Rabu, 27 Januari 2021

BAB VII HUKUM WARIS DALAM ISLAM

 

KOMPETENSI INTI

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP SPIRITUAL)

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)

2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN)

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, procedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengeta-huan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

KOMPETENSI INTI 4 (KETERAMPILAN)

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

 

KOMPETENSI DASAR

1.7 Menghayati hikmah dan manfaat dari ketentuan syariat Islam tentang pembagian warisan dan wasiat

2.3 Mengamalkan sikap peduli, jujur dan kerja sama sebagai implementasi dari pemahaman tentang ketentuan pembagian harta warisan dan wasiat

3.7 Menganalisis ketentuan hukum waris dan wasiat

4.7 Menyajikan hasil analisis praktik waris dan wasiat dalam masyarakat yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam

 

INDIKATOR

 

1.7.1 Meyakini hikmah dan manfaat dari ketentuan syariat Islam tentang pembagian warisan dan wasiat

1.7.2 Proaktf dalam mempelajari ketentuan syariat Islam tentang pembagian warisan dan wasiat.

1.3.1 Menjadi teladan dalam bersikap sebagai implementasi dari pemahaman tentang ketentuan pembagian harta warisan dan wasiat

1.3.2 Berakhlak mulia dalam bertindak sebagai implementasi dari pemahaman tentang ketentuan pembagian harta warisan dan wasiat

1.7.1 Mampu menyususun ketentuan hukum waris dan wasiat

1.7.2 Mempresentasikan ketentuan-ketentuan hukum waris dan wasiat

4.7.1 Menghitung hasil praktik waris dan wasiat dalam masyarakat yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam

4.7.2 Membuat laporan hitungan warisan dan praktek wasiat yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam

 



PRAWACANA

Islam menganjurkan kepada kalangan umat Islam untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, baik yang berhubungan dengan perkara-perkara duniawi maupun ukhrawi. Ilmu yang tidak kalah pentingnya dalam menyelesaikan perselisian diantara keluarga adalah pembagian harta benda dari orang yang telah meninggal. Dalam Islam sendiri al-Quran memberikan tuntunan dan tuntutan dalam pembagian harta tersebut. Ilmu pembagian tersebut dalam ilmu fikih dikenal dengan ilmu faraid (disiplin ilmu yang membahas berbagai hal terkait pembagian harta waris). Tujuan utama mempelajari ilmu faraid, adalah agar setiap orang Muslim mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dan yang tidak, hingga tidak akan terjadi pengambilan hak saudaraanya yang lain secara semena-mena. Karena saat seseorang telah meninggal dunia, maka harta yang ia miliki sebelumnya telah terlepas dari kepemilikannya, berpindah menjadi hak milik ahli warisnya. Pada posisi ini, orang mukmin dituntut dan diperintahkan membagi harta peninggalan seorang yang telah meninggal sesuai dengan ketentuan syara’.

Kesadaran melaksanakan aturan pembagian harta waris sesuai ketentuan ilmu faraid juga merupakan bukti ketaatan seorang muslim kepada Rabb-Nya. Mereka jalankan aturan syariat, dan ia yakini dengan sebenar-benarnya bahwa aturan Allah terkait dengan pembagian harta merupakan aturan terbaik yang bermuara pada kemaslahatan.

Dalam bab ini, akan dibahas beberapa hal terkait permasalahan warisan. Diantaranya; sebab seseorang mendapatkan warisan, penghalang seseorang mendapatkan warisan, siapa sajakah yang berhak mendapatkan warisan, berapa harta warisan yang berhak didapatkan ahli waris dalam berbagai macam keadaannya, serta hal-hal lain yang dirasa pelu diangkat dalam masalah warisan.

 

 

A. ILMU MAWARIS

1. Pengertian Ilmu Mawaris

Dari segi bahasa, kata mawaris مواريث merupakan bentuk jamak dari kata
میرا  yang artinya harta yang diwariskan. Adapun makna istilahnya adalah ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid علم الفرائض Kata faraid sendiri ditinjau dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata Faridah  فريضة yang bermakna ketentuan, bagian, atau ukuran. Karenanya bahasan inti dari ilmu warisan adalah perkara-perkara yang terkait dengan harta warisan atau harta peninggalan. Ringkasnya bisa dikatakan bahwa ilmu faraid adalah disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan untuk masing-masing ahli waris. Ilmu mawaris akan selalu terkait dengan beberapa unsur yang sering diistilahkan dengan rukun-rukun mawarits. Dalam berbagai referensi yang membahas tentang mawaris dipaparkan bahwa rukun-rukun mawarits ada 3 yaitu;

 

a. Waris وارث

yaitu orang yang mendapatkan harta warisan. Seorang berhak mendapatkan warisan karena salah satu dari tiga sebab yaitu; pertalian darah, hubungan pernikahan, dan memerdekakan budak.

 

b. Muwarris مورث

yaitu orang yang telah meninggal dan mewariskan harta kepada ahli waritsnya. Baik meninggal secara hakiki dalam arti ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Atau meninggal secara taqdiri (perkiraan) semisal seorang yang telah lama menghilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar beritanya dan tempat ia berdomisili hingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa orang tersebut dihukumi sama dengan orang yang meninggal.

 

c. Maurus موروث

yaitu harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris setelah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janâzah), pelunasan hutang mayit, dan pelaksanaan wasiat mayit. Terkadang mauruts diistilahkan dengan mirats atau irs.

 

2. Hukum Membagi Harta Warisan

 

Seorang muslim dituntut menjalankan syariat Islam sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Setiap muslim haruslah mentaati semua perintah ataupun larangan Allah Swt, sebagai bukti konsistensinya memegang aturan aturan syariat. Demikian halnya saat syariat Islam mengatur hal-hal yang terkait dengan pembagian harta waris. Seorang muslim harus meresponnya dengan baik dan mematuhi aturan tersebut. Karena aturan warisan tersebut merupakan ketentuan Allah yang pasti akan mendatangkan maslahat bagi semua hamba-hamab-Nya. Bahkan Allah memperingatkan dengan keras siapapun yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya (termasuk aturan warisan). Allah berfirman dalam surat an-Nisa [4]: 14

 

وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدْخِلْهُ نَارًا خَٰلِدًا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٌ مُّهِينٌ

 

Artinya: "Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan ketentuan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan." (Q.S. an-Nisa [4]: 14)

 

Rasulullah Saw. juga bersabda:

 

أَقْسَمُوْا اْلمَالَ بَيْنَ أَهْلِ اْلفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللهِ  

Artinya: dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah bersabd "Bagilah harta warisan diantara ahli waris sesuai dengan (aturan) kitab Allah." (H.R. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

 

3. Hal-hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan Beberapa hal yang harus ditunaikan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum harta warisan dibagikan adalah:

1) Zakat. Kalau harta yang ditinggalkan sudah saatnya dikeluarkan zakatnya, maka zakat harta tersebut harus dibayarkan terlebih dahulu.

2) Belanja. Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan jenazah, mulai dari membeli kain kafan, upah menggali kuburan, dan lain sebagainya.

3) Hutang. Jika mayat memiliki hutang, maka hutangnya harus dibayar terlebih dahulu dengan harta warisan yang ditinggalkan.

4) Wasiat. Jika mayat meninggalkan wasiat, agar sebagian harta peninggalannya diberikan kepada orang lain. Maka wasiat inipun harus dilaksanakan.Apabila keempat hak tersebut (zakat, biaya penguburan, hutang mayat, dan wasiat mayat) sudah diselesaikan, maka harta warisan selebihnya baru dapat dibagibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

 

4. Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Artinya, jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Akan tetapi jika dalam satu daerah/wilayah tak ada seorang pun yang mau mendalami ilmu warisan, maka semua penduduk wilayah tersebut menanggung dosa. Urgensi ilmu mawarits dapat dicermati dalam satu teks hadis dimana Rasulullah Saw. menggandengkan perintah belajar al-Qur’an dan mengajarkan alQur’an dengan perintah belajar dan mengajarkan ilmu mawarits/faraid.

Rasulullah Saw. bersabda:

 

تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوْا الْفَرَئِضَ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ فَاِنِّى امْرُوءٌ مَقْبُوْضٌ وَالْعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوْشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ اَحَدًا يُخْبِرْهُمَا (اخرده احمد والنسائ والدرقطتى)

 

Artinya: “Ibnu Mas'ud berkata: telah menyampaikan kepada saya, Rasulullah Saw: Pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Fitnah-fitnah akan nampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka” (HR. al-Darimi)”.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu mawaris| tidak bisa dianggap sebelah mata, terutama bagi para pendakwah atau penyeru kebajikan. Walaupun hukum awalnya fardhu kifayah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, saat tak ada seorangpun yang mempelajarinya maka hukum mempelajari ilmu mawarits berubah menjadi fardhu ain.

 

5. Tujuan Ilmu Mawaris

Tujuan ilmu mawaris dapat dirangkum dalam beberapa poin di bawah ini

1) Memberikan pembelajaran bagi kaum muslimin agar bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat Islam yang terkait dengan pembagian harta waris.

2) Menyodorkan solusi terbaik terhadap berbagai permasalahan seputar pembagian harta waris yang sesuai dengan aturan Allah Swt.

3) Menyelamatkan harta benda si mayit hingga tidak diambil orang-orang zalim yang tidak berhak menerimanya.

 

6. Sumber Hukum Ilmu Mawaris

Sumber hukum ilmu mawaris adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Berikut beberapa teks al-Qur’an yang menjelaskan tentang ketentuan pembagian harta waris.

 

Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 7:

 

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

 

Artinya: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(QS. an-Nisa’[4] : 7)

 

Firman Allah dalam surat an-Nisa [4]:11-12:

 

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

 

 

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمْرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا۟ أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى ٱلثُّلُثِ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

 

Artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (QS. An-Nisa’ [4]: 11-12)

Adapun beberapa teks hadis yang terkait dengan pembahasan warisan adalah: Sabda Rasulullah Saw.:

 


تعلموا الفرائض و علموها فإنها نصف العلم وهو ينسى وهو أول علم ينتزع من أمتي

 

Artinya: dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata "Wahai Abu Hurairah! Belajarlan ilmu faraid (warisan) dan ajarkanlah ilmu tersebut. Karena sesungguhnya ia merupakan setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan, dan ia merupakan ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku.” (H.R. Ibnu Majah)

 

7. Kedudukan Ilmu Mawaris

Ilmu mawaris mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Ia menjadi solusi efektif berbagai permasalahan umat terkait pembagian harta waris. Kala ilmu mawaris diterapkan secara baik, maka urusan hak adam akan terselesaikan secara baik. Semua ahli waris akan mendapatkan haknya secara proporsional. Mereka tak akan didzalimi ataupun mendzalimi, karena semuanya
sudah disandarkan pada aturan Allah ta’ala. Selain apa yang terpaparkan di atas, keagungan ilmu mawaris juga dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan persoalan waris. Allah menerangkan teknis pembagian harta waris secara gamblang dan terperinci dalam beberapa ayatNya. Ini merupakan indikator yang menegaskan bahwa persoalan warisan merupakan persoalan agung dan sangat penting. Pada beberapa hadis yang telah disebutkan sebelumnya, Rasulullah juga mengingatkan umatnya untuk tidak melupakan ilmu mawaris, karena ia merupakan bagian penting dalam agama.

 

B. SEBAB-SEBAB SESEORANG MENDAPATKAN WARISAN

Dalam kajian fikih Islam hal-hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada 4 yaitu:

1. Sebab Nasab (hubungan keluarga)

Nasab yang dimaksud disini adalah nasab hakiki. Artinya hubungan darah atau hubungan kerabat, baik dari garis atas atau leluhur si mayit (ushul), garis keturunan (furu’), maupun hubungan kekerabatan garis menyimpang (hawasyi), baik laki-laki maupun perempuan. Misalnya seorang anak akan memperoleh harta warisan dari bapaknya dan sebaliknya, atau seseorang akan memperoleh harta warisan dari saudaranya, dan lain-lain. Sebagaimana firman Allah Swt. :

 

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

 

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa [4]: 7)

 

2. Sebab Pernikahan yang Sah

Yang dimaksud dengan pernikahan yang sah adalah berkumpulnya suami istri dalam ikatan pernikahan yang sah. Dari keduanya inilah muncul istilahistilah baru dalam ilmu mawaris, seperti: zawil furud, ashobah, dan furudh muqaddlarah. Allah Swt. berfirman:

 

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ

 

Artinya: “Dan bagimu ( suami-suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak” (QS. An-Nisa' [4] : 12)

 

3. Sebab wala’  الولاء atau sebab jalan memerdekakan budak

Seseorang yang memerdekakan hamba sahaya, berhak mendapatkan warisan dari hamba sahaya tersebut kala ia meninggal dunia. Di antara teks hadis yang menjelaskan hal ini adalah:

 

  إنما الولاء لمن أعتق

 

Artinya: dari Aisyah ………… Aisyah Ra, berkata kepada Nabi Saw, kemudian
Nabi bersabda kepadanya: belilah budak (wala), sesungguhnya wala' itu untuk
orang yang memerdekakan." (HR. al-Bukhari)

 

الولاء لحمة كلحمة النسب

 

Artinya: dari Ibnu Umar Ra. bahwa Rasulullah bersabda "Wala’ itu sebagai keluarga seperti keluarga karena nasab. Maka tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan". (HR. Al-Syafi'i dan al-Darimi)

Kedua hadis di atas menjelaskan bahwa wala atau memerdekakan budak bias menjadi sebab seseorang mendapatkan warisan.

 

4. Sebab Kesamaan Agama

Ketika seorang muslim meninggal sedangkan ia tidak memiliki ahli waris, baik ahli waris karena sebab nasab, nikah, ataupun wala (memerdekakan budak) maka harta warisannya dipasrahkan kepada baitul mal untuk maslahat umat Islam. Hal tersebut disandarkan pada sabda Rasulullah Saw.:

 

أنا وارث من لا وارث له

 

Artinya: dari Miqdam Al-Syami, Rasulullah bersabda "Aku adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris.” (HR. Ah}mad , Al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Abu Dawud)

 

Maksud hadis di atas, Rasulullah menjadi perantara penerima harta waris dari siapapun yang meninggal sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris, kemudian Rasulullah gunakan harta waris tersebut untuk maslahat kalangan muslimin.

 

C. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN SESEORANG TIDAK MENDAPATKAN HARTA WARIS

Dalam kajian ilmu faraid, hal-hal yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan harta warisan masuk dalam pembahasan mawani’ul irs (penghalangpenghalang warisan). Penghalang yang dimaksud disini adalah hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan warisan, padahal pada awal mulanyaia merupakan orang-orang yang semestinya mendapatkan harta waris. Orang yang terhalang mendapatkan warisan disebut dengan mamnu’ al-irs atau mahjub bil wasfi (terhalang karena adanya sifat tertentu). Mereka adalah; pembunuh, budak, murtad, dan orang yang berbeda agama dengan orang yang meninggalkan harta warisnya. Berikut penjelasan singkat ketiga kelompok manusia yang masuk dalam kategori mamnu’ al-irs tersebut:

 

1. Pembunuh  القاتل

Orang yang membunuh salah satu anggota keluarganya maka ia tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh. Dalam salah satu qaidah fiqhiyah dijelaskan:

 

من استعجل بالشيئ عوقب بحرمانه

 

Artinya: "Barangsiapa yang tegesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu, maka ia tidak diperbolehkan menerima sesuatu tersebut sebagai bentuk hukuman untuknya.”

Rasulullah Saw, dalam salah satu sabdanya, menegaskan bahwa seorang pembunuh tidak akan mewarisi harta yang terbunuh. Beliau Saw. bersabda:

 

ليس للقاتل من الميراث شيئ

 

Artinya: dari Amer bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata Rasulullah Saw, “Bagi pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan sedikitpun”.(HR. an-Nasa’i dan al-Daruqutni)

 

Dalam masalah tidak berhaknya pembunuh mendapatkan harta warisan orang yang terbunuh, sebagiain ulama memisahkan sifat pembunuhan yang terjadi. Jika pembunuhan yang dilakukan masuk dalam kategori sengaja, maka pembunuh tidak mendapatkan harta warisan sepeser pun dari korban. Adapun jika pembunuhannya bersifat tersalah maka pelakunya tetap mendapatkan harta waris. Pendapat ini dianut oleh imam Malik bin Anas dan pengikutnya.

 

2. Budak  العبد

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak berhak mendapatkan harta warisan dari tuannya. Demikian juga sebaliknya, tuannya tidak berhak mendapatkan warisan dari budaknya karena ia memang orang yang tidak mempunyai hak milik sama sekali. Terkait dengan hal ini Allah berfirman:

 

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَّمْلُوكًا لَّا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَىْءٍ

 

Artinya: "Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu". (QS. An-Nahl [16]: 75)

 

3. Orang Murtad

Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya. Rasulullah Saw. bersabda:

 

لا يرث المسلم الكافر و لا يرث الكافر المسلم

 

Artinya: dari Usamah bin Zaid Ra. Rasulullah bersabda “Orang Islam tidak bisa mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak bisa mewarisi harta dari orang Islam". (Muttafaq 'Alaih)

 

4. Perbedaan Agama اختلاف الدين

Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan orang non muslim (kafir) meskipun masih kerabat keluarganya. Demikian juga sebaliknya. Dalil syar’I terkait hal ini adalah hadis yang telah dipelajari sebelumnya bahwa seorang muslim tidak akan menerima warisan orang non muslim, sebagaimana juga orang non muslim tidak akan menerima warisan orang muslim.

 

D. AHLI WARIS YANG TIDAK BISA GUGUR HAKNYA

Sebagaimana maklum adanya, dalam pembagian harta warisan terkadang ada ahli waris yang terhalang mendapatkan harta warisan karena sebab tertentu, dan sebagian lain ada juga yang tidak mendapatkan harta warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lain. Akan tetapi ada beberapa ahli waris yang haknya untuk mendapatkan warisan tidak terhalangi walaupun semua ahli waris ada. Mereka adalah:

 

1. Anak laki-laki  ابن

2. Anak perempuan  بنت

3. Bapak  أب

4. Ibu  أم

5. Suami  زوج

6. Istri  زوجة

 

 

TUGAS SISWA

 

Jawablah petanyaan-pertanyaan dibawah ini!

1.      Bagaimanakah hukum pembagian harta mayit dengan menggunakan sistem hibah?

2.      Bagaimanakah menurutmu jika salah seorang dari ahli waris tidak setuju dengan wasiat harta mayit, apakah wasiat tersebut tetap dilaksanakan?

3.      Jika seseorang dalam keadaan sakaratul maut, lalu ia berwasiat kepada ahli warisnya agar sebagian hartanya dialokasikan untuk pembangunan masjid. Semua ahli waris
setuju. Akan tetapi, dengan kekuasaan Allah, ia masih diberi kesempatan hidup di dunia. Dalam keadaan semisal ini apakah wasiatnya harus dilaksanakan?

4.      Bagaimanakah hukum ahli waris dan wasiat yang non muslim yang masuk Islam dengan niat mendapatkan harta warisan atau harta wasiat/

5.      Bolehkah pembagian harta waris ditunda dalam rentang waktu yang cukup lama ketika semua ahli waris bersepakat dalam hal itu?

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUTIARA HIKMAH