhirnya pilihan jatuh terhadap Utsman bin Affan.
•
Dipilih oleh perwakilan sebagian besar umat Islam,
Misalnya terjadi pada saat pemilihan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah. Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah
menggantikan Utsman bin Affan oleh penduduk ibukota Madinah, didukung oleh tiga
pasukan dari Mesir, Basrah, dan Kufah.
Tetapi di tengah perjalanan, sebagian pasukan dari mesir tidak jadi
melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Sedangkan pasukan Basrah dan Kufah tetap
terus melaju ke tempat pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Dalam pasukan Basrah dan
Kufah terdapat kalangan sahabat Nabi, baik dari kaum Muhajirin maupun
Anshar. Mereka turut mengangkat baiat
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib meskipun acara baiat yang dilakukan
penduduk Madinah telah selesai.
Keempat sifat pemilihan dan
pengangkatan khalifah itu menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai aspirasi
dan kehendak rakyat. Berbagai ragam aspirasi rakyat harus dipertimbangan dengan
matang melalui jalan musyawarah untuk menemukan mufakat agar keputusan yang
diambil relatif dapat memuaskan semua pihak.
Di Indonesia sifat pengangkatan
pemimpin (presiden) pernah dilakukan dalam 2 bentuk yaitu:
•
Pemilihan tidak langsung;
yakni pemilihan melalui perwakilan Ahlul
Halli Wal’aqdi (DPR/MPR) yang berhak menentukan dan memutuskan segala hal
yang menyangkut kehidupan rakyat, termasuk umat Islam.
•
Pemilihan secara langsung;
yakni suatu pemilihan yang dilakukan langsung oleh seluruh rakyat. Setiap warga
negara dan warga masyarakat berhak memilih langsung dan memberikan dukungannya
sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Pemilihan langsung ini pertama kali
dilakukan pada tahun 2004 setelah berpuluh-puluh tahun lamanya dilakukan melalui
lembaga perwakilan sejak 18 Agustus 1945. Yakni pemilihan Soekarno menjadi
Presiden pertama Indonesia melalui musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
•
Kedua bentuk pemilihan
tersebut relatif bersesuaian dengan bentuk pemilihan khalifah seperti contoh
dalam sejarah pemilihan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Setidaknya dari segi
sifatnya yang langsung dan tak langsung
Sigah
Mubaya’ah (kalimat baiat atau pengangkatan Khalifah)
Setelah terpilih seorang pemimpin,
baik melalui pemilihan langsung maupun tak langsung atau melalui lembaga
perwakilan, selanjutnya ia dilantik atau dibaiat dengan misalnya mengucapkan
kalimat sebagai berikut : “Kami angkat
engkau menjadi khalifah untuk menjalankan agama Allah dan Rasul-Nya, dan kami
akan taat kepada perintahmu selama engkau menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya”
Kalau mengutip kalimat baiat atau
sumpah janji yang biasa diucapkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah
sebagai berikut :
•
Sumpah Presiden : “Demi
Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya
serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
•
Janji Presiden : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa.”
Setelah khalifah terpilih diambil
sumpahnya, selanjutnya ia dipersilahkan menyampaikan pidato perdananya seperti
yang dilakukan khalifah Abu Bakar Shidiq sebagai berikut :
Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pemimpin
atas kalian padahal aku bukanlah yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan,
bantulah aku. Jika aku bertindak keliru, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah,
sementar dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian
sesungguhnya kuat di sisiku, hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya
insya Allah. Sebaliknya barang siapa yang kuat di antara kalian maka dialah
yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain
yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali
Allah akan timpakan kepada mereka kahinaan. Tidaklah suatu kekejian tersebar di
suatu kaum kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut.
Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika aku
tidak mematuhi keduanya maka kalian tidak ada kewajiban taat terhadapku
Pidato jabatan khalifah itu sangat
singkat. Tetapi mencerminkan dasar-dasar yang sangat baru dalam sejarah
kepemimpinan suatu bangsa. Ketika pada saat itu para kaisar imperium Romawi dan
Persia saling beradu kekuasaan dan wewenang yang absolut, maka khalifah Abu
Bakar justru menampilkan karakteristik kepemimpinannya yang egaliter. Sekaligus
ini merupakan bukti kontinyuitas pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang
telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Berangkat dari sikap seperti
itulah sayogyanya seorang khalifah memulai menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin agama dan pemimpin bangsa dan negara. Sehingga dengan demikian
kepemimpinannya layak untuk diikuti rakyat.
Kewajiban dan Hak Rakyat
Kewajiban
Rakyat
Setelah rakyat memilih dan
mengambil sumpah khalifah, maka rakyat mempunyai kewajiban, di antaranya
sebagai berikut:
Patuh dan taat kepada perintah
khalifah, sepanjang khalifah tersebut berpegang teguh kepada hukum- hukum Allah
SWT. dan Rasul-Nya, QS. An-Nisa: 59.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Mencintai tanah air dan
mempertahankannya dari ancaman dan gangguan musuh, dengan segala kekuatan dan
potensi yang ada, QS. Al-Baqarah(2): 193.
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَلَا عُدْوَٰنَ إِلَّا عَلَى
ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zalim.
Memelihara persatuan dan kesatuan, QS. Ali
‹Imran(3): 103.
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا
وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ
أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا
وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.
Hak
Rakyat
Islam melindungi menghormati dan
menjunjung tinggi hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu, baik yang
menyangkut kebutuhan immaterial maupun material dan hak yang menyangkut
keselamatan dan kesehatan jasmani, harta benda maupun kehormatannya. Siapa saja
yang memberi hak-hak hidupan seorang saja dinilai seakan-akan telah melakukan
perbaikan hidup seluruh umat manusia, demikianlah makna dari QS.Al Maidah(5);
32.
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ
إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى
ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ
أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ
ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi” (QS.
Al-Ma’idah:32)
Islam juga melarang untuk melakukan prasangka buruk
QS. Al Hujurat(49); 12
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا
تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ
ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”. (QS. Al-Hujurat:12).
Demikianlah Al-Qur’an telah
menggariskan panduan etik yang sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan
hak-haknya. Hak hidup merupakan hak paling mendasar yang wajib dijaga. Apabila
ini tak mampu dilakukan terhadap satu orang saja, ibarat telah mengabaikan hak
hidup seluruh manusia. Bahkan perbuatan menggunjing digambarkan sebagai
kekejian luar biasa yang melebihi pembunuhan fiisik seseorang. Sebab
menggunjing justru dapat mengakibatkan matinya eksistensi seseorang atau dengan
kata lain, menggunjing sebetulnya
merupakan pembunuhan karakter yang implikasinya bisa menyasar ke berbagai hak
lain dari seseorang yang meliputi :
1. Hak kemerdekaan pribadinya.
2. Hak kemerdekaan bertempat tinggal.
3. Hak kemerdekaan memiliki harta benda.
4. Hak kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
5. Hak kemerdekaan beragama.
6. Hak kemerdekaan belajar atau memperoleh pendidikan
7. Hak hidup dan jaminan keamanan.
Majlis Syura dalam Islam
Hal terpenting terkait majlis
syura ini adalah pelaksanaan musyawarah seperti yang diperintah Allah melalui
firmannya sebagai berikut :
وَشَاوِرْهُمْ
فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ
يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
...dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali
Imran:159)
Pengertian Majlis Syuro
Majlis
Syura menurut bahasa artinya tempat
musyawarah, sedangkan menurut istilah ialah lembaga permusyawaratan rakyat.
Atau dengan pengertian lembaga permusyawaratan atau badan yang ditugasi untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat melalui musyawarah. Dengan demikian majlis syura ialah suatu lembaga negara
yang bertugas memusyawarahkan kepentingan rakyat. Di negara kita dikenal dengan lembaga Majlis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).
Pada masa Rasulullah, belum ada
lembaga perwakilan seperti yang ada di negaranegara sekarang. Tetapi praktiknya
telah beliau kerjakan. Saat itu musyawarah dilakukan di mesjid atau di tempat
lain yang mereka kehendaki, Berbeda dengan zaman sekarang, manusia semakin
banyak jumlahnya, memiliki keinginan politik yang beragam, sehingga memerlukan
suatu lembaga resmi, tempat yang resmi dan tata tertib musyawarah atau sidang
yang detil agar dapat memenuhi tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Pengertian Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
Secara Bahasa, ahlul halli wal aqdi artinya orang yang berhak melepaskan (halli) dan mengikat (aqdi). Dikatakan “melepaskan” karena
merekalah yang menentukan untuk melepaskan atau tidak memilih orang-orang yang
tidak disepakati. Dikatakan “mengikat” karena kesepakatan mereka bisa mengikat
orang-orang yang memenuhi syarat dipilih untuk menduduki jabatan tertentu.
Sedangkan secara istilah, seperti
yang dikatakan Al-Mawardi, arti ahlul
halli wal aqdi adalah sekelompok orang yang melakukan musyawarah untuk
memutuskan masalah yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Dengan
demikian, ahlul halli wal aqdi dapat dikatakan sebagai wakil masyarakat yang
bertugas untuk mencari solusi atas berbagai persoalan mereka demi kemaslahatan
hidupnya. Mengingat akan tugas yang
demikian, maka kelompok ini setidaknya terdiri dari orang-orang yang
berpengaruh di masyarakat, terutama karena pengetahuannya yang mendalam dan
kepeduliannya yang besar terhadap kepentingan masyarakat.
Ahlul Halli Wal’aqdi ialah anggota Majlis Syura sebagai wakil rakyat. Ahlul Halli Wal’aqdi di negara kita adalah para anggota legislatif.
Baik di tingkat pusat di DPR/MPR maupun di tingkat daerah yaitu DPRD. Meskipun ada beberapa pihak yang berpendapat
bahwa antara anggota legislatif dengan ahlul halli wal aqdi ini tidak
sepenuhnya sama. Para ulama diantaranya Imam Fahruddin Ar Razi menyatakan bahwa
anggota Ahlul Halli Wal’aqdi adalah
para alim ulama dan kaum cendikiawan yang dipilih langsung oleh mereka. Dengan
demikian, Ahlul Halli Wal’aqdi harus
mencakup dua aspek penting, yaitu: mereka harus terdiri dari para ilmuwan dan
alim ulama serta mendapat kepercayaan dari rakyat.
Syarat-syarat menjadi Anggota
Majlis Syura
Anggota Majlis Syura merupakan
orang-orang yang memiliki hak untuk mengangkat khalifah atas mandat dari
rakyat. Al-Mawardi menyebut mereka sebagai ahlul-ikhtiyar (orang yang mempunyai
keahlian melakukan daya-upaya). Oleh sebab itu, untuk dapat menjadi anggota
Majlis Syura haruslah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
• Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya
Memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang
berhak menjadi khalifah dan persyaratan-persyaratannya, serta untuk ijtihad di
dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.
Memiliki kecerdasan dan kearifan yang
menyebabkan ia mampu memilih khalifah yang paling maslahat, mampu, dan tahu
tentang kebijakan-kabijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Hak dan Kewajiban Anggota Majlis
Syura
Anggota
Majlis Syura, sebagaimana layaknya seorang wakil rakyat memiliki hak dan
kewajiban. Menurut Djazuli berdasarkan kajiannya atas berbagai pendapat ulama,
di antaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha dan Abul A’la Al-Maududi, adalah sebagai berikut:
1. Hak-hak anggota majlis syura :
2. Memilih dan membaiat khalifah terpilih
3. Mengarahkan kehidupan masyarakat pada kemaslahatan
4. Membuat undang-undang dalam berbagai hal yang tidak diatur
secara tegas dalam Alquran dan hadis
5. Memberi pertimbangan kepada khalifah dalam menentukan
kebijakannya
6. Mengawasi jalannya pemerintahan
7. Kewajiban anggota majlis syura :
8. Memberikan kekuasaan kepada khalifah
9. Mempertahankan negara dan undang-undang sesuai syariat Islam
10. Melaksanakan syariat Islam (sesuai Alquran, hadis, ijma’, qiyas,
dan lain-lain)
11. Mengatur dan menertibkan kehidupan masyarakat
12. Menegakkan keadilan
Syarat Pengangkatan Pemimpin oleh
majlis Syura
Masalah kepemimpinan dalam Islam
merupakan amanah yang harus
dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Rasulullah bersabda bahwa pada
hakikatnya setiap individu adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggung
jawaban atas kepemimpinannya itu. Maka tugas membangun pemerintahan yang baik
bukan hanya dilakukan penguasa, tetapi rakyat juga ikut menentukan arah
pemerintahan tersebut.
Menjadi sangat penting untuk
diperhatikan dalam persoalan pengangkatan pemimpin adalah firman Allah sebagai
berikut:
إِنَّ
ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa:58)
Berdasarkan ayat tersebut, ada 5
syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk
menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai berikut :
•
Pemberian jabatan (amanah) kepada orang terbaik (ahlinya)
Memilih seorang pemimpin harus
diperhatikan apakah dia dapat dipercaya
dan memahami akan tugas dan fungsinya. Jika memilih seseorang disebabkan karena
adanya hubungan kekerabatan, hubungan saudara, kesamaan golongan, dan
kepentingan politis seperti bagi-bagi
“kue kekuasaan”, suap, hubungan kesukuan
dan lain sebagainya, maka hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap
Allah, Rasulullah, dan masyarakat luas.
•
Membangun hukum yang adil
Berlaku adil merupakan perintah
Allah, keadilan mencakup semua aspek kehidupan baik sosial, politik, budaya,
ekonomi dan sebagainya. Keadilan harus ditegakkan di dalam setiap aspek
kehidupan, dari mulai penegakan hukum, pembagian harta seperti ghanimah, zakat,
fa’i dan kekayaan negara lainnya yang harus di salurkan dengan tepat dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu Allah SWT memberikan
balasan yang cukup besar bagi pemimpin yang adil, Abu Hurairah r.a meriwayatkan
bahwa Nabi SAW bersabda ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari
Allah di hari kiamat nanti dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya dan
salah satu golongan dari ketujuh golongan itu adalah pemimpin yang adil.
•
Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat (legitimasi)
Keberhasilan suatu kepemimpinan
bukan hanya tugas para penguasa, masyarakat pun ikut berperan aktif dalam
mewujudkan hal tersebut. Islam sangat menyadari seorang pemimpin tidak akan
mampu melakukan apapun tanpa adanya dukungan dari masyarakatnya. Oleh karena itu dalam Islam masyarakat harus
memberikan ketaatan dan kepercayaannya kepada pemerintah sehingga menghadirkan
pemerintahan yang legitimate. Allah
berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa:59)
Karakter
kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang merepresentasikan kedaulatan
rakyat. Mandat kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun
dipilih oleh rakyat. Kedaulatan hakiki memang milik Tuhan namun dalam konteks kehidupannya,
manusia telah diberi hak oleh Allah sebagai khalifah di muka bumiyang
dapat ditemukan tautannya dengan Allah dan Rasul-Nya sehingga layak untuk Tentu
saja kekhalifahan yang dimaksud adalah kekhalifahan ditaati, sebagaimana
tercermin dalam bunyi ayat 59 surah An-Nisa’ di atas.
•
Ketaatan tidak boleh dalam kemaksiatan
Terkadang ada polemik di
masyarakat tentang apakah masih ada kewajiban untuk mematuhi pemimpin yang
mendurhakai Allah atau tidak. Pemimpin yang telah dipilih dan menurut
Undang-undang dinilai telah memenuhi syarat kepemimpinan untuk melaksanakan
amanat rakyat. Apabila pemimpin melakukan penyimpangan dan tidak mengindahkan
nasihat dan peringatan serta tetap melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka
tidak boleh menyetujui perbuatannya, apalagi mentaatinya. Namun sebagai warga
negara, tetap harus mengakui eksistensi pemerintahannya.
•
Konstitusi yang berlandaskan alquran dan as-sunah
Salah satu cara untuk
menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan baik menurut alQur’an adalah
mengembalikan segala urusan berdasarkan Alquran dan Hadis. Allah berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ” (QS. An-Nisa’:59)
Artinya al-Qur’an dan sunnah harus
menjadi rujukan utama dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi didalam
negara, di samping berbagai rujukan lainnya yang secara substantif tidak
bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Menurut pendapat Ibnu Thaimiyyah,
tugas utama negara ada dua, Pertama,
menegakkan syariat, dan kedua,
menciptakan sarana untuk menggapai tujuan tersebut.
Negara harus menjadi sarana yang baik bagi makhluk Allah SWT untuk melaksanakan perintah
dan menjauhi larangannya dimuka bumi. Ada beberapa alasan penting yang membuat
negara dan pemerintahan memiliki kedudukan yang penting dalam Islam berdasarkan
al-Qur’an dan as-Sunnah. Yaitu:
1. Al-Qur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanannya
membutuhkan institusi negara dan pemerintahan.
2. Al-Quran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek akidah,
syariah, dan akhlak yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum
muslimin. Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip tersebut tidak pelak
membutuhkan intervensi dan peran negara.
3. Adanya ucapan dan perbuatan nabi yang dipandang sebagai bentuk
pelaksanaan tugas-tugas negara dan pemerintahan. Nabi mengangkat gubernur,
hakim, panglima perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan pajak (fiskal),
mengatur pembelanjaan dan keuangan negara (moneter), menegakkan hudud, mengirim
duta, dan melakukan perjanjian dengan negara lain.
Selain itu, hal ikhwal
kepemimpinan (khilafah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan para ahli
fikih di dalam kitab-kitab mereka sepanjang sejarah. Fakta tesebut menunjukkan
bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama karena agama merupakan fitrah. Oleh karena itu nilai-nilai dan tujuan agama
(Islam) harus diterapkan dalam setiap kebijakan negara termasuk penerapan
konstitusi. Sebagai negara beragama, Indonesia memiliki konstitusi (UUD 1945)
yang dijiwai oleh nilai-nilai agama, termasuk Islam.
Sikap Pemerintahan Islam Terhadap Non Muslim
Non Muslim yang menjadi warga
negara pemerintahan Islam akan mendapatkan perlakuan sama dengan kaum
Muslim. Hak mereka sebagai warga negara
dijamin penuh oleh negara Islam. Namun,
mereka juga harus menunaikan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ketentuan
yang telah digariskan oleh konstitusi dan undang-undang negara. Adapun sikap
pemerintahan Islam terhadap non Muslim dapat dijelaskan melalui empat kategori
sebagai berikut :
•
Dzimmi
Non Muslim (kafir) dzimmi adalah kelompok yang mendapat jaminan Allah dalam hak dan
hukum negara. Kelompok ini mendapat perlakuan hukum dan hak yang sama dengan
kaum Muslim. Baik hak politik, sosial, ekonomi, ketentaraan, pendidikan, bebas
melaksanakan ibadah sesuai ajaran agamanya, dan hak-hak lain sebagaimana
layaknya warga negara.
•
Musta’man
Non Muslim Musta’man
adalah kelompok agama lain yang meminta perlindungan keselamatan dan keamanan
terhadap diri dan hartanya. Terhadap kelompok ini tidak diberlakukan hak dan
hokum negara. Adapun diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala macam
bentuk ancaman selama mereka masih dalam perlindungan pemerintahan Islam.
•
Mu’ahadah
Non Muslim Mu’ahadah
adalah kelompok agama lain yang melakukan perjanjian damai dan menjalin
hubungan persahabatan antar negara. Baik disertai dengan perjanjian akan
bantu-membantu, saling membela, ataupun tidak.
•
Harbi
Non Muslim Harbi
adalah kelompok agama lain yang bersikap memusuhi, mengganggu keamanan dan
ketenteraman, bersikap zalim, suka menghasut atau melakukan provokasi, membuat
fitnah dan kekacauan, tidak mengamalkan
agamanya, Terhadap kelompok ini
pemerintah dibenarkan untuk melawan, mengambil tindakan tegas dan memeranginya.
Hal ini dilakukan demi mencegah dan menghentikan sikap mereka yang bersifat destruktif.
RANGKUMAN
Khilafah berarti struktur pemerintah yang pelaksanaannya diatur
berdasarkan syariat Islam. Khilafah juga
dapat disebut dengan Imamah atau Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah
disebut Khalifah, pemegang kekuasaan Imamah disebut Imam, dan pemegang kekuasaan Imarah
disebut Amir. Sejarah khilafah
dimulai dari khalifah Abu Bakar Assidiq. Dasar-dasar khilafah ada 4 yaitu 1.
dasar kejujuran, keikhlasan, tanggungjawa, 2. Dasar keadilan, 3. Dasar tauhid,
4. Dasar kedaulatan rakyat. Dalam
penerapan kehalifahan maka dibentuk Majlis Syura menurut bahasa artinya tempat musyawarah, sedangkan menurut
istilah ialah lembaga permusyawaratan rakyat
dalam Majlis syuro ada Ahlul Halli Wal’aqdi harus mencakup tiga aspek
penting, yaitu; mereka harus terdiri dari para ilmuwan, alim ulama, dan
mendapat kepercayaan dari rakyat. Khalifah dapat dipilih rakyat secara langsung
dan tidak langsung. Kekhalifahan Islam melindungi seluruh warga negaranya tanpa
kecuali, termasuk Non Muslim. Kecuali mereka, siapapun saja, yang destruktif tidak akan mendapat
perlindungan