BAB IV
PERADILAN ISLAM
Kompetensi
Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam.
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun,
responsif dan pro
-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan social dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan
kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajianm
yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan.
4. Mengolah,
menalar, dan menyaji dalam ranah konkrit dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah
secara mandiri, dan mampu menggunakan metode
sesuai kaidah keilmuan.
Kompetensi
Dasar
2.4. Menunjukkan sikap patuh pada
hukum
3.4. Menganalisis ketentuan Islam
tentang peradilan dan hikmahnya
4.4.
Mempraktikkan contoh penerapan ketentuan Islam tentang peradilan
Indikator
Pembelajaran
1.
Siswa
dapat menjelaskan pengertian peradilan
2.
Siswa
dapat menjelaskan fungsi peradilan
3.
Siswa
dapat menjelaskan hikmah peradilan
4.
Siswa
dapat menjelaskan pengertian hakim
5.
Siswa
dapat menyebutkan syarat-syarat hakim
6.
Siswa
dapat menjelaskan tata cara menentukan hukuman
7.
Siswa
dapat menjelaskan cara memeriksa terdakwa dan terdakwa yang tidak hadir di
persidangan
8.
Siswa
dapat menjelaskan tujuan sumpah
9. Siswa dapat menyebutkan syarat–syarat
orang yang bersumpah
PERADILAN DALAM ISLAM
I. PERADILAN
a. Pengertian Peradilan
Peradilan
dalam pembahasan fikih diistilahkan dengan qodho’ (قضَاءٌ). Istilah
tersebut diambil dari kata قضَى-يقَضِى
yang memiliki arti memutuskan, menyempurnakan, menetapkan. Adapun secara makna
terminologi, peradilan adalah suatu lembaga pemerintah atau negara yang
ditugaskan untuk menyelesaikan atau menetapkan keputusan perkara dengan adil
berdasarkan hukum yang berlaku.
Tempat
untuk mengadili perkara disebut pengadilan. Orang yang bertugas mengadili
perkara disebut qadhi atau hakim. Dengan demikian, hukum yang dijadikan dasar
peradilan Islam adalah hukum Islam.
b. Fungsi Peradilan
Sebagai
lembaga negara yang ditugasi untuk memutuskan setiap perkara dengan adil, maka
peradilan harus memainkan fungsinya dengan baik. Diantara fungsi terpenting
peradilan adalah:
1. Menciptakan ketertiban dan ketentraman
masyarakat.
2. Mewujudkan keadilan yang menyeluruh
bagi seluruh lapisan masyarakat.
3. Melindungi jiwa, harta, dan kehormatan
masyarakat.
4. Mengaplikasikan nilai-nilai amar
makruf nahi munkar, dengan menyampaikan hak kepada siapapun yang berhak
menerimanya dan menghalangi orang-orang dzalim dari tindak aniaya yang akan
mereka lakukan.
c. Hikmah Peradilan
Sesuai
dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan
adanya lembaga peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat besar bagi kehidupan umat, yaitu:
1. Terwujudnya masyarakat yang bersih,
karena setiap orang terlindungi haknya dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh
sahabat Jabir bin Abdillah dimana beliau Saw. menjelaskan bahwa satu masyarakat
tidak dinilai bersih, jika hak orang-orang yang lemah diambil orang-orang yang
kuat.
2. Terciptanya aparatur pemerintahan yang
bersih dan berwibawa, karena masyarakat telah menjelma menjadi masyarakat
bersih.
3. Terwujudnya keadilan bagi seluruh
rakyat. Artinya setiap hak orang dihargai dan dilindungi. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن
تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ
Artinya:
“(Allah menyuruh kamu) apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah
kamu (menetapkan) hukum itu dengan adil (QS.An Nisa’: 58)
4. Terciptanya ketentraman, kedamaian,
dan keamanan dalam masyarakat.
5. Dapat mewujudkan suasana yang
mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT bagi semua pihak. Allah
Swt. berfirman :
ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
Artinya:
“Berlaku adillah kamu sekalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.”
(QS. Al-Maidah
: 8)
II. HAKIM
a. Pengertian Hakim
Hakim
adalah orang yang diangkat pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan
memutuskan hukum suatu perkara dengan adil. Dengan kata lain, hakim adalah
orang yang bertugas untuk mengadili. Ia mempunyai kedudukan yang terhormat
selama ia berlaku adil.
Terkait
dengan kedudukan hakim, Rasulullah menjelaskan dalam salah satu sabda beliau
yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi:
Artinya:
“Apabila hakim duduk di tempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil) maka dua
malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak menyeleweng.
Apabila menyeleweng maka kedua malaikat akan meninggalkannya.
(H.R.
Baihaqi)
b. Syarat-syarat Hakim
Karena
mulianya tugas seorang hakim dan beratnya tanggung jawab yang dipikulkan di
atas pundaknya demi terwujudnya keadilan, maka seorang hakim harus memenuhi
beberapa kriteria berikut:
1. Beragama Islam. Karena permasalahan
yang terkait dengan hukum Islam tidak bisa dipasrahkan kepada hakim non muslim.
2. Aqil baligh sehingga bisa membedakan
antara yang hak dan yang bathil
3. Sehat jasmani dan rohani.
4. Merdeka (bukan hamba sahaya). Karena
hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri apalagi terhadap
orang lain.
5. Berlaku adil sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran
6. Laki-laki.
7. Memahami hukum dalam Al-Qur’an dan
hadis.
8. Memahami ijma’ ulama serta perbedaan
perbedaan tradisi umat.
9. Memahami bahasa Arab dengan baik,
karena berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk memutuskan hukum mayoritas
berbahasa Arab.
10. Mampu berijtihad dan menguasai metode
ijtihad, karena tak diperbolehkan baginya taqlid.
11. Seorang hakim harus dapat mendengarkan
dengan baik, karena seorang yang tuli tidak bisa mendengarkan perkataan atau
pengaduan dua belah pihak yang bersengketa.
12. Seorang hakim harus dapat melihat.
Karena orang yang buta tidak bisa mendeteksi siapa yang mendakwa dan siapa yang
terdakwa.
13. Seorang hakim harus mengenal baca
tulis.
14. Seorang hakim harus memiliki ingatan
yang kuat dan dapat berbicara dengan jelas, karena orang yang bisu tidak
mungkin menerangkan keputusan, dan seandainyapun ia menggunakan isyarat, tidak
semua orang bisa memahami isyaratnya.
c. Macam-macam Hakim dan Konsekuensinya
Profesi
hakim merupakan profesi yang sangat mulia. Kemuliaannya karena tanggung
jawabnya yang begitu berat untuk senantiasa berlaku adil dalam memutuskan
segala macam permasalahan. Ia tidak boleh memiliki tendensi kepada salah satu
pendakwa atau terdakwa. Jika ia melakukan tindak kedzaliman kala menetapkan
perkara maka ancaman hukuman neraka telah menantinya.
Simpulannya,
kompensasi yang akan didapatkan oleh seorang hakim yang adil adalah surga Allah
Ta’ala. Sebaliknya, hakim yang dzalim akan mendapatkan kesudahan yang buruk
dimana ia akan distatuskan sebagai penghuni neraka. Hal ini sebagaimana
Rasulullah sampaikan dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berikut:
Artinya:
“Hakim ada tiga macam. Satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui
kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga,
hakim yang mengetahui kebanaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan
kebenaran ia masuk neraka, dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya,
maka ia masuk neraka.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
d. Tata Cara Menentukan Hukuman
Orang
yang mendakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya
sampai selesai. Sementara itu terdakwa (tertuduh) diminta untuk mendengarkan
dan memperhatikan tuduhannya dengan sebaikbaiknya sehingga apabila tuduhan
sudah selesai, terdakwa bisa menilai benar tidaknya tuduhan tersebut.
Sebelum
dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan, hakim tidak boleh bertanya kepada pendakwa,
sebab dikhwatirkan akan memberikan pengaruh positif atau negatif kepada
terdakwa.
Setelah pendakwa selesai menyampaikan
tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan-tuduhan tersebut dengan beberapa
pertanyaan yang dianggap penting. Selanjutnya, tuduhan tersebut harus
dilengkapi dengan bukti-bukti yang benar.
Jika
terdakwa menolak dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka ia harus bersumpah
bahwa dakwaan tersebut salah. Rasulullah sampaikan hal ini dalam salah satu sabda beliau:
Artinya:
“Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah“ (HR
Baihaqi)
Jika
pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan sesuai
dengan tuduhan, meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya, jika terdakwa
mampu mementahkan bukti-bukti pendakwa dan menegaskan bahwa bukti-bukti itu
salah, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa dan membenarkannya.
Kemudian
yang perlu diperhatikan juga, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan vonis hukuman
dalam beberapa keadaan berikut:
1. Saat marah
2. Saat lapar
3. Saat kondisi isiknya tidak stabil
karena banyak terjaga (begadang)
4. Saat sedih
5. Saat sangat gembira
6. Saat sakit
7. Saat sangat ngantuk
8. Saat sedang menolak keburukan yang
tertimpakan padanya
9. Saat merasakan kondisi sangat panas
atau sangat dingin
Kesembilan
keadaan inilah yang menyebabkan ijtihad hakim tidak maksimal. Karenanya, hakim
dilarang memutuskan perkara dalam keadaan-keadaan tersebut. Ia dituntut untuk
senantiasa menggulirkan berbagai keputusan seadil-adilnya dan seobyektif
mungkin.
e. Kedudukan Hakim Wanita
Madzhab
Maliki, Sya i’i dan Hambali tidak membolehkan pengangkatan hakim wanita.
Sedangkan Imam Hana i membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk menyelesaikan
segala urusan kecuali urusan had dan qishash. Bahkan Ibnu Jarir ath-Thabari
membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk segala urusan seperti halnya hakim
pria. Menurut beliau, ketika wanita dibolehkan memberikan fatwa dalam segala
macam hal, maka ia juga mendapatkan keleluasaan untuk menjadi hakim dan
memutuskan perkara apapun.
III.
SAKSI
a. Pengertian Saksi
Saksi
adalah orang yang diperlukan pengadilan untuk memberikan keterangan yang berkaitan
dengan suatu perkara, demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam
pengadilan.
Tidak
dibolehkan bagi saksi memberikan keterangan palsu. Ia harus jujur dalam
memberikan kesaksiannya. Karena itu, seorang saksi harus terpelihara dari
pengaruh atau tekanan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam sidang peradilan.
Pada
dasarnya saksi dihadirkan agar proses penetapan hukum dapat berjalan maksimal.
Saksi diharapkan dapat memberikan kesaksian yang sebenarnya, sehingga para
hakim dapat mengadili terdakwa sesuai dengan bukti-bukti yang ada, termasuk
keterangan dari para saksi. Sampai titik ini kita bisa memahami bahwa saksi
juga merupakan salah satu alat bukti disamping bukti-bukti yang lain.
b. Syarat-syarat Menjadi Saksi
1. Islam.
2. Sudah dewasa atau baligh sehingga
dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil.
3. Berakal sehat.
4. Merdeka (bukan seorang hamba sahaya).
5. Adil. Sebagaimana firman Allah dalam surat aṭ-Talaq ayat 2:̣
وَأَشْهِدُوا۟
ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang yang adil diantara kamu (QS. At ̣Tallaq : 2)̣
Untuk
dapat dikatakan sebagai orang yang adil, saksi harus memiliki kriteria-kriteria
sebagai berikut:
1. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
besar
2. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
kecil
3. Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah
4. Dapat mengendalikan diri dan jujur
saat marah
5. Berakhlak mulia
Mengajukan
kesaksian secara suka rela tanpa diminta oleh orang yang terlibat dalam suatu
perkara termasuk akhlak terpuji dalam Islam. Kesaksian yang demikian ini
merupakan kesaksian murni yang belum dipengaruhi oleh persoalan lain.
Rasulullah bersabda:
Artinya:
"Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? ia adalah orang
yang menyampaikan kesaksiannya sebelum diminta" (HR. Muslim)
c. Saksi yang ditolak
Jika
saksi tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kesaksiannya harus ditolak.
Kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya adalah:
1. Saksi yang tidak adil.
2. Saksi seorang musuh kepada musuhnya.
3. Saksi seorang ayah kepada anaknya.
4. Saksi seorang anak kepada ayahnya.
5. Saksi orang yang menumpang di rumah
terdakwa
IV.
PENGGUGAT DAN BUKTI (BAYYINAH)
a. Pengertian Penggugat
Materi
yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara, dalam proses
peradilan disebut gugatan. Sedangkan penggugat adalah orang yang mengajukan
gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat)
Penggugat
dalam mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan kebenaran gugatannya dengan
menyertakan bukti-bukti yang akurat, saksisaksi yang adil atau dengan melakukan
sumpah. Ucapan sumpah dapat diucapkan dengan kalimat semisal: “Apabila gugatan
saya ini tidak benar, maka Allah akan melaknat saya”.
Ketiga
hal tersebut (penyertaan bukti-bukti yang akurat, saksi-saksi yang adil, dan
sumpah) merupakan syarat diajukannya sebuah gugatan.
b. Pengertian Bukti (Bayyinah)
Barang
bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat untuk memperkuat
kebenaran dakwaannya. Bukti-bukti tersebut dapat berupa suratsurat resmi,
dokumen, dan barang-barang lain yang dapat memperjelas masalah terhadap
terdakwa.
Terkait dengan
hal ini Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya:
“Dari Jabir bahwasannya ada dua orang yang bersengketa tentang seekor unta
betina masing-masing orang diantara keduanya mengatakan : “ Peranakan unta ini
milikku” dan ia mengajukan bukti. Maka Rasulullah saw memutuskan bahwa unta ini
miliknya.
c. Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan
Terdakwa
yang tidak hadir dalam persidangan harus terlebih dahulu dicari tahu sebab
ketidak hadirannya. Menurut imam Abu Hanifah mendakwa orang yang tidak ada atau
tidak hadir dalam persidangan diperbolehkan. Allah Swt. ber irman:
فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ
Artinya: "Maka berilah keputusan
(perkara) diantara manusia dengan adil" (QS. Sạ̄ d: 26)
Nabi
Muhammad saw pernah memberi keputusan atas pengaduan istri Abu Sufyan, sedang
kala itu Abu sufyan tidak hadir dalam persidangan. Rasulullah bersabda kepada
istri Abu Sofyan:
خُذِى مَا يَكْفِيْكِ (رواه البخاري ومس)
Artinya: "Ambillah yang mencukupimu"
(HR. Bukhari Muslim)
V.
TERGUGAT DAN SUMPAH
a. Pengertian Tergugat
Orang
yang terkena gugatan dari penggugat disebut tergugat. Tergugat bisa membela
diri dengan membantah kebenaran gugatan melalui dua cara:
•
Menunjukkan
bukti-bukti
•
Bersumpah
Rasulullh saw
bersabda :
Artinya:
"Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah“ (HR
al-Baihaqi)
Dalam peradilan
ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami:
•
Materi
gugatan disebut hak
•
Penggugat
disebut mudda’i
•
Tergugat
disebut mudda’a ‘alaih
•
Keputusan
mengenai hak penggugat disebut mahkum bih
•
Orang
yang dikenai putusan untuk diambil haknya disebut mahkum bih (istilah ini bisa
jatuh pada tergugat sebagaimana juga bisa jatuh pada penggugat)
b. Tujuan Sumpah
Tujuan sumpah
dalam perspektif Islam ada dua, yaitu:
1. Menyatakan tekad untuk melaksanakan
tugas dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut
2. Membuktikan dengan sungguh-sungguh
bahwa yang bersangkutan di pihak yang benar
Tujuan
sumpah yang kedua inilah yang dilakukan di pengadilan. Sumpah tergugat adalah
sumpah yang dilakukan pihak tergugat dalam rangka mempertahankan diri dari
tuduhan penggugat. Selain sumpah, tergugat juga harus menunjukkan bukti-bukti
tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan hakim bahwa dirinya memang benar-benar
tidak bersalah.
c. Syarat-syarat Orang yang Bersumpah
Orang yang
bersumpah harus memenuhi tiga syarat berikut:
1. Mukallaf
2. Didorong oleh kemauan sendiri tanpa
ada paksaan dari siapapun
3. Disengaja bukan karena terlanjur dan
lain-lain
d.
Lafadz-lafadz Sumpah
.4َ
Ada
tiga lafadz yang bisa digunakan untuk bersumpah, yaitu: (والله بالله ثالله)Arti
ketiga lafadz tersebut adalah “Demi
Allah”. Rasulullah pernah bersumpah dengan menggunakan lafadz Wallahi, sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat berikut:
Artinya: “
Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi kaum quraisy. Kalimat ini belia
ulangi tiga kali. (HR. Abu Daud)
e. Pelanggaran Sumpah
Konsekuensi
yang harus dilakukan oleh seseorang yang melanggar sumpah adalah membayar kaffarah yamin (denda pelanggaran
sumpah) dengan memilih salah satu dari ketiga ketentuan berikut:
1. Memberikan makanan pokok pada sepuluh
orang miskin, dimana masingmasing dari mereka mendapatkan ¾ liter.
2. Memberikan pakaian yang pantas pada
sepuluh orang miskin.
3. Memerdekakan hamba sahaya.
Jika
pelanggar sumpah masih juga tidak mampu membayar kaffarah dengan melakukan
salah satu dari tiga hal di atas, maka ia diperintahkan untuk berpuasa tiga
hari. Sebagaimana hal ini Allah jelaskan dalam firman-Nya:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ
Artinya:
“Maka kafarat ( melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari (QS.
Al-Maidah : 89)
RANGKUMAN MATERI
•
Peradilan
adalah suatu lembaga
pemerintahan/negara yang ditugaskan
untuk menyelesaikan/menetapkan
keputusan atas setiap
perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku. Pembahasan peradilan
meliputi hakim, saksi, penggugat dan tergugat, barang bukti dan sumpah.
•
Hakim
adalah orang yang diangkat oleh
pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum suatu perkara
dengan adil. Macam-macam hakim
ada tiga, satu masuk surga dan dua masuk neraka.
•
Saksi adalah
orang yang diperlukan
oleh pengadilan untuk
memberikan keterangan yang
berkaitan dengan suatu perkara
demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pangadilan.
•
Penggugat
adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan
oleh pihak tergugat (orang yang digugat).
•
Bukti atau
bayinah adalah segala
sesuatu yang ditunjukkan
oleh penggugat untuk
memperkuat kebenaran dakwaannya.
•
Tergugat
adalah orang yang terkena
gugatan dari penggugat.
•
Tujuan
sumpah ada dua yaitu menyatakan
tekat untuk melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan
bertanggung jawab terhadap tugas tersebut, membuktikan dengan sungguh-sungguh
bahwa yang bersangkutan berada di ihak yang benar.
•
Tujuan sumpah
yang kedua inilah yang
dilakukan di pengadilan. Sumpah
tergugat adalah sumpah yang dilakukan oleh tergugat dalam rangka
mempertah ankan diri dari tuduhan
penggugat disamping harus
menunjukkan bukti-bukti
tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan.
TUGAS PERTEMUAN II
PERADILAN ISLAM
1. Apakah hukuman yang diputuskan dalam persidangan kasus
korupsi
akhir-akhir ini sudah mencerminkan aplikasi nilai-nilai keadilan?
Jelaskan pendapatmu!
2. Jelaskan pendapatmu tentang kesaksian anak yang belum
baligh dalam
persidangan!
3. Jika penggugat mempunyai bukti bahwa tergugat melanggar
aturan,
akan tetapi tergugat berani bersumpah atas nama Allah bahwa dia
tidak melakukan hal yang dituduhkan padanya, manakah diantaranya keduanya
yang
dimenangkan?
Kirimkan Jawabamu melalui wapri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar