Rabu, 06 Januari 2021

BAB VI KEPEMILIKAN

 KEPEMILIKAN

Islam mengatur bagaimana seseorang beribadah, bertransaksi, berkeluarga dan bersosial. Sebuah maqālah mengatakan “berhati-hatilah dalam bertransaksi”, ini menunjukkan bahwa yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana cara bertransaksi yang benar sesuai dengan ajaran agama Islam. Karena dalam ibadah, Allah Swt. akan mengampuni siapa saja yang dikehendaki, tapi dalam transaksi Allah Swt. hanya akan mengampuni kepada orang yang sudah mendapatkan kerelaan dari partner transaksinya. Agama Islam sangat menganjurkan seseorang untuk menggunakan apa yang hanya menjadi miliknya atau milik orang dengan izin. Suatu barang akan sepenuhnya menjadi milik seseorang setelah adanya proses kepemilikan. Secara umum, kepemilikan terbagi menjadi kepemilikan utuh dan kepemilikan tidak utuh. Kepemilikan. Kepemilikan tidak utuh terbagi lagi menjadi kepemilikan barang dan kepemilikan manfaat. Dalam bab ini, akan dijelakan definisi, pembagian dan sebab-sebabnya.

 KOMPETENSI INTI

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

2. Menunjukan perialku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja

sama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humanoria dengan wawasan kemanusian, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

4. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

KOMPETENSI DASAR

1.6 Menghayati konsep tentag akad, kepemilikan harta benda dan ‘ihyaaul mawaat

2.6. Mengamalkan sikap tanggung jawab sebagai implementasi dari mempelajari konsep

akad, kepemilikan harta benda dan ‘ihyaaul mawaat

3.6. menganalisis konsep akad, kepemilikan harta benda dan ‘ihyaaul mawaat

4.6. menyajikan konsep akad, kepemilikan dan ‘ihyaaul mawaat

 

PETA KONSEP




 MATERI PEMBELAJARAN

A.    KEPEMILIKAN (MILKIYYAH)

1.      DALIL

Dalil yang mendasari legalitas kepemilikan adalah firman Allah Swt. QS. Al-Aḥzāb (33) : 50

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَٰجَكَ ٱلَّٰتِىٓ ءَاتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ

“Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu”. (QS. AlAhzāb [33] : 50)

 

2.      DEFINISI

Kepemilikan adalah hubungan secara syariat antara harta dan seseorang yang menjadikan harta terkhusus kepadanya dan berkonsekuensi boleh ditasarufkan dengan segala bentuk tasaruf selama tidak ada pembekuan tasaruf. Seseorang yang mendapatkan harta dengan cara yang dilegalkan syariat maka harta tersebut terkhusus kepadanya, boleh dimanfaatkan dan ditasarufkan kecuali orang-orang yang dibekukan tasarufnya seperti anak kecil dan orang gila. Adapun tasaruf wali anak kecil dan wakil (dalam transaksi wakālah) terhadap suatu barang bukan atas nama kepemilikan, namun atas nama pergantian (niyābah) yang dilegalkan syariat.

3.      MACAM-MACAM KEPEMILIKAN

Macam-macam kepemilikan ada dua. Yakni kepemilikan utuh dan kepemilikan tidak utuh.

a.      Kepemilikan Utuh

Kepemilikan utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang sekaligus manfaatnya. Maka ia bebas mentasarufkan barang tersebut baik tasaruf terhadap barang dan manfaatnya seperti menjual, mewakafkan, menghibahkan dan mewasiatkan atau tasaruf terhadap manfaatnya saja seperti menyewakan dan meminjamkan.

Sebab-sebab kepemilikan utuh ada empat:

1)      Istīlā’ ‘Alā Al-Mubāḥ

Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang yang belum pernah berada dalam
kepemilikan seseorang dan tidak ada larangan syariat untuk memilikinya. Seperti
penangkapan ikan di laut, mengambil air dari sumber dan berburu hewan.
Syarat-syarat kepemilikan dengan cara istīlā’ ‘alā al-mubāḥ ada dua:

a)      Belum pernah berada dalam kepemilikan seseorang. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Saw:

“Barang siapa lebih dahulu (memiliki) barang yang belum pernah menjadi milik
orang islam maka barang tersebut menjadi miliknya”
. (HR. Abu Daud)

b)     Kesengajaan untuk memiliki. Jika tidak ada kesengajaan maka tidak
berkonsekuensi kepemilikan. Seperti burung yang masuk ke kamar seseorang.

2)      Al-‘Uqūd

Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara transaksi. Seperti transaksi hibah (pemberian), bai’ (jual beli), i’ārah (pinjam meminjam) dan yang lain. Sebab kepemilikan utuh berupa transaksi adalah hal yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan sebab-sebab lain yang jarang terjadi.

3)      Khalafiyyah

Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara pergantian. Baik berupa pergantian orang yang dikenal dengan istilah warisan, atau berupa pergantian barang yang dikenal dengan istilah ganti rugi (taḍmīn). Khalafiyyah ada dua macam:

a)      Warisan
Yaitu proses pemindahan kepemilikan secara otomatis dengan hukum syariat dari seseorang kepada ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan.

b)     Ganti Rugi (Taḍmīn)

Yaitu kewajiban ganti rugi atas barang, yang dibebankan kepada seseorang yang merusak barang orang lain.

4)      Tawallud Min Al-Mamlūk

Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang hasil dari apa yang dimiliki. Seperti buah dari pohon yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang dimiliki dan susu kambing dari kambing yang dimiliki.

b.      Kepemilikan Tidak Utuh

Kepemilikan tidak utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang atau manfaatnya saja.

1)      Kepemilikan Barang

Kepemilikan barang adalah kepemilikan seseorang terhadap barangnya saja. Yakni barangnya ia miliki, sedangkan manfaatnya milik orang lain. Seperti Ahmad berwasiat kepada Yasir untuk menempati rumah Ahmad selama Yasir hidup. Jika Ahmad meninggal, maka kepemilikan rumah (barangnya saja) berpindah kepada ahli waris Ahmad dengan sistem warisan. Sedangkan manfaat rumah milik Yasir selama ia hidup dengan sistem wasiat. Jika Yasir meninggal, maka kepemilikan rumah baik barang dan manfaatnya kembali kepada ahli waris Ahmad. Sehingga kepemilikan ahli waris Ahmad terhadap rumah setelah Yasir meninggal menjadi kepemilikan utuh, yakni kepemilikan terhadap barang sekaligus manfaanya. Sedangkan selama Yasir masih hidup, kepemilikan Ahli waris Ahmad terhadap rumah adalah kepemilikan tidak utuh. Karena kepemilikan mereka hanya kepemilikan terhadap barangnya saja yang berkonsekuensi tidak boleh memanfaatkan rumah (menempati) selama Yasir masih hidup.

2)      Kepemilikan Manfaat

Kepemilikan manfaat adalah kepemilikan seseorang terhadap manfaatnya saja sedangkan barangnya milik orang lain. Sebab-sebab kepemilikan manfaat ada empat:

a)      Transaksi Pinjam-Meminjam (I’ārah)

Pihak peminjam (musta’īr) tidak boleh meminjamkan barang pinjaman kepada orang lain. Karena transaksi i’ārah hanya sebuah perizinan untuk menggunakan manfaat barang. Sehingga ia tidak memiliki manfaat barang pinjaman, hanya boleh menggunakan manfaatnya saja.

b)     Transaksi Persewaan (Ijārah)

Pihak penyewa boleh meminjamkan atau menyewakan barang sewaan kepada orang lain. Karena transaksi ijārah adalah memberikan kepemilikan manfaat. Maka manfaat barang dalam transaksi ijārah milik penyewa selama waktu yang telah ditentukan. Namun pihak penyewa tidak boleh menjual barang sewaan karena ia tidak memiliki barangnya, hanya memiliki manfaatnya saja.

c)      Transaksi Wakaf

Pihak mauqūf ‘alaih (penerima wakaf) boleh menggunakan barang wakaf atau mempersilahkan orang lain untuk menggunakannya jika ada izin dari pihak wāqif (orang yang mewakafkan barang), karena wakaf adalah memberikan kepemilikan manfaat kepada mauqūf ‘alaih dengan cara pembekuan tasaruf pada fisiknya. Sehingga mauqūf ‘alaih tidak boleh menjual barang wakaf. Karena ia hanya memiliki manfaatnya saja, tidak memiliki barangnya.

d)      Transaksi Wasiat Manfaat

Seperti dalam contoh kepemilikan barang. Selama Yasir hidup, manfaat rumah milik yasir sedangkan fisik rumah milik ahli waris Ahmad.

3)      Selesainya Hak Pemanfaatan Barang

Hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai dengan tiga hal:

a)      Habisnya waktu yang telah disepakati dalam transaksi. Seperti transaksi persewaan barang dengan batas waktu satu bulan. Maka setelah satu bulan, pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan barang sewaan lagi. Karena hak pemanfaatannya telah selesai.

b)      rusaknya barang. Seperti barang sewaan atau barang pinjaman rusak dalam pertengahan waktu yang telah ditentukan.

c)      Meninggalnya pemilik barang. Artinya jika pemilik barang meninggal maka hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai. Ini berlaku jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi i’ārah, karena transaksi i’ārah termasuk akad jā’iz (transaksi yang tidak mengikat). Jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi ijārah maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai walaupun pemilik barang meninggal, karena transaksi ijārah termasuk akad lāzim (transaksi yang mengikat). Begitu juga jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi wasiat atau wakaf, maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai dengan meninggalnya pemilik barang. Karena hak pemanfaatan barang dalam transaksi wasiat baru dimulai setelah pemilik barang meninggal. Sedangkan hak pemanfaatan barang dalam akad wakaf tanpa batas waktu dan tidak bisa dinyatakan selesai karena pemilik barang meninggal.                                                                            

        B.     AKAD (TRANSAKSI)

1.      DALIL

Dalil yang mendasari legalitas akad adalah firman Allah Swt. QS. Al-Māidah (5) : 1

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Māidah [5] : 1)

2.       DEFINISI
Secara bahasa akad adalah hubungan antara beberapa hal. Secara istilah akad memiliki
dua makna, yakni makna umum dan makna khusus. Definisi akad secara umum adalah
rencana seseorang untuk mengerjakan sesuatu, baik atas dasar keinginan tunggal (satu
orang) seperti akad wakaf dan talak, atau butuh dua keinginan (dua orang) untuk
mewujudkannya seperti akad jual beli dan akad perwakilan. Adapun definisi akad secara khusus adalah ījāb dan qabūl dengan cara yang dilegalkan syariat dan berkonsekuensi terhadap barang yang menjadi obyek akad. Sehingga mengecualikan cara yang tidak dilegalkan syariat seperti kesepakatan untuk membunuh seseorang, maka tidak dinamakan akad.

3.      MACAM-MACAM AKAD

a.       Macam-macam akad berdasarkan obyek akad ada dua:

1)      ‘Aqdun Māliyyun

Yaitu akad yang tejadi pada obyek akad berupa harta, baik kepemilikannya dengan sistem timbal balik seperti akad bai’ (jual beli), atau tanpa timbal balik seperti akad hibah (pemberian) dan akad qorḍ (utang-piutang).

2)      ‘Aqdun Gairu Māliyyin

Yaitu akad yang obyek akadnya tidak berupa harta seperti akad wakālah (perwakilan).

b.      Macam –macam akad berdasarkan boleh digagalkan atau tidak ada dua:

1)      Akad Lāzim

Yaitu akad yang tidak boleh digagalkan secara sepihak tanpa ada sebab yang menuntut untuk menggagalkan akad seperti ada cacat dalam obyek akad. Akad lāzim tidak bisa batal sebab meninggalnya salah satu atau kedua pelaku akad. Seperti akad ijārah (persewaan) dan akad hibah (pemberian) setelah barang diterima mauhūb lah (pihak penerima).

2)      Akad Jā’iz

Yaitu akad yang boleh digagalkan oleh pelaku akad. Seperti akad wakālah (transaksi perwakilan) atau akad wadī’ah (transaksi penitipan barang). Akad jā’iz berbeda dengan akad lāzim, yakni jika salah satu pelaku akad meninggal maka berkonsekuensi membatalkan akad. Secara detail, ada tiga macam:

a)      Lāzim dari kedua pelaku akad.

b)      Jā’iz dari kedua pelaku akad.

c)      Lāzim dari satu pihak dan jā’iz dari pihak lain. Akad yang tergolong dalam kategori lāzim dari kedua pelaku akad ada lima belas:

No.

Jenis Akad

1.

Bai’; transaksi jual beli. jika masa khiyār telah habis.

2.

Salam; transaksi pesanan. jika masa khiyār telah habis.

3.

Ṣuluḥ; transaksi perdamaian.

4.

Hawālah; transaksi peralihan hutang.

5.

Ijārah; transaksi persewaan.

6.

Musāqāh; transaksi pengairan.

7.

Hibah ; transaksi pemberian. Jika barang telah diterima selain
pemberian dari orangtua kepada anaknya.

8.

Wasiat ; setelah adanya penerimaan dari pihak penerima wasiat.

9.

Nikah.

10.

Mahar.

11.

Khulu’; transaksi permintaan cerai dari pihak istri dengan ‘iwaḍ
(imbalan).

12.

I’tāq; transaksi memerdekakan budak dengan ‘iwaḍ (imbalan).

13.

Musābaqah; perlombaan. jika ‘iwaḍ (imbalan/hadiah) berasal
dari kedua belah pihak.

14.

Qarḍ; transaksi utang-piutang. Jika harta sudah ditasarufkan oleh
pihak yang berhutang.

15.

‘Āriyyah; transaksi peminjaman. Jika peminjaman untuk
digadaikan atau mengubur jenazah.

 

Akad yang tergolong dalam kategori jā’iz dari kedua pelaku akad ada dua belas:

No.

Jenis Akad

1.

Syirkah; transaksi perserikatan dagang.

2.

Wakālah; transaksi perwakilan.

3.

Wadī’ah; transaksi penitipan barang.

4.

Qirāḍ; transaksi bagi hasil.

5.

Hibah; transaksi pemberian. Jika barang belum diterima.

6.

‘Āriyyah; transaksi peminjaman. Jika peminjaman untuk
selain digadaikan atau mengubur jenazah.

7.

Qaḍā`; putusan hukum.

8.

Wasiat; sebelum orang yang berwasiat meninggal.

9.

Wiṣāyah; setelah orang yang berwasiat meninggal dan
sebelum adanya penerimaan dari pihak penerima wasiat.

10.

Rahn; transaksi gadai.

11.

Qarḍ; transaksi utang-piutang. Jika harta belum
ditasarufkan oleh pihak yang berhutang.

12.

Ju’ālah; sayembara.

 

Akad yang tergolong dalam kategori lāzim dari salah satu pihak dan jā’iz dari pihak lain ada delapan:

 

No.

Jenis Akad

1.

Rahn; transaksi gadai. Jika barang telah diterima murtahin
(penerima gadai) atas izin rāhin [penggadai], maka status akad
jā`iz dari pihak murtahin dan lāzim dari pihak rāhin.

2.

Ḍamān; transaksi jaminan. Jā`iz dari pihak maḍmūn lah (pihak
yang dijamin) dan lāzim dari pihak ḍāmin (pihak yang
menjamin).

3.

Kitābah; memerdekakan budak dengan sistem persyaratan
budak harus mencicil sejumlah harta pada majikan. Jā`iz dari
pihak budak dan lāzim dari pihak majikan.

4.

Hibah; pemberian orangtua kepada anaknya setelah barang
diterima. Jā’iz dari pihak orangtua dan lāzim dari pihak anak.

5.

Imāmah ‘Uẓmā; pengangkatan pemimpin tertinggi (al-imām al
a’ẓam
) dalam pemerintahan Islam. Lāzim dari pihak ahlul halli
wal ‘aqdi
dan jā`iz dari pihak imam selama ia bukan satu
satunya orang yang pantas untuk menjadi pemimpin.

6.

Hudnah; kesepakatan gencatan senjata antara pemerintah Islam
dan non muslim. Lāzim dari pihak Islam dan jā`iz dari pihak
non muslim.

7.

Amān; jaminan keamanan untuk non muslim yang hendak
memasuki/mengunjungi wilayah kekuasaan pemerintah Islam.
Lāzim dari pihak muslim dan jā`iz dari pihak non muslim.

8.

Jizyah; pajak yang diwajibkan pada non muslim yang
mendapat perlindungan dari pemerintah Islam. Lāzim dari
pihak pemerintah dan Jā`iz bagi pihak non muslim.

c.       Macam-macam akad berdasarkan adanya imbalan atau tidak ada dua:

1)      Akad Mu’āwaḍah
Yaitu akad yang didalamnya terdapat imbalan (‘iwaḍ) baik dari satu pihak atau kedua belah pihak. Seperti akad bai’ (transaksi jual beli), dan akad ijārah (transaksi persewaan). Imbalan (‘iwaḍ) dalam transaksi jenis ini disyaratkan harus diketahui oleh kedua pelaku akad, sehingga tidak sah jika imbalan tidak diketahui salah satu atau kedua pelaku akad.

Akad mu’āwaḍah terbagi menjadi dua:

a)      Mu’āwaḍah Maḥḍah
Yaitu setiap akad yang obyek akadnya bersifat materi dari kedua belah pihak baik secara hakiki seperti akad jual beli dan salam, atau secara hukman seperti akad ijārah dan muḍārabah.

b)      Mu’āwaḍah Gairu Maḥḍah
Yaitu setiap akad yang obyek akadnya bersifat materi dari salah satu pihak seperti akad nikah dan khulu’ atau tidak bersifat materi dari kedua belah pihak seperti akad hudnah (genjatan senjata) dan akad qaḍā’ (kontrak hakim).

2)      Akad Tabarru’
Yaitu akad yang didalamnya tidak terdapat imbalan (‘iwaḍ). Seperti akad hibah (transaksi pemberian). Akad tabarru’ ada lima:

a)      Wasiat

b)     ‘Itqun (memerdekakan budak)

c)      Hibah (pemberian)

d)     Wakaf

e)      Ibāḥaḥ (perizinan untuk menggunakan barang). Seperti perizinan untuk meminum susu kambing kepada fakir miskin. Maka pihak yang mendapatkan izin tidak berhak mentasarufkan layaknya pemilik barang. Hanya boleh sebatas meminum, tidak boleh memberikan atau menjual pada orang lain.

d.       Macam-macam akad berdasarkan terpenuhi rukun dan tidaknya terbagi menjadi
dua:

1)      Akad Ṣaḥīḥ
Yaitu akad yang terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Akad yang ṣaḥīḥ akan berkonsekuensi sebagaimana tujuan akad. Seperti konsekuensi berupa pemindahan kepemilikan barang terhadap pembeli dan pemindahan kepemilikan alat pembayaran terhadap penjual dalam transaksi jual beli, atau konsekuensi berupa pemindahan kepemilikan hak pemanfaatan barang terhadap pihak penyewa dan pemindahan kepemilikan alat pembayaran (ongkos sewa) terhadap pihak yang menyewakan dalam transaksi persewaan.

2)      Akad Fāsid
Yaitu akad yang tidak terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Seperti pelaku akad adalah orang gila atau anak kecil. Kebalikan dari akad ṣaḥīh, akad fāsid tidak berkonsekuensi apapun. Maka transaksi jual beli yang dilakukan orang gila atau anak kecil tidak berkonsekuensi pemindahan kepemilikan. Dalam arti, barang tetap milik penjual dan alat pembayaran tetap milik pembeli.

e.       Macam-macam akad berdasarkan adanya batas waktu yang ditentukan atau tidak terbagi menjadi dua:

1)      Akad Mu’aqqat
Yaitu akad yang disyaratkan harus ada penyebutan batas waktu. Seperti akad ijārah (transaksi persewaan) dan akad musāqāh (transaksi pengairan). Sehingga tidak sah jika jenis transaksi ini dilakukan tanpa ada penyebutan batas waktu.

2)      Akad Muṭlaq
Yaitu akad yang tidak diharuskan ada penyebutan batas waktu. Artinya, penyebutan batas waktu dalam transaksi ini tidak menjadi rukun bahkan jika ada penyebutan batas waktu akan menyebabkan transaksi tidak sah. Seperti akad nikah dan akad wakaf. Jika dalam transaksi ada penyebutan batas waktu seperti “saya nikahkan Ahmad dengan Fatimah dengan batas waktu satu tahun” maka akad nikah batal. Berbeda dengan akad mu’aqqat, karena penyebutan batas waktu dalam akad mu’aqqat menjadi rukun.

           C.      IḤYĀ’UL MAWĀT (MEMBUKA LAHAN MATI)

1.      DALIL

Dalil yang mendasari legalitas iḥyā’ul mawāt adalah sabda Rasulullah Saw
“Bumi adalah bumi Allah, hamba-hamba adalah hamba-hamba Allah, barang siapa
membuka lahan mati, maka menjadi miliknya”.
(HR. Ṭabrani)

“Barang siapa menghidupkan lahan mati, maka ia berhak mendapatkan pahala, dan
sesuatau yang dimakan para pencari rezeki darinya adalah sedekah”.
(HR. Nasa’i)

“Barang siapa mengolah lahan yang tidak dimiliki seseorang, maka ia lebih berhak
dengannya”.
(HR. Ahmad)

2.      DEFINISI
Secara bahasa iḥyā’ adalah membuat sesuatu menjadi hidup. Sedangkan mawāt secara bahasa adalah lahan yang mati. Adapun definisi iḥyā’ul mawāt secara istilah adalah mengolah atau menghidupkan lahan yang mati, atau lahan yang tidak bertuan dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Hukum iḥyā’ul mawāt adalah sunnah. Maka
setiap orang Islam dianjurkan menghidupkan lahan mati baik di daerah Islam atau di
selain daerah Islam.

Menurut Imam Zarkasyi, secara umum lahan dibagi menjadi tiga:

a.      Mamlūkah
Yaitu lahan yang dimiliki seseorang baik dengan cara pembelian atau hasil dari
pemberian orang lain.

b.      Maḥbūsah
Yaitu lahan yang tidak bisa dimiliki baik karena terikat dengan kepentingan
umum seperti jalan raya dan masjid atau kepentingan individu seperti barang
wakaf.

c.       Munfakkah
Yaitu lahan yang tidak terikat dengan kepentingan umum atau kepentingan
indiidu. Yakni lahan mati yang bisa dimiliki dengan cara iḥyā’ul mawāt.

3.      STRUKTUR IḤYĀ’UL MAWĀT
Struktur iḥyā’ul mawāt terdiri dari tiga rukun. Yakni muḥyī, muḥyā, dan iḥyā’.

a.      Muḥyī
Yaitu orang yang melakukan iḥyā’ul mawāt. Syarat muḥyī harus seorang muslim jika lahan yang akan diolah berada di daerah Islam. Ini adalah pendapat mażhab Syafi’i. Sedangkan menurut pendapat lain kafir żimmī juga berhak untuk menghidupkan lahan mati di daerah Islam, karena iḥyā’ul mawāt termasuk proses pemindahan kepemilikan yang tidak membedakan antara muslim atau non muslim sebagaimana proses pemindahan kepemilikan yang lain.

b.      Muḥyā
Muḥyā adalah lahan mati yang akan diolah atau dihidupkan dengan cara proses iḥyā’ul mawāt. Syarat muḥyā ada dua:

1)      Belum pernah dimiliki seseorang di era islamiyah (setelah terutusnya nabi Muhammad Saw.). Syarat ini meliputi dua hal, yakni belum pernah dimiliki seseorang sama sekali atau pernah dimiliki pada era jahiliyah (sebelum terutusnya nabi Muhammad Saw.) namun setelah nabi diutus tidak pernah dimiliki lagi.

2)      Tidak berada di sekitar lahan hidup (lahan yang sudah diolah atau dihidupkan dan dimiliki seseorang) yang disebut dengan ḥarīm. Ḥarīm secara istilah adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk kesempurnaan sesuatu yang lain seperti halaman rumah. Jika lahan mati merupakan ḥarīm dari lahan hidup maka tidak bias dimiliki dengan cara iḥyā’ul mawāt.

3)      Berada di daerah Islam. Jika lahan mati berada di daerah non Islam, boleh dikelola jika tidak ada larangan dari masyarakat setempat. Jika ada larangan maka tidak boleh. Ini adalah pendapat mażhab Syafi’i. Sedangkan mażhab selain Syafi’i tidak membedakan lahan mati yang berada di daerah Islam atau non Islam. Lahan mati yang pernah dimiliki oleh seseorang di era islamiyyah dan pemiliknya meninggal tidak bisa dimiliki dengan proses iḥyā’ul mawāt dan tidak berstatus lahan mati lagi, akan tetapi kepemilikan lahan tersebut berpindah pada ahli waris. Jika ahli waris tidak ditemukan atau tidak diketahui maka termasuk māl ḍā’i’ yang harus dijaga jika ada harapan untuk mengetahui pemiliknya di kemudian hari, jika tidak ada harapan untuk mengetahui pemiliknya maka diserahkan kepada kebijakan imam sebagai aset negara.

4)      Iḥyā’
Yaitu proses pengolahan lahan mati yang secara hukum berkonsekuensi
menjadi milik pengolah. Batas pengolahan lahan mati adalah sesuai dengan tujuan yang diinginkan pengolah. Jika yang diinginkan adalah merubah lahan mati menjadi rumah, maka yang harus dilakukan pengolah untuk berstatus sebagai pemilik lahan tersebut adalah membuat pagar, memasang pintu, memasang atap atau yang lain sekiranya sudah tidak layak dikatakan sebagai lahan mati lagi. Jika yang diinginkan adalah merubah lahan mati menjadi perkebunan maka yang harus dilakukan adalah memasang pagar, irigasi, menanam pohon dan yang lain sekiranya sudah layak dinamakan perkebunan.
Meletakkan batu di sekitar lahan mati tidak bisa mewakili proses iḥyā’ul mawāt. Tapi hanya sekadar pemberian batas (taḥajjur) yang tidak berkonsekuensi kepemilikan. Taḥajjur ada dua praktik:

a)      Sudah memulai proses iḥyā’ul mawāt tapi tidak diselesaikan.

b)      Meletakkan sebuah tanda seperti batu disekitar lahan mati.
Lahan yang sudah diklaim pemerintah baik secara keseluruhan atau sebagian tidak bisa dimiliki dengan cara iḥyā’ul mawāt tanpa ada izin dari pemerintah. Lahan yang tidak diketahui apakah pernah dimiliki di era islamiyah atau di era jahiliyah ada dua pendapat:

(1)   Menurut Imam Romli; tidak bisa dimiliki dengan proses iḥyā’ul mawāt.

(2)   Menurut Imam Ibn Hajar; bisa dimiliki sebagaimana lahan mati.
Apakah proses iḥyā’ul mawāt harus ada izin dari imam? Dalam hal ini ada dua pendapat:
FIKIH X 113

(a)   Menurut Imam Abu Hanifah dan mażhab Maliki; harus ada izin dari imam. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“Tidak ada bagi seseorang kecuali apa yang direlakan oleh imamnya”. (HR. Ṭabrani)
Jika imam tidak memberi izin maka tidak ada kerelaan dari imam yang berkonsekuensi lahan mati tidak bisa dimiliki.

Menurut mażhab Syafi’i dan mażhab Hanbali; tidak harus ada izin dari imam. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Barang siapa membuka lahan mati, maka menjadi miliknya,dan akar yang zalim (keluar pagar) tidak memiliki hak”. (HR. Bukhari)

Hadis ini menetapkan kepemilikan kepada muḥyī tanpa persyaratan izin dari imam dan karena iḥyā’ul mawāt adalah perkara yang legal secara hokum sehingga lahan mati boleh dimiliki oleh seseorang tanpa ada izin dari imam sebagaimana seseorang boleh memiliki hewan buruan tanpa izin imam. Menurut mażhab maliki proses iḥyā’ul mawāt bisa dilakukan dengan salah satu dari tujuh hal:

1) Membuat sumber air, jika penyebab lahan mati karena tidak ada air.

2) Membuang air, jika penyebab lahan mati karena tergenang air.

3) Membuat bangunan. 

4) Menanam pohon.

5) Bercocok tanam.


Tugas Siswa Offline, dikirim melalui WAPRI!

Jawablah pertanyaan berikut ini dengan benar!

        1.       Bagaimana hukum menangkap ikan di wilayah negara lain menurut fikih ? 

        2.    Jika hewan peliharaan merusak barang orang lain, apa kewajiban bagi pemilik hewan menurut fikih?

        3.    Bagaimana hukum industri yang menghasilkan limbah dan mengakibatkan polusi pada lingkungan sekitar?

        4.    Riki menjual barang yang ia curi dari ayahnya, transaksi dilakukan jam tujuh pagi hari. Setelah penjualan barang, ia mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal jam enam pagi hari. Sahkah transaksi yang dilakukan Riki yang statusnya adalah anak tunggal?

        5.    Siapakah yang berhak atas anak kambing yang status kambing tersebut adalah milik dua orang?

Jika mengehendaki Tugas Online, Silahkan klik link dibawah ini untuk mengerjakan tugas!

https://forms.gle/4hZA1SMeybbRfHUW7


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH