KEPEMILIKAN
Islam mengatur bagaimana seseorang beribadah, bertransaksi, berkeluarga dan bersosial. Sebuah maqālah mengatakan “berhati-hatilah dalam bertransaksi”, ini menunjukkan bahwa yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana cara bertransaksi yang benar sesuai dengan ajaran agama Islam. Karena dalam ibadah, Allah Swt. akan mengampuni siapa saja yang dikehendaki, tapi dalam transaksi Allah Swt. hanya akan mengampuni kepada orang yang sudah mendapatkan kerelaan dari partner transaksinya. Agama Islam sangat menganjurkan seseorang untuk menggunakan apa yang hanya menjadi miliknya atau milik orang dengan izin. Suatu barang akan sepenuhnya menjadi milik seseorang setelah adanya proses kepemilikan. Secara umum, kepemilikan terbagi menjadi kepemilikan utuh dan kepemilikan tidak utuh. Kepemilikan. Kepemilikan tidak utuh terbagi lagi menjadi kepemilikan barang dan kepemilikan manfaat. Dalam bab ini, akan dijelakan definisi, pembagian dan sebab-sebabnya.
KOMPETENSI INTI
1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menunjukan perialku
jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja
sama, toleran, damai),
santun, responsif dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan
dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3. Memahami, menerapkan
dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya
dan humanoria dengan wawasan kemanusian, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan prosedural
pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah
4. Mengolah, menalar dan
menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari
yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metoda
sesuai kaidah keilmuan
KOMPETENSI DASAR
1.6 Menghayati konsep tentag
akad, kepemilikan harta benda dan ‘ihyaaul mawaat
2.6. Mengamalkan sikap
tanggung jawab sebagai implementasi dari mempelajari konsep
akad, kepemilikan harta
benda dan ‘ihyaaul mawaat
3.6. menganalisis konsep
akad, kepemilikan harta benda dan ‘ihyaaul mawaat
4.6. menyajikan konsep
akad, kepemilikan dan ‘ihyaaul mawaat
PETA KONSEP
MATERI PEMBELAJARAN
A. KEPEMILIKAN (MILKIYYAH)
1. DALIL
Dalil yang mendasari
legalitas kepemilikan adalah firman Allah Swt. QS. Al-Aḥzāb (33) : 50
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحْلَلْنَا
لَكَ أَزْوَٰجَكَ ٱلَّٰتِىٓ ءَاتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ
“Hai Nabi, Sesungguhnya
Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas
kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh
dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu”. (QS. AlAhzāb [33] : 50)
2. DEFINISI
Kepemilikan adalah hubungan secara syariat antara harta dan
seseorang yang menjadikan harta terkhusus kepadanya dan berkonsekuensi boleh
ditasarufkan dengan segala bentuk tasaruf selama tidak ada pembekuan tasaruf.
Seseorang yang mendapatkan harta dengan cara yang dilegalkan syariat maka harta
tersebut terkhusus kepadanya, boleh dimanfaatkan dan ditasarufkan kecuali
orang-orang yang dibekukan tasarufnya seperti anak kecil dan orang gila. Adapun
tasaruf wali anak kecil dan wakil (dalam transaksi wakālah) terhadap
suatu barang bukan atas nama kepemilikan, namun atas nama pergantian (niyābah)
yang dilegalkan syariat.
3. MACAM-MACAM KEPEMILIKAN
Macam-macam kepemilikan ada dua. Yakni kepemilikan utuh dan
kepemilikan tidak utuh.
a. Kepemilikan Utuh
Kepemilikan utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang
sekaligus manfaatnya. Maka ia bebas mentasarufkan barang tersebut baik tasaruf
terhadap barang dan manfaatnya seperti menjual, mewakafkan, menghibahkan dan mewasiatkan
atau tasaruf terhadap manfaatnya saja seperti menyewakan dan meminjamkan.
Sebab-sebab kepemilikan utuh ada empat:
1) Istīlā’ ‘Alā Al-Mubāḥ
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang yang belum pernah
berada dalam
kepemilikan seseorang dan tidak ada larangan syariat untuk memilikinya. Seperti
penangkapan ikan di laut, mengambil air dari sumber dan berburu hewan.
Syarat-syarat kepemilikan dengan cara istīlā’ ‘alā al-mubāḥ ada dua:
a) Belum pernah berada
dalam kepemilikan seseorang. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Saw:
“Barang siapa lebih dahulu (memiliki) barang yang belum pernah
menjadi milik
orang islam maka barang tersebut menjadi miliknya”. (HR. Abu Daud)
b) Kesengajaan untuk
memiliki. Jika tidak ada kesengajaan maka tidak
berkonsekuensi kepemilikan. Seperti burung yang masuk ke kamar seseorang.
2) Al-‘Uqūd
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara transaksi.
Seperti transaksi hibah (pemberian), bai’ (jual beli), i’ārah (pinjam
meminjam) dan yang lain. Sebab kepemilikan utuh berupa transaksi adalah hal
yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan
sebab-sebab lain yang jarang terjadi.
3) Khalafiyyah
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara
pergantian. Baik berupa pergantian orang yang dikenal dengan istilah warisan,
atau berupa pergantian barang yang dikenal dengan istilah ganti rugi (taḍmīn).
Khalafiyyah ada dua macam:
a) Warisan
Yaitu proses pemindahan
kepemilikan secara otomatis dengan hukum syariat dari seseorang kepada ahli
waris atas harta warisan yang ditinggalkan.
b) Ganti Rugi (Taḍmīn)
Yaitu kewajiban ganti rugi atas barang, yang dibebankan kepada
seseorang yang merusak barang orang lain.
4) Tawallud Min Al-Mamlūk
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang hasil dari apa yang
dimiliki. Seperti buah dari pohon yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang
dimiliki dan susu kambing dari kambing yang dimiliki.
b. Kepemilikan Tidak Utuh
Kepemilikan tidak utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap
barang atau manfaatnya saja.
1) Kepemilikan Barang
Kepemilikan barang adalah kepemilikan seseorang terhadap barangnya
saja. Yakni barangnya ia miliki, sedangkan manfaatnya milik orang lain. Seperti
Ahmad berwasiat kepada Yasir untuk menempati rumah Ahmad selama Yasir hidup.
Jika Ahmad meninggal, maka kepemilikan rumah (barangnya saja) berpindah kepada
ahli waris Ahmad dengan sistem warisan. Sedangkan manfaat rumah milik Yasir
selama ia hidup dengan sistem wasiat. Jika Yasir meninggal, maka kepemilikan
rumah baik barang dan manfaatnya kembali kepada ahli waris Ahmad. Sehingga
kepemilikan ahli waris Ahmad terhadap rumah setelah Yasir meninggal menjadi
kepemilikan utuh, yakni kepemilikan terhadap barang sekaligus manfaanya.
Sedangkan selama Yasir masih hidup, kepemilikan Ahli waris Ahmad terhadap rumah
adalah kepemilikan tidak utuh. Karena kepemilikan mereka hanya kepemilikan terhadap
barangnya saja yang berkonsekuensi tidak boleh memanfaatkan rumah (menempati)
selama Yasir masih hidup.
2) Kepemilikan Manfaat
Kepemilikan manfaat adalah kepemilikan seseorang terhadap
manfaatnya saja sedangkan barangnya milik orang lain. Sebab-sebab kepemilikan
manfaat ada empat:
a) Transaksi
Pinjam-Meminjam (I’ārah)
Pihak peminjam (musta’īr) tidak boleh meminjamkan barang
pinjaman kepada orang lain. Karena transaksi i’ārah hanya sebuah
perizinan untuk menggunakan manfaat barang. Sehingga ia tidak memiliki manfaat barang
pinjaman, hanya boleh menggunakan manfaatnya saja.
b) Transaksi Persewaan
(Ijārah)
Pihak penyewa boleh meminjamkan atau menyewakan barang sewaan kepada
orang lain. Karena transaksi ijārah adalah memberikan kepemilikan manfaat.
Maka manfaat barang dalam transaksi ijārah milik penyewa selama waktu yang
telah ditentukan. Namun pihak penyewa tidak boleh menjual barang sewaan karena
ia tidak memiliki barangnya, hanya memiliki manfaatnya saja.
c) Transaksi Wakaf
Pihak mauqūf ‘alaih (penerima wakaf) boleh menggunakan
barang wakaf atau mempersilahkan orang lain untuk menggunakannya jika ada izin
dari pihak wāqif (orang yang mewakafkan barang), karena wakaf adalah
memberikan kepemilikan manfaat kepada mauqūf ‘alaih dengan cara
pembekuan tasaruf pada fisiknya. Sehingga mauqūf ‘alaih tidak boleh
menjual barang wakaf. Karena ia hanya memiliki manfaatnya saja, tidak memiliki
barangnya.
d) Transaksi Wasiat Manfaat
Seperti dalam contoh kepemilikan barang. Selama Yasir hidup,
manfaat rumah milik yasir sedangkan fisik rumah milik ahli waris Ahmad.
3) Selesainya Hak
Pemanfaatan Barang
Hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai dengan tiga hal:
a)
Habisnya waktu yang telah disepakati dalam transaksi. Seperti
transaksi persewaan barang dengan batas waktu satu bulan. Maka setelah satu
bulan, pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan barang sewaan lagi. Karena hak
pemanfaatannya telah selesai.
b)
rusaknya barang. Seperti barang sewaan atau barang pinjaman rusak
dalam pertengahan waktu yang telah ditentukan.
c)
Meninggalnya pemilik barang. Artinya jika pemilik barang meninggal
maka hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai. Ini berlaku jika hak
pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi i’ārah, karena
transaksi i’ārah termasuk akad jā’iz (transaksi yang tidak
mengikat). Jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi ijārah
maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai walaupun pemilik
barang meninggal, karena transaksi ijārah termasuk akad lāzim (transaksi
yang mengikat). Begitu juga jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi
wasiat atau wakaf, maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai dengan
meninggalnya pemilik barang. Karena hak pemanfaatan barang dalam transaksi wasiat
baru dimulai setelah pemilik barang meninggal. Sedangkan hak pemanfaatan barang
dalam akad wakaf tanpa batas waktu dan tidak bisa dinyatakan selesai karena
pemilik barang meninggal.
B. AKAD (TRANSAKSI)
1. DALIL
Dalil yang mendasari legalitas akad adalah firman Allah Swt. QS.
Al-Māidah (5) : 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟
بِٱلْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Māidah [5] : 1)
2. DEFINISI
Secara bahasa akad
adalah hubungan antara beberapa hal. Secara istilah akad memiliki
dua makna, yakni makna umum dan makna khusus. Definisi akad secara umum adalah
rencana seseorang untuk mengerjakan sesuatu, baik atas dasar keinginan tunggal
(satu
orang) seperti akad wakaf dan talak, atau butuh dua keinginan (dua orang) untuk
mewujudkannya seperti akad jual beli dan akad perwakilan. Adapun definisi akad
secara khusus adalah ījāb dan qabūl dengan cara yang dilegalkan
syariat dan berkonsekuensi terhadap barang yang menjadi obyek akad. Sehingga
mengecualikan cara yang tidak dilegalkan syariat seperti kesepakatan untuk
membunuh seseorang, maka tidak dinamakan akad.
3. MACAM-MACAM AKAD
a.
Macam-macam akad berdasarkan obyek akad ada dua:
1)
‘Aqdun Māliyyun
Yaitu akad yang tejadi pada obyek akad berupa harta, baik
kepemilikannya dengan sistem timbal balik seperti akad bai’ (jual beli),
atau tanpa timbal balik seperti akad hibah (pemberian) dan akad qorḍ (utang-piutang).
2)
‘Aqdun Gairu Māliyyin
Yaitu akad yang obyek akadnya tidak berupa harta seperti akad wakālah
(perwakilan).
b.
Macam –macam akad berdasarkan boleh digagalkan atau tidak ada dua:
1) Akad Lāzim
Yaitu akad yang tidak boleh digagalkan secara sepihak tanpa ada
sebab yang menuntut untuk menggagalkan akad seperti ada cacat dalam obyek akad.
Akad lāzim tidak bisa batal sebab meninggalnya salah satu atau kedua
pelaku akad. Seperti akad ijārah (persewaan) dan akad hibah (pemberian)
setelah barang diterima mauhūb lah (pihak penerima).
2) Akad Jā’iz
Yaitu akad yang boleh digagalkan oleh pelaku akad. Seperti akad wakālah
(transaksi perwakilan) atau akad wadī’ah (transaksi penitipan
barang). Akad jā’iz berbeda dengan akad lāzim, yakni jika salah
satu pelaku akad meninggal maka berkonsekuensi membatalkan akad. Secara detail,
ada tiga macam:
a) Lāzim dari kedua pelaku akad.
b) Jā’iz dari kedua pelaku akad.
c) Lāzim dari satu pihak dan jā’iz dari pihak
lain. Akad yang tergolong dalam kategori lāzim dari kedua pelaku akad
ada lima belas:
No. |
Jenis Akad |
1. |
Bai’; transaksi jual beli. jika masa khiyār telah
habis. |
2. |
Salam; transaksi pesanan. jika masa khiyār telah
habis. |
3. |
Ṣuluḥ; transaksi perdamaian. |
4. |
Hawālah; transaksi peralihan hutang. |
5. |
Ijārah; transaksi persewaan. |
6. |
Musāqāh; transaksi pengairan. |
7. |
Hibah ; transaksi pemberian. Jika barang telah
diterima selain |
8. |
Wasiat ; setelah adanya
penerimaan dari pihak penerima wasiat. |
9. |
Nikah. |
10. |
Mahar. |
11. |
Khulu’; transaksi permintaan cerai dari pihak istri
dengan ‘iwaḍ |
12. |
I’tāq; transaksi memerdekakan budak dengan ‘iwaḍ
(imbalan). |
13. |
Musābaqah; perlombaan. jika ‘iwaḍ (imbalan/hadiah)
berasal |
14. |
Qarḍ; transaksi utang-piutang. Jika harta sudah
ditasarufkan oleh |
15. |
‘Āriyyah; transaksi peminjaman. Jika peminjaman untuk |
Akad yang tergolong dalam kategori jā’iz dari
kedua pelaku akad ada dua belas:
No. |
Jenis Akad |
1. |
Syirkah; transaksi perserikatan dagang. |
2. |
Wakālah; transaksi perwakilan. |
3. |
Wadī’ah; transaksi penitipan barang. |
4. |
Qirāḍ; transaksi bagi hasil. |
5. |
Hibah; transaksi pemberian. Jika barang belum
diterima. |
6. |
‘Āriyyah; transaksi peminjaman. Jika peminjaman untuk |
7. |
Qaḍā`; putusan hukum. |
8. |
Wasiat; sebelum orang
yang berwasiat meninggal. |
9. |
Wiṣāyah; setelah orang yang berwasiat meninggal dan |
10. |
Rahn; transaksi gadai. |
11. |
Qarḍ; transaksi utang-piutang. Jika harta belum |
12. |
Ju’ālah; sayembara. |
Akad yang tergolong dalam kategori lāzim dari
salah satu pihak dan jā’iz dari pihak lain ada delapan:
No. |
Jenis Akad |
1. |
Rahn; transaksi gadai. Jika barang telah diterima murtahin |
2. |
Ḍamān; transaksi jaminan. Jā`iz dari pihak maḍmūn
lah (pihak |
3. |
Kitābah; memerdekakan budak dengan sistem persyaratan |
4. |
Hibah; pemberian orangtua kepada anaknya setelah
barang |
5. |
Imāmah ‘Uẓmā; pengangkatan pemimpin tertinggi (al-imām al |
6. |
Hudnah; kesepakatan gencatan senjata antara pemerintah
Islam |
7. |
Amān; jaminan keamanan untuk non muslim yang hendak |
8. |
Jizyah; pajak yang diwajibkan pada non muslim yang |
c.
Macam-macam akad berdasarkan adanya imbalan atau
tidak ada dua:
1) Akad
Mu’āwaḍah
Yaitu akad yang didalamnya
terdapat imbalan (‘iwaḍ) baik dari satu pihak atau kedua belah pihak.
Seperti akad bai’ (transaksi jual beli), dan akad ijārah (transaksi
persewaan). Imbalan (‘iwaḍ) dalam transaksi jenis ini disyaratkan harus
diketahui oleh kedua pelaku akad, sehingga tidak sah jika imbalan tidak diketahui
salah satu atau kedua pelaku akad.
Akad mu’āwaḍah terbagi
menjadi dua:
a)
Mu’āwaḍah Maḥḍah
Yaitu setiap akad yang
obyek akadnya bersifat materi dari kedua belah pihak baik secara hakiki seperti
akad jual beli dan salam, atau secara hukman seperti akad ijārah
dan muḍārabah.
b)
Mu’āwaḍah Gairu Maḥḍah
Yaitu setiap akad yang
obyek akadnya bersifat materi dari salah satu pihak seperti akad nikah dan khulu’
atau tidak bersifat materi dari kedua belah pihak seperti akad hudnah (genjatan
senjata) dan akad qaḍā’ (kontrak hakim).
2) Akad
Tabarru’
Yaitu akad yang
didalamnya tidak terdapat imbalan (‘iwaḍ). Seperti akad hibah (transaksi
pemberian). Akad tabarru’ ada lima:
a) Wasiat
b) ‘Itqun
(memerdekakan budak)
c) Hibah
(pemberian)
d) Wakaf
e) Ibāḥaḥ
(perizinan untuk
menggunakan barang). Seperti perizinan untuk meminum susu kambing kepada fakir
miskin. Maka pihak yang mendapatkan izin tidak berhak mentasarufkan layaknya
pemilik barang. Hanya boleh sebatas meminum, tidak boleh memberikan atau
menjual pada orang lain.
d.
Macam-macam akad berdasarkan terpenuhi rukun dan
tidaknya terbagi menjadi
dua:
1) Akad
Ṣaḥīḥ
Yaitu akad yang
terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Akad yang ṣaḥīḥ akan berkonsekuensi
sebagaimana tujuan akad. Seperti konsekuensi berupa pemindahan kepemilikan
barang terhadap pembeli dan pemindahan kepemilikan alat pembayaran terhadap
penjual dalam transaksi jual beli, atau konsekuensi berupa pemindahan kepemilikan
hak pemanfaatan barang terhadap pihak penyewa dan pemindahan kepemilikan alat
pembayaran (ongkos sewa) terhadap pihak yang menyewakan dalam transaksi
persewaan.
2) Akad
Fāsid
Yaitu akad yang tidak
terpenuhi semua rukun dan syaratnya. Seperti pelaku akad adalah orang gila atau
anak kecil. Kebalikan dari akad ṣaḥīh, akad fāsid tidak
berkonsekuensi apapun. Maka transaksi jual beli yang dilakukan orang gila atau
anak kecil tidak berkonsekuensi pemindahan kepemilikan. Dalam arti, barang
tetap milik penjual dan alat pembayaran tetap milik pembeli.
e.
Macam-macam akad berdasarkan adanya batas waktu
yang ditentukan atau tidak terbagi menjadi dua:
1) Akad
Mu’aqqat
Yaitu akad yang
disyaratkan harus ada penyebutan batas waktu. Seperti akad ijārah (transaksi
persewaan) dan akad musāqāh (transaksi pengairan). Sehingga tidak sah
jika jenis transaksi ini dilakukan tanpa ada penyebutan batas waktu.
2) Akad
Muṭlaq
Yaitu akad yang tidak
diharuskan ada penyebutan batas waktu. Artinya, penyebutan batas waktu dalam
transaksi ini tidak menjadi rukun bahkan jika ada penyebutan batas waktu akan
menyebabkan transaksi tidak sah. Seperti akad nikah dan akad wakaf. Jika dalam
transaksi ada penyebutan batas waktu seperti “saya nikahkan Ahmad dengan
Fatimah dengan batas waktu satu tahun” maka akad nikah batal. Berbeda dengan
akad mu’aqqat, karena penyebutan batas waktu dalam akad mu’aqqat menjadi
rukun.
C.
IḤYĀ’UL MAWĀT (MEMBUKA LAHAN MATI)
1. DALIL
Dalil yang mendasari
legalitas iḥyā’ul mawāt adalah sabda Rasulullah Saw
“Bumi adalah bumi Allah, hamba-hamba adalah hamba-hamba Allah, barang siapa
membuka lahan mati, maka menjadi miliknya”. (HR. Ṭabrani)
“Barang siapa
menghidupkan lahan mati, maka ia berhak mendapatkan pahala, dan
sesuatau yang dimakan para pencari rezeki darinya adalah sedekah”. (HR. Nasa’i)
“Barang siapa mengolah
lahan yang tidak dimiliki seseorang, maka ia lebih berhak
dengannya”. (HR. Ahmad)
2. DEFINISI
Secara bahasa iḥyā’ adalah
membuat sesuatu menjadi hidup. Sedangkan mawāt secara bahasa adalah
lahan yang mati. Adapun definisi iḥyā’ul mawāt secara istilah adalah
mengolah atau menghidupkan lahan yang mati, atau lahan yang tidak bertuan dan
tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Hukum iḥyā’ul mawāt adalah sunnah.
Maka
setiap orang Islam dianjurkan menghidupkan lahan mati baik di daerah Islam atau
di
selain daerah Islam.
Menurut Imam Zarkasyi,
secara umum lahan dibagi menjadi tiga:
a.
Mamlūkah
Yaitu lahan yang dimiliki
seseorang baik dengan cara pembelian atau hasil dari
pemberian orang lain.
b.
Maḥbūsah
Yaitu lahan yang tidak
bisa dimiliki baik karena terikat dengan kepentingan
umum seperti jalan raya dan masjid atau kepentingan individu seperti barang
wakaf.
c.
Munfakkah
Yaitu lahan yang tidak
terikat dengan kepentingan umum atau kepentingan
indiidu. Yakni lahan mati yang bisa dimiliki dengan cara iḥyā’ul mawāt.
3. STRUKTUR
IḤYĀ’UL MAWĀT
Struktur iḥyā’ul
mawāt terdiri dari tiga rukun. Yakni muḥyī, muḥyā, dan iḥyā’.
a. Muḥyī
Yaitu orang yang
melakukan iḥyā’ul mawāt. Syarat muḥyī harus seorang muslim jika lahan
yang akan diolah berada di daerah Islam. Ini adalah pendapat mażhab Syafi’i. Sedangkan
menurut pendapat lain kafir żimmī juga berhak untuk menghidupkan lahan mati
di daerah Islam, karena iḥyā’ul mawāt termasuk proses pemindahan
kepemilikan yang tidak membedakan antara muslim atau non muslim sebagaimana
proses pemindahan kepemilikan yang lain.
b. Muḥyā
Muḥyā
adalah lahan mati yang
akan diolah atau dihidupkan dengan cara proses iḥyā’ul mawāt. Syarat muḥyā
ada dua:
1)
Belum pernah dimiliki
seseorang di era islamiyah (setelah terutusnya nabi Muhammad Saw.). Syarat ini
meliputi dua hal, yakni belum pernah dimiliki seseorang sama sekali atau pernah
dimiliki pada era jahiliyah (sebelum terutusnya nabi Muhammad Saw.) namun
setelah nabi diutus tidak pernah dimiliki lagi.
2)
Tidak berada di sekitar
lahan hidup (lahan yang sudah diolah atau dihidupkan dan dimiliki seseorang)
yang disebut dengan ḥarīm. Ḥarīm secara istilah adalah sesuatu
yang dibutuhkan untuk kesempurnaan sesuatu yang lain seperti halaman rumah.
Jika lahan mati merupakan ḥarīm dari lahan hidup maka tidak bias dimiliki
dengan cara iḥyā’ul mawāt.
3)
Berada di daerah Islam.
Jika lahan mati berada di daerah non Islam, boleh dikelola jika tidak ada larangan
dari masyarakat setempat. Jika ada larangan maka tidak boleh. Ini adalah
pendapat mażhab Syafi’i. Sedangkan mażhab selain Syafi’i tidak membedakan lahan
mati yang berada di daerah Islam atau non Islam. Lahan mati yang pernah
dimiliki oleh seseorang di era islamiyyah dan pemiliknya meninggal tidak bisa
dimiliki dengan proses iḥyā’ul mawāt dan tidak berstatus lahan mati
lagi, akan tetapi kepemilikan lahan tersebut berpindah pada ahli waris. Jika
ahli waris tidak ditemukan atau tidak diketahui maka termasuk māl ḍā’i’ yang
harus dijaga jika ada harapan untuk mengetahui pemiliknya di kemudian hari,
jika tidak ada harapan untuk mengetahui pemiliknya maka diserahkan kepada
kebijakan imam sebagai aset negara.
4)
Iḥyā’
Yaitu proses pengolahan
lahan mati yang secara hukum berkonsekuensi
menjadi milik pengolah. Batas pengolahan lahan mati adalah sesuai dengan tujuan
yang diinginkan pengolah. Jika yang diinginkan adalah merubah lahan mati
menjadi rumah, maka yang harus dilakukan pengolah untuk berstatus sebagai
pemilik lahan tersebut adalah membuat pagar, memasang pintu, memasang atap atau
yang lain sekiranya sudah tidak layak dikatakan sebagai lahan mati lagi. Jika
yang diinginkan adalah merubah lahan mati menjadi perkebunan maka yang harus
dilakukan adalah memasang pagar, irigasi, menanam pohon dan yang lain sekiranya
sudah layak dinamakan perkebunan.
Meletakkan batu di sekitar lahan mati tidak bisa mewakili proses iḥyā’ul mawāt.
Tapi hanya sekadar pemberian batas (taḥajjur) yang tidak berkonsekuensi kepemilikan.
Taḥajjur ada dua praktik:
a)
Sudah memulai proses iḥyā’ul
mawāt tapi tidak diselesaikan.
b)
Meletakkan sebuah tanda
seperti batu disekitar lahan mati.
Lahan yang sudah diklaim pemerintah baik secara keseluruhan atau sebagian tidak
bisa dimiliki dengan cara iḥyā’ul mawāt tanpa ada izin dari pemerintah.
Lahan yang tidak diketahui apakah pernah dimiliki di era islamiyah atau di era
jahiliyah ada dua pendapat:
(1)
Menurut Imam Romli; tidak bisa dimiliki dengan
proses iḥyā’ul mawāt.
(2)
Menurut Imam Ibn Hajar; bisa dimiliki
sebagaimana lahan mati.
Apakah proses iḥyā’ul mawāt harus ada izin dari imam? Dalam hal ini ada
dua pendapat:FIKIH X 113
(a)
Menurut Imam Abu Hanifah dan mażhab Maliki;
harus ada izin dari imam. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“Tidak ada bagi seseorang kecuali apa yang direlakan oleh imamnya”. (HR.
Ṭabrani)
Jika imam tidak memberi izin maka tidak ada kerelaan dari imam yang berkonsekuensi
lahan mati tidak bisa dimiliki.
Menurut mażhab Syafi’i dan mażhab Hanbali; tidak harus ada izin dari imam. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa membuka lahan mati, maka menjadi miliknya,dan akar yang zalim (keluar pagar) tidak memiliki hak”. (HR. Bukhari)
Hadis ini menetapkan kepemilikan kepada muḥyī tanpa persyaratan izin dari imam dan karena iḥyā’ul mawāt adalah perkara yang legal secara hokum sehingga lahan mati boleh dimiliki oleh seseorang tanpa ada izin dari imam sebagaimana seseorang boleh memiliki hewan buruan tanpa izin imam. Menurut mażhab maliki proses iḥyā’ul mawāt bisa dilakukan dengan salah satu dari tujuh hal:
1) Membuat sumber air, jika penyebab lahan mati karena tidak ada air.
2) Membuang air, jika penyebab lahan mati karena tergenang air.
3) Membuat bangunan.
4) Menanam pohon.
5) Bercocok tanam.
Tugas Siswa Offline, dikirim melalui WAPRI!
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan benar!
1.
Bagaimana hukum menangkap ikan di wilayah negara lain menurut
fikih ?
2.
Jika hewan peliharaan merusak barang orang
lain, apa kewajiban bagi pemilik hewan menurut fikih?
3.
Bagaimana hukum industri yang menghasilkan
limbah dan mengakibatkan polusi pada lingkungan sekitar?
4.
Riki menjual barang yang ia curi dari
ayahnya, transaksi dilakukan jam tujuh pagi hari. Setelah penjualan barang, ia
mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal jam enam pagi hari. Sahkah transaksi
yang dilakukan Riki yang statusnya adalah anak tunggal?
5.
Siapakah yang berhak atas anak kambing yang
status kambing tersebut adalah milik dua orang?
Jika mengehendaki Tugas Online, Silahkan klik link dibawah ini untuk mengerjakan tugas!
https://forms.gle/4hZA1SMeybbRfHUW7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar